Denpasar (Antara Bali) - Guru Besar Universitas Udayana Prof Dr I Wayan Windia mengingatkan, kehancuran organisasi pengairan tradisional bidang pertanian (subak) di Bali akan berpengaruh terhadap seluruh aspek kehidupan masyarakat Pulau Dewata.
"(Keprihatinan) Kehancuran subak akibat alih fungsi lahan maupun tersumbatnya air irigasi untuk kepentingan di luar sektor pertanian sejak lama telah menjadi wacana, namun tidak pernah mendapat penanganan secara tuntas," kata Prof Windia yang juga ketua grup riset sistem subak Universitas Udayana di Denpasar, Sabtu.
Ia mengatakan, jika subak di Bali hancur, maka kebudayaan yang diwarisi masyarakat Bali secara turun temurun juga ikut akan hancur.
"Kalau kebudayaan Bali hancur maka semua sektor ekonomi di Pulau Dewata akan hancur, karena satu sama lain saling terkait," ujar Windia.
Windia, guru besar bidang pertanian, menjelaskan, semua sektor ekonomi di Bali dilandasi oleh kebudayaan setempat, khususnya sektor pariwisata.
Namun kenyataannya justru sektor pariwisatalah yang menghancurkan sawah, pertanian dan subak di Bali. Sektor pariwisata telah menjadi kanibal terhadap sektor pertanian.
"Hal itu terjadi karena sektor pariwisata dikembangkan di luar batas-batas kemampuan Pulau Bali untuk menampungnya," ujar Prof Windia.
Hal itu perlu mendapat perhatian dan penanganan dari semua pihak, khususnya pengambil keputusan, karena tahun 1985 sudah disepakti, berdasarkan penelitian Sceto bahwa Bali hanya siap menampung 24.000 kamar hotel bertaraf internasional.
Namun kenyataannya sekarang, jumlah kamar hotel internasional di Bali telah mencapai 80.000 kamar, tiga kali lipat dari ketentuan ideal.
Windia menyatakan pemerintah belum juga melakukan moratorium pembangunan hotel karena alasan ekonomi yaitu perolehan pajak asli daerah (PAD), dan besaran APBD.
Kedua komponen itu sangat sering menjadi kebanggaan para pejabat, namun tidak dirasakan bahwa pada akhirnya menyebabkan keruntuhan kebudayaan Bali. "Padahal Kebudayaan Bali itu justru merupakan landasan bagi semua sektor kehidupan, "tutur Prof Windia. (I020/I018)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
"(Keprihatinan) Kehancuran subak akibat alih fungsi lahan maupun tersumbatnya air irigasi untuk kepentingan di luar sektor pertanian sejak lama telah menjadi wacana, namun tidak pernah mendapat penanganan secara tuntas," kata Prof Windia yang juga ketua grup riset sistem subak Universitas Udayana di Denpasar, Sabtu.
Ia mengatakan, jika subak di Bali hancur, maka kebudayaan yang diwarisi masyarakat Bali secara turun temurun juga ikut akan hancur.
"Kalau kebudayaan Bali hancur maka semua sektor ekonomi di Pulau Dewata akan hancur, karena satu sama lain saling terkait," ujar Windia.
Windia, guru besar bidang pertanian, menjelaskan, semua sektor ekonomi di Bali dilandasi oleh kebudayaan setempat, khususnya sektor pariwisata.
Namun kenyataannya justru sektor pariwisatalah yang menghancurkan sawah, pertanian dan subak di Bali. Sektor pariwisata telah menjadi kanibal terhadap sektor pertanian.
"Hal itu terjadi karena sektor pariwisata dikembangkan di luar batas-batas kemampuan Pulau Bali untuk menampungnya," ujar Prof Windia.
Hal itu perlu mendapat perhatian dan penanganan dari semua pihak, khususnya pengambil keputusan, karena tahun 1985 sudah disepakti, berdasarkan penelitian Sceto bahwa Bali hanya siap menampung 24.000 kamar hotel bertaraf internasional.
Namun kenyataannya sekarang, jumlah kamar hotel internasional di Bali telah mencapai 80.000 kamar, tiga kali lipat dari ketentuan ideal.
Windia menyatakan pemerintah belum juga melakukan moratorium pembangunan hotel karena alasan ekonomi yaitu perolehan pajak asli daerah (PAD), dan besaran APBD.
Kedua komponen itu sangat sering menjadi kebanggaan para pejabat, namun tidak dirasakan bahwa pada akhirnya menyebabkan keruntuhan kebudayaan Bali. "Padahal Kebudayaan Bali itu justru merupakan landasan bagi semua sektor kehidupan, "tutur Prof Windia. (I020/I018)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014