Jakarta (Antara Bali) - Indonesia memamerkan karya 12 desain arsitektur kontemporer bertema tropikalitas dalam rangkaian acara Frankfurt Book Fair (FBF) 2015 melalui kerja sama antara Komite Nasional dan Deutches Architekturmuseum Frankfut.
"Pameran ini dibuka resmi oleh Duta Besar Indonesia di Jerman, Bapak Fauzi Bowo, pada Jumat (28/8) petang," kata Ketua Komite Media dan Hubungan Luar Andy Budiman melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Andy mengatakan pameran bertajuk "Tropicality: Revisited" sebagai rangkaian acara FBF 2015 di mana Indonesia sebagai Tamu Kehormatan, ini akan berlangsung hingga 17 Januari 2016.
Rancangan para arsitek Indonesia yang ditampilkan adalah "Rumah Baca" karya Achmad Tardiyana, "Mesjid Baiturrahman" karya Urbane Indonesia, "Timber House" dari Studio Akanoma, "Andra Matin House" karya Andra Matin, "Studi-O Cahaya" karya Adi Purnomo, "Wisnu Steel House" karya Ahmad Djuhara.
Selanjutnya "Kineforum Misbar" karya Csutoras dan Liando, "Tamarind House" karya Gregorius Supie Yolodi dan Maria Rosantina, "Almarik Restaurant" karya Effan Adhiwara, "Eko Prawoto House" karya Eko Agus Prawoto, "House of Labo" karya Deddy Wahjudi dan "Ize Hotel" karya Antony Liu.
Tema tropikalitas, bagi para arsitek Indonesia selalu menjadi tantangan karena berbagai faktor, yakni dua faktor utamanya adalah faktor teknis dalam menghadapi iklim seperti hujan deras, panas dan kelembapan yang tinggi.
Selain itu, ada faktor tren arsitektur global yang cenderung mengarah pada tema modernitas seperti penggunaan material baja atau kecenderungan desain gedung tinggi berpendingin ruangan atau desain resort tropis klasik yang modern.
Meski demikian, arsitektur tropis terus hidup dan berkembang sejalan dengan berbagai kritik terhadap arsitektur modern yang kurang sesuai dengan iklim dan lingkungan.
"Tropikalitas menjadi semakin relevan terutama bila dikaitkan dengan situasi saat ini, di mana kita sama-sama menghadapi ancaman krisis energi dan pemanasan global," ujar Avianti Armand, arsitek Indonesia yang menjadi salah satu kurator pameran ini.
Ia mencontohkan Mesjid Baiturahman di Kopeng, Yogyakarta, yakni salah satu desa yang rusak karena letusan merapi pada 2010.
Mesjid ini dibangun dengan tampilan modern dengan menggunakan batu bata setempat yang terbuat dari sisa lahar Merapi.
Selain itu, ia menambahkan, ada pula inisiatif yang digagas Kineforum untuk menghadirkan bioskop di ruang terbuka atau biasa disebut Misbar (Gerimis Bubar) di Monas pada 2013.
Tujuannya untuk membawa kembali budaya layar tancap di mana orang bisa berkumpul dan berinteraksi di ruang terbuka, yang sudah lama tersisih oleh bioskop modern di ruang tertutup. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
"Pameran ini dibuka resmi oleh Duta Besar Indonesia di Jerman, Bapak Fauzi Bowo, pada Jumat (28/8) petang," kata Ketua Komite Media dan Hubungan Luar Andy Budiman melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Andy mengatakan pameran bertajuk "Tropicality: Revisited" sebagai rangkaian acara FBF 2015 di mana Indonesia sebagai Tamu Kehormatan, ini akan berlangsung hingga 17 Januari 2016.
Rancangan para arsitek Indonesia yang ditampilkan adalah "Rumah Baca" karya Achmad Tardiyana, "Mesjid Baiturrahman" karya Urbane Indonesia, "Timber House" dari Studio Akanoma, "Andra Matin House" karya Andra Matin, "Studi-O Cahaya" karya Adi Purnomo, "Wisnu Steel House" karya Ahmad Djuhara.
Selanjutnya "Kineforum Misbar" karya Csutoras dan Liando, "Tamarind House" karya Gregorius Supie Yolodi dan Maria Rosantina, "Almarik Restaurant" karya Effan Adhiwara, "Eko Prawoto House" karya Eko Agus Prawoto, "House of Labo" karya Deddy Wahjudi dan "Ize Hotel" karya Antony Liu.
Tema tropikalitas, bagi para arsitek Indonesia selalu menjadi tantangan karena berbagai faktor, yakni dua faktor utamanya adalah faktor teknis dalam menghadapi iklim seperti hujan deras, panas dan kelembapan yang tinggi.
Selain itu, ada faktor tren arsitektur global yang cenderung mengarah pada tema modernitas seperti penggunaan material baja atau kecenderungan desain gedung tinggi berpendingin ruangan atau desain resort tropis klasik yang modern.
Meski demikian, arsitektur tropis terus hidup dan berkembang sejalan dengan berbagai kritik terhadap arsitektur modern yang kurang sesuai dengan iklim dan lingkungan.
"Tropikalitas menjadi semakin relevan terutama bila dikaitkan dengan situasi saat ini, di mana kita sama-sama menghadapi ancaman krisis energi dan pemanasan global," ujar Avianti Armand, arsitek Indonesia yang menjadi salah satu kurator pameran ini.
Ia mencontohkan Mesjid Baiturahman di Kopeng, Yogyakarta, yakni salah satu desa yang rusak karena letusan merapi pada 2010.
Mesjid ini dibangun dengan tampilan modern dengan menggunakan batu bata setempat yang terbuat dari sisa lahar Merapi.
Selain itu, ia menambahkan, ada pula inisiatif yang digagas Kineforum untuk menghadirkan bioskop di ruang terbuka atau biasa disebut Misbar (Gerimis Bubar) di Monas pada 2013.
Tujuannya untuk membawa kembali budaya layar tancap di mana orang bisa berkumpul dan berinteraksi di ruang terbuka, yang sudah lama tersisih oleh bioskop modern di ruang tertutup. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015