"Tek..tek...tek..tek" yang berkolaborasikan dengan instrumen gamelan gong kebyar itu suaranya merdu, saat tim kesenian Kodim Tabanan tampil dalam pentas seni budaya memeriahkan peringatan Hari TNI.
Komando Daerah Militer Kodam IX Udayana melalui pendekatan budaya menampilkan keunikan seni budaya dan kearifan lokal dari delapan kabupaten dan satu kota di Bali di panggung terbuka Surya Candra Murti Museum Gunarsa, di Desa Takmung, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung, 45 km timur Denpasar.
Anggota TNI Kodim Tabanan dalam pementasan kesenian tektekan itu berkolaborasi dengan seniman dari Desa Kukuh, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan untuk menampilkan sebuah pementasan khas daerah "gudang beras" di Bali itu.
Tektekan, kesenian khas Kabupaten Tabanan itu menggunakan belasan buah kulkul ukuran kecil yang terbuat dari bambu dipadukan dengan alat musik lain seperti kendang, cengceng, kempur, gong kebyar.
Penampilan kesenian tektekan disesuaikan dengan kebutuhan sebuah pegelaran seni, sehingga menjadi sebuah tontonan seni yang dapat dinikmati oleh masyarakat maupun wisatawan saat berliburan di Pulau Dewata.
Kesenian tektekan merupakan salah satu dari sejumlah karya monumental yang diciptakan oleh Anak Agung Ngurah Oka Silagunadha BA (83), seorang pria kelahiran Kerambitan, Kabupaten Tabanan berlandaskan filosofi Bali "Rwa Bhineda" yakni dua pertentangan abadi yang terjadi di dunia.
Agung Oka, tokoh Puri Kerambitan itu menciptakan tektekan, instrumen musik tradisional Bali mengiringi gerak tari pada bulan April 1967, menyusul kesenian Okokan pada bulan Mei 1967. Kedua karya cipta yakni tektekan dan okokan kini cukup monumental di Bali.
"Okokan" sebuah benda semacam genta dari bahan kayu yang dililitkan pada leher ternak sapi --kalung--, dengan harapan ternak tersebut mudah ditemukan jika sapi piaraan tersebut lepas dari kandangnya.
Benda terbuat dari kayu dengan bentuk segi empat berukuran kecil, di bagian dalam diisi kayu --pentol-- yang ujungnya diikat dengan tali, sehingga saat sapi bergerak, kalung sapi tersebut mengeluarkan bunyi cukup merdu, `tok..tak...tok..tak`.
Okokan yang biasa ditempelkan petani pada leher ternak sapi piharaannya itulah yang menjadi inspirasi suami dari Rr Tuty Endang Erawati dalam menciptakan kesenian okokan yang pernah tampil di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan Pesta Kesenian Bali (PKB) aktivitas seni tahunan di Pulau Dewata.
Masyarakat Kerambitan di daerah "gudang beras" Pulau Dewata itu mempunyai mata pencaharian sebagai petani dan masing-masing memelihara sedikitnya dua ekor sapi yang digunakan untuk membantu mengolah sawah (membajak), sehingga hampir semua peternak bisa membuat "okokan".
Umumnya dibuat berukuran kecil sehingga tidak mengganggu gerak ternak sapi, namun beberapa warga setempat membuat okokan berukuran besar, yakni mencapai 1,5 sampai dua meter untuk kepentingan pementasan.
Pariwisata unik
Agung Oka, tokoh Puri Kerambitan, Kabupaten Tabanan yang juga pensiunan karyawan Kantor Gubernuran Provinsi Bali itu tercatat sebagai perintis program pariwisata yang menyuguhkan atraksi wisata yang unik dan menarik dengan menyuguhkan kesenian tektekan dan okokan.
Program yang disebut "Royal Reception" diluncurkan pada 4 Juli 1967, sehingga Puri Anyar Kerambitan merupakan yang pertama kawasan puri (bekas kerajaan) menjadi daerah tujuan wisata.
Agung Oka ayah dari tiga putra dan putri dalam program "Royal Reception" memperkenalkan kepada wisatawan dalam dan luar negeri nuansa zaman dulu raja menyambut tamu raja-raja lainnya dalam suatu pesta dengan menghidangkan makanan khas Bali sambil menyuguhkan kesenian tektekan dan okokan.
Atraksi wisata puri itu juga dikemas dalam program yang disebut "wedding party" yakni resepsi perkawinan, bukan upacara perkawinan dan mempelai mengenakan pakaian adat kebesaran Bali.
Selain itu program dengan kemasan "village tours" yakni wisatawan berkeliling desa untuk menyaksikan seni budaya, termasuk pembuatan jajan khas Bali, sesajen di Balai Desa yang ditekuni masyarakat setempat.
Demikian pula menyaksikan kegiatan olahraga khas Bali dan pementasan tari joged (tari pergaulan) yang mengajak turis menari bersama penari remaja cantik sambil menikmati makan siang.
