Denpasar (Antara Bali) - Pengamat pertanian dari Universitas Udayana (Unud) Denpasar Prof I Wayan Windia melihat pesatnya perkembangan sektor pariwisata di Bali telah mengorbankan sektor pertanian.
"Padahal pertanian berkaitan erat dengan ekonomi Bali karena
jika kebudayaan Bali hancur maka semua sektor ekonomi di Pulau Dewata akan hancur," kata Ketua Pusat Penelitian Subak Unud di Denpasar, Sabtu.
Menurut dia, hal itu bisa terjadi karena semua sektor ekonomi di Pulau Dewata dilandasi oleh kebudayaan masyarakat setempat, khususnya pengembangan sektor pariwisata yang kini menjadi tumpuan harapan sebagian besar masyarakat setempat.
Padahal hasil penelitian Sceto bahwa Bali hanya siap menampung 24 ribu kamar hotel bertaraf internasional, namun kenyataannya sekarang ada sekitar 4.000 hotel berkapasitas 90 ribu kamar atau hampir empat kali lipat.
Windia menjelaskan, meskipun pemerintah sejak lama mewacanakan penghentian pembangunan (moratorium) hotel, hal itu tidak pernah terealisasi.
Hal itu terjadi karena daerah-daerah di Bali masih membutuhkan pendapatan asli daerah. "Semua itu menyebabkan runtuhnya kebudayaan Bali, padahal merupakan landasan bagi semua sektor kehidupan di Bali," ujarnya.
Windia mengutip pendapat ahli antropologi bahwa kelemahan pembangunan di Indonesia, termasuk Bali adalah proses pembangunan terlalu bersifat melihat kepentingan jangka pendek (myopia).
Hal itu bisa terjadi, karena sekarang biaya pilitik yang sangat mahal, sistem politik yang ditandai dengan banyaknya politik uang dan pandangan elit yang hanya menyukai ekonomi, pertumbuhan, dan teknologi.
Mereka kurang tertarik terhadap aspek sosial, pemerataan, dan kebudayaan. Fenomena seperti ini akan terus terjadi, kalau sistem politik Indonesia tidak direformasi. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
"Padahal pertanian berkaitan erat dengan ekonomi Bali karena
jika kebudayaan Bali hancur maka semua sektor ekonomi di Pulau Dewata akan hancur," kata Ketua Pusat Penelitian Subak Unud di Denpasar, Sabtu.
Menurut dia, hal itu bisa terjadi karena semua sektor ekonomi di Pulau Dewata dilandasi oleh kebudayaan masyarakat setempat, khususnya pengembangan sektor pariwisata yang kini menjadi tumpuan harapan sebagian besar masyarakat setempat.
Padahal hasil penelitian Sceto bahwa Bali hanya siap menampung 24 ribu kamar hotel bertaraf internasional, namun kenyataannya sekarang ada sekitar 4.000 hotel berkapasitas 90 ribu kamar atau hampir empat kali lipat.
Windia menjelaskan, meskipun pemerintah sejak lama mewacanakan penghentian pembangunan (moratorium) hotel, hal itu tidak pernah terealisasi.
Hal itu terjadi karena daerah-daerah di Bali masih membutuhkan pendapatan asli daerah. "Semua itu menyebabkan runtuhnya kebudayaan Bali, padahal merupakan landasan bagi semua sektor kehidupan di Bali," ujarnya.
Windia mengutip pendapat ahli antropologi bahwa kelemahan pembangunan di Indonesia, termasuk Bali adalah proses pembangunan terlalu bersifat melihat kepentingan jangka pendek (myopia).
Hal itu bisa terjadi, karena sekarang biaya pilitik yang sangat mahal, sistem politik yang ditandai dengan banyaknya politik uang dan pandangan elit yang hanya menyukai ekonomi, pertumbuhan, dan teknologi.
Mereka kurang tertarik terhadap aspek sosial, pemerataan, dan kebudayaan. Fenomena seperti ini akan terus terjadi, kalau sistem politik Indonesia tidak direformasi. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014