Tabanan (Antara) - Pembahasan revisi Peraturan Daerah tentang Jalur Hijau di DPRD Kabupaten Tabanan, Bali, Selasa, berlangsung alot karena eksekutif dan legislatif mempertahankan argumentasinya masing-masing.
Asisten II Sekda Kabupaten Tabanan I Wayan Miarsana menangkap adanya kekhawatiran yang berlebihan jika revisi perda itu disahkan, terutama terkait makin menciutnya jalur hijau.
"Namun kami dari pihak eksekutif tidak bisa berbuat banyak karena bisa saja warga yang memiliki lahan di jalur hijau itu ingin membangun rumah. Pemerintah tidak punya dana untuk membeli lahan mereka di jalur hijau," katanya.
Pihaknya sangat menyadari bahwa pemilik lahan bisa melakukan apa saja terhadap asetnya sendiri. "Kalau dia membutuhkan lahan itu untuk bangun rumah, mau apa?" kata Miarsana.
Oleh sebab itu, dia berusaha meyakinkan anggota DPRD Kabupaten Tabanan yang duduk di Panitia Khusus VII yang membahas revisi Perda Jalur Hijau.
"Sampai 20 tahun ke depan, Kabupaten Tabanan masih memiliki 52 persen dari luas wilayahnya sebagai ruang terbuka hijau," katanya berusaha meyakinkan anggota Pansus VII DPRD Kabupaten Tabanan.
Menurut dia, Perda Nomor 11 Tahun 2002 tentang Jalur Hijau sudah tidak relevan lagi diberlakukan seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk yang berdampak pada tingginya kebutuhan tempat tinggal.
Anggota Pansus VII DPRD Kabupaten Tabanan I Nyoman Suadnya Darma mengakui bahwa hampir seluruh lahan di jalur hijau merupakan hak milik masyarakat.
Namun dengan adanya revisi itu dia berharap masyarakat tidak begitu saja membangun rumah. "Kalau pun terpaksa memanfaatkan lahannya di jalur hijau, maka harus sesuai mekanisme yang berlaku," kata Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Tabanan itu.
Sementara itu, I Nengah Tamba, anggota Pansus VII lainnya, meminta pihak eksekutif memperbarui draf usulan revisi karena tidak mencantumkan areal pertanian di Jatiluwih yang ditetapkan oleh UNESCO sebagai salah satu warisan budaya dunia (WBD).
"Akhir tahun lalu, pemerintah pusat dan daerah sempat ditegur UNESCO lantaran tidak ada program yang mendukung Jatiluwih sebagai WBD. Padahal sejak menyandang WBD, Jatiluwih harus sudah diproteksi. Karena di kawasan itu ada bagian inti, penyanding, dan subak-subak penyangga. Tapi dalam draf usulan revisi sama sekali tidak mencantumkan Jatiluwih," katanya. (WRA)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013
Asisten II Sekda Kabupaten Tabanan I Wayan Miarsana menangkap adanya kekhawatiran yang berlebihan jika revisi perda itu disahkan, terutama terkait makin menciutnya jalur hijau.
"Namun kami dari pihak eksekutif tidak bisa berbuat banyak karena bisa saja warga yang memiliki lahan di jalur hijau itu ingin membangun rumah. Pemerintah tidak punya dana untuk membeli lahan mereka di jalur hijau," katanya.
Pihaknya sangat menyadari bahwa pemilik lahan bisa melakukan apa saja terhadap asetnya sendiri. "Kalau dia membutuhkan lahan itu untuk bangun rumah, mau apa?" kata Miarsana.
Oleh sebab itu, dia berusaha meyakinkan anggota DPRD Kabupaten Tabanan yang duduk di Panitia Khusus VII yang membahas revisi Perda Jalur Hijau.
"Sampai 20 tahun ke depan, Kabupaten Tabanan masih memiliki 52 persen dari luas wilayahnya sebagai ruang terbuka hijau," katanya berusaha meyakinkan anggota Pansus VII DPRD Kabupaten Tabanan.
Menurut dia, Perda Nomor 11 Tahun 2002 tentang Jalur Hijau sudah tidak relevan lagi diberlakukan seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk yang berdampak pada tingginya kebutuhan tempat tinggal.
Anggota Pansus VII DPRD Kabupaten Tabanan I Nyoman Suadnya Darma mengakui bahwa hampir seluruh lahan di jalur hijau merupakan hak milik masyarakat.
Namun dengan adanya revisi itu dia berharap masyarakat tidak begitu saja membangun rumah. "Kalau pun terpaksa memanfaatkan lahannya di jalur hijau, maka harus sesuai mekanisme yang berlaku," kata Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Tabanan itu.
Sementara itu, I Nengah Tamba, anggota Pansus VII lainnya, meminta pihak eksekutif memperbarui draf usulan revisi karena tidak mencantumkan areal pertanian di Jatiluwih yang ditetapkan oleh UNESCO sebagai salah satu warisan budaya dunia (WBD).
"Akhir tahun lalu, pemerintah pusat dan daerah sempat ditegur UNESCO lantaran tidak ada program yang mendukung Jatiluwih sebagai WBD. Padahal sejak menyandang WBD, Jatiluwih harus sudah diproteksi. Karena di kawasan itu ada bagian inti, penyanding, dan subak-subak penyangga. Tapi dalam draf usulan revisi sama sekali tidak mencantumkan Jatiluwih," katanya. (WRA)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013