Denpasar (Antara Bali) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Daerah Bali menilai, ekonomi hijau yang kini menjadi salah satu pembahasan dalam konferensi Program Lingkungan PBB (UNEP) hanya sebuah kamuflase.
"Ekonomi hijau yang dimaksud hanyalah sebuah kamuflase hijau dari sistem kapitalisme. Jangan terkecoh," kata Direktur WALHI Bali, Agung Wardana, dalam siaran persnya di Denpasar, Selasa.
Ia mengemukakan, jargon ekonomi hijau tidak lebih dari sekedar tempelan di kulit luar sistem ekonomi global karena kapitalisme masih menjadi rohnya, maka watak aslinya pun tidak berubah, yakni eksploitatif, ekspansif, dan hanya menguntungkan segelintir elit semata.
Menurut dia, dengan pembahasan model ekonomi "baru" ini, bukan berarti bahwa pemain ekonomi saat ini akan mengakui dosa-dosanya sehingga merubah diri menjadi peduli lingkungan.
"Ada arus besar kesadaran lingkungan hidup sedang bersemi di antara penduduk bumi. Karena tidak mau tergilas oleh zaman, maka kapitalisme global pun bermetamorfosis ke dalam bentuk kapitalisme hijau," kata aktivis muda ini.
Ia mengemukakan bahwa istilah "green" itu sebenarnya merupakan seperangkat nilai politis dengan empat prinsip utama, yakni penghormatan terhadap kearifan ekologis, keadilan sosial, anti-kekerasan, dan demokrasi akar rumput.
"Kapitalisme secara alami tidak mungkin menjadi hijau, sebagaimana dipromosikan para ahli ekonomi dengan nama kapitalisme hijau karena kapitalisme itu sendiri bertentangan prinsip-prinsip hijau," ujarnya.
Saat ini, menurut Agung, perusahaan dan pemerintah mencoba mereduksi istilah ini menjadi jargon yang apolitis, individual, dan tentu saja memiliki nilai jual. Dengan demikian, mereka akan memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya di atas kecenderungan publik terhadap lingkungan.
Dia memprediksi bahwa konsep ekonomi hijau tidak akan memberikan manfaat yang besar dalam penyelamatan lingkungan dalam arti sebenarnya.
Konsep ini akan bernasib sama dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang telah berjalan 20 tahun, namun semakin hari kondisi bumi semakin genting.
Kedua konsep tersebut tidak menjawab akar permasalahan utama dari kerusakan lingkungan saat ini, yakni pembangunan yang berlandaskan model ekonomi kapitalistik dalam sistem produksi, distribusi, dan konsumsinya.
Dia menjelaskan bahwa konsep ekonomi hijau sebenarnya merupakan model untuk mempermudah penghitungan nilai ekonomi jasa layanan lingkungan, sehingga ketika pelayanan ekosistem sebuah kawasan rusak, maka sang perusak dapat dengan mudah mengkompensasikannya ke dalam bentuk uang lewat prinsip pencemar membayar.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2010
"Ekonomi hijau yang dimaksud hanyalah sebuah kamuflase hijau dari sistem kapitalisme. Jangan terkecoh," kata Direktur WALHI Bali, Agung Wardana, dalam siaran persnya di Denpasar, Selasa.
Ia mengemukakan, jargon ekonomi hijau tidak lebih dari sekedar tempelan di kulit luar sistem ekonomi global karena kapitalisme masih menjadi rohnya, maka watak aslinya pun tidak berubah, yakni eksploitatif, ekspansif, dan hanya menguntungkan segelintir elit semata.
Menurut dia, dengan pembahasan model ekonomi "baru" ini, bukan berarti bahwa pemain ekonomi saat ini akan mengakui dosa-dosanya sehingga merubah diri menjadi peduli lingkungan.
"Ada arus besar kesadaran lingkungan hidup sedang bersemi di antara penduduk bumi. Karena tidak mau tergilas oleh zaman, maka kapitalisme global pun bermetamorfosis ke dalam bentuk kapitalisme hijau," kata aktivis muda ini.
Ia mengemukakan bahwa istilah "green" itu sebenarnya merupakan seperangkat nilai politis dengan empat prinsip utama, yakni penghormatan terhadap kearifan ekologis, keadilan sosial, anti-kekerasan, dan demokrasi akar rumput.
"Kapitalisme secara alami tidak mungkin menjadi hijau, sebagaimana dipromosikan para ahli ekonomi dengan nama kapitalisme hijau karena kapitalisme itu sendiri bertentangan prinsip-prinsip hijau," ujarnya.
Saat ini, menurut Agung, perusahaan dan pemerintah mencoba mereduksi istilah ini menjadi jargon yang apolitis, individual, dan tentu saja memiliki nilai jual. Dengan demikian, mereka akan memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya di atas kecenderungan publik terhadap lingkungan.
Dia memprediksi bahwa konsep ekonomi hijau tidak akan memberikan manfaat yang besar dalam penyelamatan lingkungan dalam arti sebenarnya.
Konsep ini akan bernasib sama dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang telah berjalan 20 tahun, namun semakin hari kondisi bumi semakin genting.
Kedua konsep tersebut tidak menjawab akar permasalahan utama dari kerusakan lingkungan saat ini, yakni pembangunan yang berlandaskan model ekonomi kapitalistik dalam sistem produksi, distribusi, dan konsumsinya.
Dia menjelaskan bahwa konsep ekonomi hijau sebenarnya merupakan model untuk mempermudah penghitungan nilai ekonomi jasa layanan lingkungan, sehingga ketika pelayanan ekosistem sebuah kawasan rusak, maka sang perusak dapat dengan mudah mengkompensasikannya ke dalam bentuk uang lewat prinsip pencemar membayar.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2010