Matahari sedang terik-teriknya menyinari Pulau Bali, Wayan Sudra baru keluar dari rumahnya di Banjar Kelan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Bali. Pria 52 tahun itu berjalan sambil menenteng sebuah kotak hitam berisi baterai seberat 18 kg menuju ke sebuah jukung, perahu tradisional dari kayu yang ditambat tak jauh dari rumahnya.
 
Tak jauh di depannya, hilir mudik kendaraan melaju dengan kecepatan tinggi di Jalan tol Bali Mandara, jalan tol atas laut pertama di Indonesia sepanjang 12,7 km, beroperasi pada 23 September 2013 silam yang menghubungkan Kota Denpasar dengan Benoa dan Nusa Dua.
 
Di kiri dan kanan jalan yang Wayan lalui, terdapat beberapa jukung nelayan yang tertambat setelah semalaman berlayar mengitari perairan Benoa, Sanur dan Nusa Dua hingga Nusa Penida. Beberapa warga yang kesehariannya bermata pencaharian sebagai nelayan di Kelan pun tampak memperbaiki jaring dan jukung mereka yang bocor atau mengecat ulang agar tampilannya terlihat lebih baru.
 
Beberapa orang pemancing pun terlihat menunggu pemilik jukung yang akan menyewakan untuk mengitari daerah Mangrove Tahura Ngurah Rai. Pemandangan seperti itu sudah biasa di tempat itu, jukung-jukung nelayan biasa dipakai pemancing untuk mencari ikan-ikan yang ada di sekitar areal mangrove. 
 
Kicau burung dari celah-celah mangrove di daerah itu, bersahutan dengan deru pesawat yang saban hari terbang keluar masuk di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai.  Wajar, tempat itu sangat strategis, karena letaknya berdekatan dengan kawasan wisata Sanur, Kuta, Nusa Dua dan pintu masuk Bali Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai. Volume pesawat yang terus meningkat tiap harinya sudah akrab menemani Wayan Sudra dan masyarakat pesisir Pantai Kelan.
 
Di pinggiran hutan mangrove itu, Wayan menambatkan jukung. Selain melaut, Wayan melayani jasa wisata bahari keliling Tahura Ngurah Rai dengan jukungnya itu.
 
Seingat Wayan, dirinya sudah menjadi nelayan sejak masih mengenyam pendidikan di bangku Sekolah Menengah Pertama. Sejak saat itu, dia menggunakan jukung untuk berlayar mencari rejeki di lautan. Sejak saat itu pula hingga 2018, dirinya selalu memikul jeriken berisi bensin untuk bahan bakar motor jukungnya.
 
Dia bercerita tentang pengaruh jukung berbahan bakar fosil untuk kesehatannya. Deru mesin dan asap jukung, berpadu dengan kencangnya angin lautan ternyata berpengaruh besar terhadap kesehatan fisiknya. Wayan merasakan efek negatif dari mesin fosil seperti pendengaran terganggu, mata perih hingga getaran dari mesin jukung yang menyita banyak tenaga selama berlayar. 
 
Biaya yang mahal untuk melakukan perjalanan laut pun kadang kala membuat dirinya berpikir untuk berhenti menjadi nelayan. Toh, di Pulau Dewata, yang tiap hari dibanjiri wisatawan ini masih banyak pekerjaan yang bisa dilakukan untuk bertahan hidup. Namun, niat tersebut diurungkan Wayan berkat dukungan dari sang istri Made Adi.
 
"Kalo dipikir-pikir ya, pekerjaan ini (nelayan) pasang surut, ada waktunya dapat ikan banyak, kadang sedikit, tergantung cuaca dan musim. Mau bagaimana lagi, sudah terlanjur menyatu dengan lautan," kata Wayan.
 
Kesadaran menggunakan mesin elektrik 
 
Hidup Wayan berubah setelah dirinya bertemu dengan seorang wanita muda bernama Nadea Nabilla Putri, CEO dan Co-Founder Azura Indonesia. Dalam pertemuan dengan Nadea, Wayan diperkenalkan dengan Manta One, sebuah inovasi mesin penggerak elektrik ramah lingkungan yang diusung Azura Indonesia, sebuah perusahaan rintisan atau startup yang intens pada isu perubahan iklim dan lingkungan hidup.
 
