Denpasar (Antara Bali) - Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) menilai stasiun televisi di Pulau Dewata sering gagal menyampaikan informasi pendidikan tentang makna ritual Hindu dan adat Bali.
"Memang dari segi keberagaman sudut pandang pengambilan gambar lebih variatif, namun kadang kala siaran itu gagal memberikan penjelasan dan pemaknaan kepada pemirsa," kata Komisioner KPID Bidang Kelembagaan Provinsi Bali I Nengah Muliarta di Denpasar, Senin.
Ia mengatakan, program siaran televisi hampir merata di setiap stasiun TV di Bali menyangkut prosesi ritual agama Hindu dan adat di Pulau Dewata sehingga siaran itu menjadi program unggulan dan wajib untuk memenuhi ketentuan siaran lokal 10-50 persen.
"Sebagai contoh kegagalan dalam menjelaskan pemaknaan `saiban` atau `ngejot` yang dilakukan masyarakat Hindu Bali setelah memasak. Saiban merupakan kegiatan ritual yang dapat dikatakan sangat kecil dan sederhana, kenyataanya gagal dijelaskan dalam program siaran. Termasuk menjelaskan hubunganya dengan konsep dasar Tri Hita Karana," ujar Nengah Muliarta.
Ia mengingatkan, kondisi seperti itu seharusnya dapat dijelaskan dengan sederhana dan ilmiah sehingga pemirsa atau masyarakat yang menyaksikan siaran itu mendapatkan informasi dan pendidikan.
Dalam konsep penjelasan sederhana "saiban" pada satu sisi adalah ungkapan syukur berkah yang diberikan oleh Tuhan. "Saiban" juga mengandung makna bentuk ungkapan kepada sesama, sanak saudara ataupun tetangga untuk bisa ikut menikmati makanan tersebut.
"Jika sesajen ‘saiban’ saja tidak mampu dijelaskan dalam program siaran, bagaimana kemudian mengangkat upacara-upacara agama dan adat yang cukup besar di Bali. Khawatirnya program siaran upacara tidak membawa manfaat, tetapi justru menimbulkan salah pengertian dalam pemaknaan karena kesalahan lembaga penyiaran," kata Nengah Muliarta.
Ia menjelaskan, wacana yang berkembang saat ini terkait upacara agama dan adat adalah nuansa upacara yang besar atau berlebihan.
Muliarta menambahkan pembuatan sesajen dalam upacara seakan tidak lagi berdasarkan semangat keikhlasan tetapi lebih pada upaya menunjukkan kemampuan ekonomi dan strata sosial.
"Dari manakah masyarakat meniru dan siapakah yang menyebarkan? Adakah peran lembaga penyiaran terutama televisi dalam hal ini? Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan pakar komunikasi memang menunjukkan bahwa lembaga penyiaran melalui siaranya mampu mengubah pola pikir dan prilaku masyarakat," ujar Nengah Muliarta.
Menurut dia, siaran tv juga sering menyampaikan biaya upacara yang menggunakan dana cukup besar sehingga akhirnya dijadikan tolak ukur oleh masyarakat.
Masyarakat seakan tidak lagi melihat kemampuan dan strata sosial dalam melaksanakan upacara agama dan adat.
Dia mengatakan sudah saatnya lembaga penyiaran televisi mulai mempertimbangkan untuk tidak hanya menyiarkan upacara agama dan adat yang dalam kategori besar, tetapi juga mengangkat upacara agama dan adat sesuai strata sosial masyarakat.
“Dalam siaran upacara juga hendaknya tidak selalu mengacu memberikan informasi biaya upacara, tetapi mengangkat informasi semangat pemaknaan upacara dan semangat kebersamaan dalam melaksanakan upacara agama maupun adatâ€, katanya. (WDY/I018)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015