Ayah dari AA Sagung Mas Silawati, AA Ngurah Agung Bagus Erawa dan AA Ngurah Manik Angkawijaya SE itu mempunyai andil yang cukup besar terhadap pelestarian, pengembangan dan pengalian seni budaya Bali.
Sosok Agung Oka juga menciptakan Sendratari "Cetrung Kasedihan" yang diangkat dari cerita Tantri Kamandaka yang keberadaannya cukup populer yang dipentaskan di hotel-hotel berbintang tempat wisman menginap di Pulau Dewata.
Selain itu menciptakan tari jangger kreasi baru pada bulan Agustus 1970 dengan mempopulerkan seni tari dan seni jangger di kalangan hotel-hotel berbintang. Dengan berkembangkan sektor pariwisata yang kini juga mulai menjangkau wilayah kabupaten Tabanan diharapkan seni budaya tetap tumbuh dan berkembang, namun mampu memberikan kehidupan bagi masyarakat setempat.
Kondisi itu sekaligus mampu mewujudkan seni budaya Bali sebagai menyandang kehidupan lahir dan batin, sekaligus memberi kesinambungan yang abadi, harap Agung Oka.
Berkat prestasi, dedikasi dan pengabdiannya dalam bidang seni tanpa mengenal putusasa sosok Anak Agung Ngurah Oka Silagunadha masuk moninasi penerima anugrah Dharma Kusuma, penghargaan tertinggi dalam bidang seni dari Pemerintah Provinsi Bali pada puncak Hari Ulang Tahun (HUT) ke-55 Pemprov Bali, 14 Agustus 2013, tutur Kepala Seksi Perfilman dan Perizinan pada Dinas Kebudayaan Provinsi Bali I Wayan Dauh.
Pemerintah Provinsi Bali membentuk satu tim untuk menyeleksi seniman yang dinilai berjasa terhadap pengembangan seni budaya Bali untuk memperoleh penghargaan tertinggi dalam bidang seni.
Tim beranggotakan dari instansi terkait antara lain Listibia, Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Dinas Pendidikan, Biro Kesra dan Dinas Kebudayaan.
Pemerintah Kabupaten/kota di Bali telah melakukan seleksi dan mengusulkan sejumlah seniman di daerahnya untuk mendapat penghargaan Dharma Kusuma.
Usulan dari kabupaten/kota itu kembali diseleksi oleh tim yang diketuai Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, karena usulan yang masuk cukup banyak sementara penghargaan yang diberikan sangat terbatas, ujar Wayan Dauh. (LHS)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013
Komando Daerah Militer Kodam IX Udayana melalui pendekatan budaya menampilkan keunikan seni budaya dan kearifan lokal dari delapan kabupaten dan satu kota di Bali di panggung terbuka Surya Candra Murti Museum Gunarsa, di Desa Takmung, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung, 45 km timur Denpasar.
Anggota TNI Kodim Tabanan dalam pementasan kesenian tektekan itu berkolaborasi dengan seniman dari Desa Kukuh, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan untuk menampilkan sebuah pementasan khas daerah "gudang beras" di Bali itu.
Tektekan, kesenian khas Kabupaten Tabanan itu menggunakan belasan buah kulkul ukuran kecil yang terbuat dari bambu dipadukan dengan alat musik lain seperti kendang, cengceng, kempur, gong kebyar.
Penampilan kesenian tektekan disesuaikan dengan kebutuhan sebuah pegelaran seni, sehingga menjadi sebuah tontonan seni yang dapat dinikmati oleh masyarakat maupun wisatawan saat berliburan di Pulau Dewata.
Kesenian tektekan merupakan salah satu dari sejumlah karya monumental yang diciptakan oleh Anak Agung Ngurah Oka Silagunadha BA (83), seorang pria kelahiran Kerambitan, Kabupaten Tabanan berlandaskan filosofi Bali "Rwa Bhineda" yakni dua pertentangan abadi yang terjadi di dunia.
Agung Oka, tokoh Puri Kerambitan itu menciptakan tektekan, instrumen musik tradisional Bali mengiringi gerak tari pada bulan April 1967, menyusul kesenian Okokan pada bulan Mei 1967. Kedua karya cipta yakni tektekan dan okokan kini cukup monumental di Bali.
"Okokan" sebuah benda semacam genta dari bahan kayu yang dililitkan pada leher ternak sapi --kalung--, dengan harapan ternak tersebut mudah ditemukan jika sapi piaraan tersebut lepas dari kandangnya.
Benda terbuat dari kayu dengan bentuk segi empat berukuran kecil, di bagian dalam diisi kayu --pentol-- yang ujungnya diikat dengan tali, sehingga saat sapi bergerak, kalung sapi tersebut mengeluarkan bunyi cukup merdu, `tok..tak...tok..tak`.
