Denpasar (Antara Bali) - Guru besar Universitas Udayana Prof I Wayan Windia memperkirakan masyarakat Bali sudah tak tertarik lagi bercocok tanam karena sudah banyak yang menjual sawah warisan leluhurnya.
"Keterpaksaan itu akibat mereka tidak mampu lagi bertahan dari tekanan lingkungan sosial dan ekonomi yang sangat kuat," kata Ketua Peneliti Subak Universitas Udayana Denpasar itu, Sabtu.
Ia mengemukakan bahwa kelemahan utama dari semua lembaga yang berlandaskan sosio-kultural, termasuk subak adalah mereka tidak tahan terhadap tekanan eksternal atau lingkungan sekitarnya.
Subak di Bali kini menghadapi tekanan utama antara lain adalah pendapatan petani sangat kecil. Mereka yang menanam padi garapan satu hektare pendapatannya hanya Rp8 juta per musim atau Rp 2 juta per bulan.
"Pendapatan itu hampir sama dengan penghasilan seorang pengemis jalanan di Pulau Dewata," ujar Prof Windia.
Selain itu petani juga menghadapi pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB) yang sangat tinggi dan mencekik, khususnya petani yang bekerja di kawasan sawah yang berada dalam lingkungan yang sedang membangun.
Jika dalam kawasan subak ada pembangunan, otomatis pajak PBB akan naik, karena dasar pengenaan pajak atas nilai jual objek pajak (NJOP). Padahal seharusnya yang adil pengenaan pajak atas dasar produksi.
"Sebagian besar petani mengeluh tidak mampu membayar pajak PBB, lalu harus menjual sawahnya. Kasus ini sekarang terjadi secara besar-besaran di kawasan sepanjang jalan by pass Ida Bagus Mantra, Renon, dan kawasan perkotaan lainnya di Pulau Dewata," ujar Prof Windia.
Petani lainnya mengeluh air irigasi yang sebenarnya untuk kepentingan subak
mulai dibagi untuk kepentingan non-pertanian seperti untuk pariwisata, pabrik, bahan baku perusahaan daerah air minum.
Selain itu air irigasi banyak mengandung polusi, karena masyarakat membuang sampah plastik, dan berbagai barang bekas secara sembarang ke sungai dan saluran irigasi, sehingga sangat mengganggu persawahan petani. (WRA)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
"Keterpaksaan itu akibat mereka tidak mampu lagi bertahan dari tekanan lingkungan sosial dan ekonomi yang sangat kuat," kata Ketua Peneliti Subak Universitas Udayana Denpasar itu, Sabtu.
Ia mengemukakan bahwa kelemahan utama dari semua lembaga yang berlandaskan sosio-kultural, termasuk subak adalah mereka tidak tahan terhadap tekanan eksternal atau lingkungan sekitarnya.
Subak di Bali kini menghadapi tekanan utama antara lain adalah pendapatan petani sangat kecil. Mereka yang menanam padi garapan satu hektare pendapatannya hanya Rp8 juta per musim atau Rp 2 juta per bulan.
"Pendapatan itu hampir sama dengan penghasilan seorang pengemis jalanan di Pulau Dewata," ujar Prof Windia.
Selain itu petani juga menghadapi pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB) yang sangat tinggi dan mencekik, khususnya petani yang bekerja di kawasan sawah yang berada dalam lingkungan yang sedang membangun.
Jika dalam kawasan subak ada pembangunan, otomatis pajak PBB akan naik, karena dasar pengenaan pajak atas nilai jual objek pajak (NJOP). Padahal seharusnya yang adil pengenaan pajak atas dasar produksi.
"Sebagian besar petani mengeluh tidak mampu membayar pajak PBB, lalu harus menjual sawahnya. Kasus ini sekarang terjadi secara besar-besaran di kawasan sepanjang jalan by pass Ida Bagus Mantra, Renon, dan kawasan perkotaan lainnya di Pulau Dewata," ujar Prof Windia.
Petani lainnya mengeluh air irigasi yang sebenarnya untuk kepentingan subak
mulai dibagi untuk kepentingan non-pertanian seperti untuk pariwisata, pabrik, bahan baku perusahaan daerah air minum.
Selain itu air irigasi banyak mengandung polusi, karena masyarakat membuang sampah plastik, dan berbagai barang bekas secara sembarang ke sungai dan saluran irigasi, sehingga sangat mengganggu persawahan petani. (WRA)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014