Sebagai langkah awal, beberapa panel surya dipasang di atap rumah Wayan. Pembangkit listrik tenaga surya itu dijadikan sebagai sumber energi untuk dialirkan ke alat pengisi ulang daya atau charging station. Meskipun membutuhkan penyesuaian, Wayan akhirnya menyatu dengan Manta One.
 
Sebagai sumber energi, Manta One dioperasikan dengan baterai ion litium, dan mampu digunakan selama tiga jam berlayar. Dengan kapasitas baterai tiga jam maksimal untuk jukung berukuran 7-8 meter, mesin seukuran 5,5 PK itu mampu mengubah kehidupan Wayan dalam upaya menekan biaya operasional dalam melaut.
 
"Kalau beli bensin tiga jam itu sampai empat liter, kalau diuangkan Rp40 ribu, tetapi sekarang pakai batrei nggak sampai Rp40 ribu. Tidak keluarkan uang setiap hari. Paling cas 2-3 jam," kata Wayan.
 
Penggunaan teknologi Manta One juga menghemat biaya perawatan. Jika dibandingkan, mesin jukung yang memakai bensin dengan pemakaian setiap hari membutuhkan biaya perawatan sekitar Rp80 ribu dalam sebulan ditambah peralatan lainnya bisa mencapai Rp200 ribu.
 
Namun, selama menggunakan Manta One, Wayan tidak pernah mengalami kendala yang menghambat pekerjaannya sejak 2018 silam dan mampu menekan biaya operasional. Hal itu dirasakan juga oleh sang istri, Bu Adi. Biaya perawatan yang tidak terpakai bisa digunakan untuk kepentingan rumah tangga lainnya.
 
"Saya sebagai istri senang bisa hemat. Bayaran listrik di rumah juga jadi lebih sedikit karena biasanya saya gunakan daya dari panel surya," kata sang istri.
 
Menurut Wayan, penggunaan teknologi listrik di lautan juga mengurangi emisi karbon dan pencemaran lautan akibat kebocoran oli mesin kapal. 
 
Dalam hal lain, penggunaan mesin elektrik mendapatkan sambutan yang positif dari wisatawan yang menggunakan jukung Wayan saat digunakan berkeliling di Taman Hutan Raya Ngurah Rai.
 
"Untuk berwisata sih bagus untuk ekosistem mangrove. Saat saya antar tamu, respon mereka sangat positif," katanya.
 
Wayan biasanya mengantarkan wisatawan baik domestik maupun mancanegara dalam skala kecil maupun rombongan besar mengelilingi Taman Hutan Raya Ngurah Rai.
 
Tahura Ngurah Rai sendiri adalah satu-satunya taman hutan raya yang ada di Pulau Bali. Kawasan mangrove ini berada di kawasan bertipe hutan payau dengan luas 1.373,5 hektare yang terbentang di dua daerah yakni Kota Denpasar dan Kabupaten Badung. 
 
Secara administratif, Tahura Ngurah Rai  berada di Kecamatan Kuta dan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, seluas 627 ha. Kemudian, di Kota Denpasar yaitu Kecamatan Denpasar Selatan dan Pulau Serangan dengan luas 746,5 ha.
 
Melihat potensi keindahan alam dan keanekaragaman hayati itu, Wayan memanfaatkan jukungnya menemani wisatawan mencari jejak hewan mulai dari berbagai jenis burung, binatang merayap dan hewan air hidup di lokasi itu.
 
Adapun flora dan fauna yang menjadi koleksi keanekaragaman hayati di Tahura Ngurah Rai terdiri dari hutan mangrove, aneka jenis burung, dan hewan air. Terdapat 33 jenis bakau atau mangrove, paling banyak adalah pidada putih (Soneratia alba) atau prapat dalam bahasa Bali.
 
Jenis bakau lainnya, yaitu bakau putih (Rhizophora apiculata) dan tancang (Bruguiera gymnorhyza). benuang laki (Duabanga moluccana), mangrove hitam (Aegiceras corniiculatum), bakau kurap (Rhizophora mucronata), serta tumbuhan bawah semisal tuba laut (Derris heterophylla), bakau suci (Acanthus ilicifolius), dan api-api putih (Avicennia maria).
 
Selain bakau, berbagai jenis burung yang hidup dalam kawasan ini adalah burung jenis cikalang besar (Fregeta minor), angsa batu cokelat (Sula leucgaster), dara laut (Sterna hirundo), cekakak sungai (Halcyon chloris), perkutut (Geopelia striata), dan tekukur (Streptopelia chinensis). Ada juga penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), dan teripang (Echinodermata).
 
