Denpasar (Antara Bali) - Guru Besar Institut Seni Indonesia Denpasar, Prof. Dr. I Wayan Dibia mengatakan lembaga perguruan tinggi seni, termasuk ISI Denpasar, perlu membenahi proses belajar mengajar yang telah dilakukan selama ini.
"Pembenahan itu untuk menghasilkan lulusan yang bermutu sesuai harapan," kata Prof Dibia dalam pidato ilmiah pada Dies Natalis XI dan wisuda sarjana XIII ISI Denpasar, Sabtu.
Dalam pidato ilmiah berjudul "Aktivitas Taksu Dalam Pendidikan Seni di Perguruan Tinggi", Ia mengatakan jika proses belajar mengajar selama ini tidak segera disempurnakan akan dapat menjadi penghalang bagi terwujud visi ISI Denpasar ke depan, yakni menjadi pusat unggulan (center of excellence) di bidang seni budaya.
"Taksu" merupakan bagian dari warisan budaya Bali yang bersifat tidak benda, yakni energi puncak, kekuatan ilahi (spiritual power) yang mampu memberi degup kehidupan, daya pikat dan daya pukau, dari penampilan seniman atau sajian karya seni.
"Kekuatan Tuhan mampu merubah sesuatu yang biasa menjadi luar biasa, dari yang kosong menjadi berisi, dari yang redup menjadi berdegup," ujar Prof Dibia.
Tiga batasan singkat menyangkut "Taksu" yakni kekuatan dalam, kekuatan spiritual dan energi puncak. Sebagai kekuatan dalam, "taksu" muncul dari olah kekuatan yang ada dalam diri manusia. Oleh karena itu "taksu" muncul melalui proses olah spiritual, sebagai energi puncak karena munculnya "taksu" membawa kekuatan luar biasa yang dapat memacu daya dan semangat kreativitas, intelektualitas, serta inteligensia seseorang untuk menunjukkan prestasi puncaknya.
"Taksu" sekaligus merupakan energi atau kekuatan, daya pukau atau pesona, termasuk di dalamnya wibawa dan kharisma.
Dibia menjelaskan, masyarakat Bali umumnya memaknai dan mengartikan "taksu" secara konkret (material) dan abstrak (imaterial). Dalam pemahaman pertama taksu adalah tempat suci keluarga (sanggah) tempat memuja Tuhan untuk memohon kekuatan magis.
Sedangkan dalam pemahaman yang kedua, "taksu" dilihat sebagai sesuatu yang abstrak, yakni kekuatan suci, yang berasal dari Tuhan yang dapat diperoleh melalui ritual dan olah spiritual.
"Dalam kondisi demikian terkandung hal-hal yang bersifat transedental, yang hanya bisa ditangkap dan diungkapkan dengan kepekaan rasa, sehingga `taksu` dilihat sebagai sesuatu yang imanen dan niskala," ujar Prof. Dibia. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
"Pembenahan itu untuk menghasilkan lulusan yang bermutu sesuai harapan," kata Prof Dibia dalam pidato ilmiah pada Dies Natalis XI dan wisuda sarjana XIII ISI Denpasar, Sabtu.
Dalam pidato ilmiah berjudul "Aktivitas Taksu Dalam Pendidikan Seni di Perguruan Tinggi", Ia mengatakan jika proses belajar mengajar selama ini tidak segera disempurnakan akan dapat menjadi penghalang bagi terwujud visi ISI Denpasar ke depan, yakni menjadi pusat unggulan (center of excellence) di bidang seni budaya.
"Taksu" merupakan bagian dari warisan budaya Bali yang bersifat tidak benda, yakni energi puncak, kekuatan ilahi (spiritual power) yang mampu memberi degup kehidupan, daya pikat dan daya pukau, dari penampilan seniman atau sajian karya seni.
"Kekuatan Tuhan mampu merubah sesuatu yang biasa menjadi luar biasa, dari yang kosong menjadi berisi, dari yang redup menjadi berdegup," ujar Prof Dibia.
Tiga batasan singkat menyangkut "Taksu" yakni kekuatan dalam, kekuatan spiritual dan energi puncak. Sebagai kekuatan dalam, "taksu" muncul dari olah kekuatan yang ada dalam diri manusia. Oleh karena itu "taksu" muncul melalui proses olah spiritual, sebagai energi puncak karena munculnya "taksu" membawa kekuatan luar biasa yang dapat memacu daya dan semangat kreativitas, intelektualitas, serta inteligensia seseorang untuk menunjukkan prestasi puncaknya.
"Taksu" sekaligus merupakan energi atau kekuatan, daya pukau atau pesona, termasuk di dalamnya wibawa dan kharisma.
Dibia menjelaskan, masyarakat Bali umumnya memaknai dan mengartikan "taksu" secara konkret (material) dan abstrak (imaterial). Dalam pemahaman pertama taksu adalah tempat suci keluarga (sanggah) tempat memuja Tuhan untuk memohon kekuatan magis.
Sedangkan dalam pemahaman yang kedua, "taksu" dilihat sebagai sesuatu yang abstrak, yakni kekuatan suci, yang berasal dari Tuhan yang dapat diperoleh melalui ritual dan olah spiritual.
"Dalam kondisi demikian terkandung hal-hal yang bersifat transedental, yang hanya bisa ditangkap dan diungkapkan dengan kepekaan rasa, sehingga `taksu` dilihat sebagai sesuatu yang imanen dan niskala," ujar Prof. Dibia. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014