Okokan yang biasa ditempelkan petani pada leher ternak sapi piharaannya itulah yang menjadi inspirasi suami dari Rr Tuty Endang Erawati dalam menciptakan kesenian okokan yang pernah tampil di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan Pesta Kesenian Bali (PKB) aktivitas seni tahunan di Pulau Dewata.
Masyarakat Kerambitan di daerah "gudang beras" Pulau Dewata itu mempunyai mata pencaharian sebagai petani dan masing-masing memelihara sedikitnya dua ekor sapi yang digunakan untuk membantu mengolah sawah (membajak), sehingga hampir semua peternak bisa membuat "okokan".
Umumnya dibuat berukuran kecil sehingga tidak mengganggu gerak ternak sapi, namun beberapa warga setempat membuat okokan berukuran besar, yakni mencapai 1,5 sampai dua meter untuk kepentingan pementasan.
Pariwisata unik
Agung Oka, tokoh Puri Kerambitan, Kabupaten Tabanan yang juga pensiunan karyawan Kantor Gubernuran Provinsi Bali itu tercatat sebagai perintis program pariwisata yang menyuguhkan atraksi wisata yang unik dan menarik dengan menyuguhkan kesenian tektekan dan okokan.
Program yang disebut "Royal Reception" diluncurkan pada 4 Juli 1967, sehingga Puri Anyar Kerambitan merupakan yang pertama kawasan puri (bekas kerajaan) menjadi daerah tujuan wisata.
Agung Oka ayah dari tiga putra dan putri dalam program "Royal Reception" memperkenalkan kepada wisatawan dalam dan luar negeri nuansa zaman dulu raja menyambut tamu raja-raja lainnya dalam suatu pesta dengan menghidangkan makanan khas Bali sambil menyuguhkan kesenian tektekan dan okokan.
Atraksi wisata puri itu juga dikemas dalam program yang disebut "wedding party" yakni resepsi perkawinan, bukan upacara perkawinan dan mempelai mengenakan pakaian adat kebesaran Bali.
Selain itu program dengan kemasan "village tours" yakni wisatawan berkeliling desa untuk menyaksikan seni budaya, termasuk pembuatan jajan khas Bali, sesajen di Balai Desa yang ditekuni masyarakat setempat.
Demikian pula menyaksikan kegiatan olahraga khas Bali dan pementasan tari joged (tari pergaulan) yang mengajak turis menari bersama penari remaja cantik sambil menikmati makan siang.
Ayah dari AA Sagung Mas Silawati, AA Ngurah Agung Bagus Erawa dan AA Ngurah Manik Angkawijaya SE itu mempunyai andil yang cukup besar terhadap pelestarian, pengembangan dan pengalian seni budaya Bali.
Sosok Agung Oka juga menciptakan Sendratari "Cetrung Kasedihan" yang diangkat dari cerita Tantri Kamandaka yang keberadaannya cukup populer yang dipentaskan di hotel-hotel berbintang tempat wisman menginap di Pulau Dewata.
Selain itu menciptakan tari jangger kreasi baru pada bulan Agustus 1970 dengan mempopulerkan seni tari dan seni jangger di kalangan hotel-hotel berbintang. Dengan berkembangkan sektor pariwisata yang kini juga mulai menjangkau wilayah kabupaten Tabanan diharapkan seni budaya tetap tumbuh dan berkembang, namun mampu memberikan kehidupan bagi masyarakat setempat.
Kondisi itu sekaligus mampu mewujudkan seni budaya Bali sebagai menyandang kehidupan lahir dan batin, sekaligus memberi kesinambungan yang abadi, harap Agung Oka.
Berkat prestasi, dedikasi dan pengabdiannya dalam bidang seni tanpa mengenal putusasa sosok Anak Agung Ngurah Oka Silagunadha masuk moninasi penerima anugrah Dharma Kusuma, penghargaan tertinggi dalam bidang seni dari Pemerintah Provinsi Bali pada puncak Hari Ulang Tahun (HUT) ke-55 Pemprov Bali, 14 Agustus 2013, tutur Kepala Seksi Perfilman dan Perizinan pada Dinas Kebudayaan Provinsi Bali I Wayan Dauh.
Pemerintah Provinsi Bali membentuk satu tim untuk menyeleksi seniman yang dinilai berjasa terhadap pengembangan seni budaya Bali untuk memperoleh penghargaan tertinggi dalam bidang seni.
Tim beranggotakan dari instansi terkait antara lain Listibia, Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Dinas Pendidikan, Biro Kesra dan Dinas Kebudayaan.
Pemerintah Kabupaten/kota di Bali telah melakukan seleksi dan mengusulkan sejumlah seniman di daerahnya untuk mendapat penghargaan Dharma Kusuma.
Usulan dari kabupaten/kota itu kembali diseleksi oleh tim yang diketuai Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, karena usulan yang masuk cukup banyak sementara penghargaan yang diberikan sangat terbatas, ujar Wayan Dauh. (LHS)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013