Denpasar (Antara Bali) - Pemerintah Provinsi Bali mengharapkan ke depan ada kebijakan subsidi secara nasional untuk pengadaan pakan ternak sehingga harga daging babi di Pulau Dewata bisa menjadi lebih murah.
"Dari beberapa tahun lalu, harga pakan ternak di Bali memang terus meningkat dan bahkan tidak sedikit peternak yang sudah menutup usahanya," kata Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali Putu Sumantra di Denpasar, Rabu.
Berdasarkan data dari Bank Indonesia Perwakilan Bali, harga daging babi di Pulau Dewata selama 2014 mengalami 11 kali inflasi, atau dengan kata lain dalam setahun itu hanya sebulan saja yang tidak terjadi inflasi.
Terkait kebijakan pengadaan pakan babi, ucap dia, tidak bisa hanya dilakukan melalui kebijakan provinsi karena selama ini masih diimpor. "Pakan babi itu adalah konsentrat yang mayoritas tidak diproduksi di sini. Di Indonesia saja masih impor," ujarnya.
Sumantra mengemukakan, untuk bisa meningkatkan satu kilogram berat badan babi dibutuhkan biaya sekitar empat hingga lima kali harga pakan, sementara saat ini harga pakan babi berada di kisaran Rp5.400-6.600. Oleh karena itu harga perkilogram untuk babi hidup di Bali itu berada pada kisaran Rp31-33 ribu sedangkan harga daging babi perkilogram setelah dipotong bisa mencapai Rp65 ribu.
"Kalau menggunakan pakan yang Rp5.400 maka akan semakin lama beternaknya, bisa lebih dari enam bulan untuk mencapai bobot babi 100 kilogram. Sedangkan yang Rp6.600 akan lebih cepat," ucapnya.
Pemerintah daerah, ujar dia, terhadap persoalan harga daging babi ini berada di dua kaki. Jika dilihat dari sektor produksi, tentu bertanggung jawab supaya bisa membuat harga di atas "break event point" sehingga ada kegairahan dari peternak untuk terus menggeluti usahanya tersebut.
Sementara jika dilihat dari sisi konsumen, tambah Sumantra, tentunya tidak ingin kalau harganya terus naik karena akan memicu inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat, apalagi tingkat konsumsi daging babi bagi masyarakat Hindu Bali itu menempati posisi teratas dibandingkan daging lainnya.
"Tidak mungkin juga kalau pemerintah berusaha menekan harga menjadi murah, namun akhirnya berdampak peternak menjadi berhenti beternak," katanya.
Sumantra menambahkan, selama tiga tahun terakhir, populasi babi di Bali juga terus mengalami penurunan akibat banyaknya peternak yang menutup usaha karena tingginya harga pakan ternak.
Pada 2012 total populasi babi di Bali sekitar 890 ribu ekor, menurun menjadi 847 ribu pada 2013 dan pada 2014 menyusut lagi tinggal 817.000 ekor. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
"Dari beberapa tahun lalu, harga pakan ternak di Bali memang terus meningkat dan bahkan tidak sedikit peternak yang sudah menutup usahanya," kata Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali Putu Sumantra di Denpasar, Rabu.
Berdasarkan data dari Bank Indonesia Perwakilan Bali, harga daging babi di Pulau Dewata selama 2014 mengalami 11 kali inflasi, atau dengan kata lain dalam setahun itu hanya sebulan saja yang tidak terjadi inflasi.
Terkait kebijakan pengadaan pakan babi, ucap dia, tidak bisa hanya dilakukan melalui kebijakan provinsi karena selama ini masih diimpor. "Pakan babi itu adalah konsentrat yang mayoritas tidak diproduksi di sini. Di Indonesia saja masih impor," ujarnya.
Sumantra mengemukakan, untuk bisa meningkatkan satu kilogram berat badan babi dibutuhkan biaya sekitar empat hingga lima kali harga pakan, sementara saat ini harga pakan babi berada di kisaran Rp5.400-6.600. Oleh karena itu harga perkilogram untuk babi hidup di Bali itu berada pada kisaran Rp31-33 ribu sedangkan harga daging babi perkilogram setelah dipotong bisa mencapai Rp65 ribu.
"Kalau menggunakan pakan yang Rp5.400 maka akan semakin lama beternaknya, bisa lebih dari enam bulan untuk mencapai bobot babi 100 kilogram. Sedangkan yang Rp6.600 akan lebih cepat," ucapnya.
Pemerintah daerah, ujar dia, terhadap persoalan harga daging babi ini berada di dua kaki. Jika dilihat dari sektor produksi, tentu bertanggung jawab supaya bisa membuat harga di atas "break event point" sehingga ada kegairahan dari peternak untuk terus menggeluti usahanya tersebut.
Sementara jika dilihat dari sisi konsumen, tambah Sumantra, tentunya tidak ingin kalau harganya terus naik karena akan memicu inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat, apalagi tingkat konsumsi daging babi bagi masyarakat Hindu Bali itu menempati posisi teratas dibandingkan daging lainnya.
"Tidak mungkin juga kalau pemerintah berusaha menekan harga menjadi murah, namun akhirnya berdampak peternak menjadi berhenti beternak," katanya.
Sumantra menambahkan, selama tiga tahun terakhir, populasi babi di Bali juga terus mengalami penurunan akibat banyaknya peternak yang menutup usaha karena tingginya harga pakan ternak.
Pada 2012 total populasi babi di Bali sekitar 890 ribu ekor, menurun menjadi 847 ribu pada 2013 dan pada 2014 menyusut lagi tinggal 817.000 ekor. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015