Wayan sendiri menyadari bahwa terobosan Azura Indonesia untuk mengurangi emisi karbon di lautan merupakan transisi energi yang belum sempurna. Selain kapasitas baterai yang perlu ditingkatkan, kolaborasi berbagai sektor perlu ditingkatkan agar penggunaan mesin ramah lingkungan menjadi gerakan bersama. Apalagi penggunaan jukung ramah lingkungan di kalangan masyarakat masih terbilang minim.
 
Kolaborasi dan sosialisasi juga penting dan mendesak mengingat belum banyak pemangku kepentingan dan masyarakat kurang menyadari daya rusak mesin fosil untuk ekosistem lautan dari aktivitas mesin berbahan bakar fosil.
 
 
Masa depan energi bersih untuk masyarakat pesisir 
 
Indonesia memiliki peluang untuk menjadi pemimpin dalam industri solar fotovoltaik atau solar PV, terutama di Asia Tenggara, berkat potensi energi surya yang sangat besar.
 
Dalam pertemuan internasional bertajuk "Indonesia Solar Summit 2024" di Jakarta pada Agustus lalu, pemerintah memperluas pengembangan industri energi hijau, termasuk salah satunya energi surya, guna mempertahankan status Indonesia sebagai eksportir energi dan membangun industri energi yang berkelanjutan.
 
Langkah ini tidak hanya penting untuk memenuhi target transisi energi Indonesia, tetapi juga untuk mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan bakar fosil, yang selama ini menjadi salah satu tumpuan perekonomian Indonesia.
 
Indonesia sendiri memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar meliputi energi surya, angin, hidrogen, bioenergi, panas bumi dan energi laut.
 
Indonesia memiliki potensi energi surya mencapai 3.286 GW, sedangkan potensi energi angin, hidrogen, bioenergi, panas bumi, dan laut masing-masing sebesar 155 GW, 95 GW, 57 GW, 24 GW, dan 20 GW. 
 
Dalam skala nasional, secara aturan pemerintah telah meluncurkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2017 tentang komitmen Indonesia untuk mencapai target energi terbarukan dan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen pada tahun 2030, atau hingga 41 persen dengan dukungan internasional.
 
Dalam skala lokal, Pemerintah Provinsi Bali telah menetapkan target emisi nol bersih pada 2045, 15 tahun lebih awal dari target nasional. 
 
Proyek yang oleh sebagian orang terbilang ambisius itu telah dimulai dengan Peraturan Gubernur Nomor 45 tahun 2019 tentang Bali Energi Bersih. Peraturan yang terdiri dari 11 Bab dan 33 pasal itu memiliki semangat utama untuk menjamin pemenuhan kebutuhan energi di Bali secara mandiri, ramah lingkungan, berkelanjutan dan berkeadilan dengan menggunakan energi bersih.
 
Bersama lembaga internasional pendukung seperti Bloomberg Philantrophies, ClimateWorks Foundation, Institute for Essential Services Reform (IESR), New Energy Nexus Indonesia, ViriyaENB, dan WRI Indonesia, Pemprov Bali mengimplementasikan pemasangan PLTS Atap dan memasifkan penggunaan kendaraan listrik beserta ekosistem pendukungnya.
 
Inisiatif penggunaan energi bersih di Bali pun dimulai salah satunya dengan penerapan PLTS Atap di Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Bali dan juga memperbanyak kendaraan listrik plus infrastruktur pendukungnya.
 
Harus diakui bahwa penerapan energi bersih dalam jangka waktu yang demikian bukanlah pekerjaan mudah, namun bukan tidak mungkin dengan melihat potensi EBT yang tersedia.
 
Karena itu, inisiatif dan kepemimpinan atau political will pemerintah daerah mampu menjawab permasalahan akses dan keamanan pasokan energi dengan memanfaatkan potensi energi terbarukan yang melimpah di daerah, tak terkecuali di sektor kelautan.
 
Peralihan dari mesin pembakaran ke mesin listrik seperti Manta One akan memberikan dampak langsung terhadap pengurangan karbon di kawasan pesisir.
 
Selain itu, penggunaan mesin ramah lingkungan efektif mendukung pariwisata berkelanjutan sesuai dengan kearifan lokal Bali Tri Hita Karana atau prinsip keselarasan hubungan Tuhan, alam dan manusia.

Pewarta: Rolandus Nampu

Editor : Widodo Suyamto Jusuf


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2024