Forum global Tri Hita Karana yang berdiri sejak G20 kembali berkumpul di Bali untuk mengajak masyarakat dunia merefleksikan diri demi mencari solusi modern mengatasi tantangan global.
Presiden United In Diversity Foundation Tantowi Yahya di KEK Kura-kura Bali, Denpasar, Sabtu, mengatakan berkumpulnya tokoh global dan spiritual ini untuk memancarkan harmoni, sehingga dalam mengatasi tantangan ke depan masyarakat sudah memiliki modal perdamaian dan persatuan.
Tantowi menjelaskan sejak awal KEK Kura-kura Bali mewadahi forum ini, mereka sudah mengamalkan konsep Tri Hita Karana milik masyarakat Hindu Bali selama ratusan tahun.
“Acara ini memancarkan sebuah harmoni antara kemanusiaan, alam, dan spiritualitas yang diinspirasi oleh filosofi hidup orang Bali yaitu Tri Hita Karana, kalau dunia merumuskan pembangunan berkelanjutan menjadi 17 program menuju kehidupan lebih baik,maka orang Bali sejak ratusan tahun hanya tiga dalam Tri Hita Karana,” kata dia.
Secara daring forum mengundang Paus Fransiskus dan mengangkat narasi perdamaian dalam Deklarasi Istiqlal yang digaungkan pada September 2024 lalu.
“Semangat persahabatan yang dipelihara oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar Nasaruddin bertujuan untuk memperkuat komitmen terhadap perdamaian dan harmoni,” ujar Tantowi Yahya.
Mantan Duta Besar Selandia Baru itu juga mengatakan sesi refleksi diri ini selain untuk mendorong perdamaian global juga menjadi wadah kuat untuk membahas dan menangani masalah kritis seperti perubahan iklim dan ketidaksetaraan sosial.
“Tri Hita Karana Universal Reflection Journey bukan hanya sekadar acara melainkan gerakan yang mengajak kita untuk membangun masa depan yang lebih berkelanjutan berdasarkan prinsip-prinsip harmoni antara manusia, alam, dan spiritualitas,” ujarnya.
Berangkat dari pertemuan ini, kini di area KEK Kura-kura Bali terpasang 20 karya seni berbentuk kubah berputar yang berisi lukisan yang menyoroti isu dunia dari berbagai seniman internasional.
Dipimpin oleh seniman Lance M Fung, pameran di sekitar Kampus United In Diversity ini mempertemukan 12 seniman seperti Mariam Alnoaimi (Bahrain), Ragnar Axelsson (Islandia), Carlos Esteves (Kuba), David Gumbs (Martinique), Katie Holton (Irlandia), Sid Natividad (Filipina), Donna Ong (Singapura), Gayan Prageeth (Sri Lanka), Alexis Rockman (AS), Abigail Romanchak (Hawaii), Citra Sasmita (Bali), dan Michael Tuffery (Selandia Baru).
Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat yang turut hadir menilai gerakan ini penting tidak hanya untuk Indonesia namun masyarakat dunia.
Ia melihat kondisi masyarakat yang kurang terorganisir dalam kehidupan yang penuh dinamika dalam dua dekade terakhir ini memerlukan pencerahan, sehingga materi dan bimbingan dari tokoh spiritual yang dihadirkan dapat membantu hidup merasa lebih seimbang
“Kalau tidak memiliki kemampuan keseimbangan kita bisa salah ambil keputusan, contohnya kecepatan perkembangan teknologi, keutamaan kemampuan AI kalau kita tidak mampu mengelolanya bisa menjadi hal negatif,” kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2024