Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) Bali mengangkat produk lokal Pulau Dewata, di antaranya boreh atau lulur rempah-rempah untuk menjadikan Bali sebagai destinasi spa.
“Kami berjuang mewujudkan Bali sebagai sebuah destinasi spa,” kata Ketua PHRI Bali Cokorda Oka Artha Ardana Sukawati di Denpasar, Senin.
Menurut dia, saat ini usaha spa mengaplikasikan produk kearifan lokal tersebut kepada wisatawan. Boreh rempah-rempah dan produk lokal lain di antaranya sabun dan pengharum ruangan diproduksi sepenuhnya oleh pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM).
Boreh merupakan bagian budaya dan tradisi lokal Bali berupa lulur yang terbuat dari olahan rempah-rempah dan berguna sebagai pengobatan tradisional dengan sensasi hangat dan menenangkan tubuh.
Baca juga: Menko Airlangga bantu selesaikan keluhan pajak jasa spa di Bali
Keunikan tersebut, kata dia, menjadikan Bali sebagai salah satu referensi wisatawan yang menginginkan wisata spa.
Meski begitu, Wakil Gubernur Bali periode 2018-2023 itu mengungkapkan saat ini pengusaha spa termasuk UMKM di Bali juga berjuang untuk menguji materi Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Mereka merupakan pelaku usaha spa yang tergabung dalam asosiasi Bali Spa and Wellness Association (BSWA) yang berada di bawah naungan PHRI Bali.
Dalam UU itu, spa dikategorikan masuk jasa hiburan sehingga tarif pajaknya naik menjadi minimal 40 persen dan maksimal 75 persen.
Baca juga: Pengusaha spa di Bali ajukan uji materi soal tarif pajak
UU itu menjadi acuan pemerintah kabupaten/kota untuk ikut menaikkan pajak spa menjadi 40 persen dari sebelumnya 15 persen, seperti yang berlaku mulai 1 Januari 2024 di Kabupaten Badung.
Materi yang diuji yakni soal kenaikan pajak dan kategori spa yang dinilai masuk ke kategori kesehatan atau wellness.
“Yang pertama harus diluruskan bahwa spa bukan termasuk wilayah hiburan, Undang-Undang Pariwisata tidak menyebutkan seperti itu,” imbuh Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Bali itu.
Berdasarkan UU Nomor 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan, spa masuk dalam kategori usaha spa sesuai pasal 14 UU itu.
Dalam bab penjelasan UU itu terkait usaha spa dijelaskan bahwa usaha spa adalah usaha perawatan yang memberikan layanan dengan metode kombinasi terapi air, terapi aroma, pijat, rempah-rempah, layanan makanan/minuman sehat, dan olah aktivitas fisik dengan tujuan menyeimbangkan jiwa dan raga dengan tetap memperhatikan tradisi dan budaya bangsa Indonesia.
Ia menilai besaran pajak spa 15 persen merupakan angka ideal agar tidak terpaut jauh dengan pajak hotel dan restoran mencapai sekitar 10 persen.
Pria yang biasa disapa Cok Ace itu pun berharap upaya mewujudkan Bali sebagai destinasi spa tidak kontraproduktif dengan kenaikan pajak tersebut, karena saat ini spa di Bali juga bersaing dengan destinasi lain di kawasan Asia Tenggara salah satunya Thailand.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2024
“Kami berjuang mewujudkan Bali sebagai sebuah destinasi spa,” kata Ketua PHRI Bali Cokorda Oka Artha Ardana Sukawati di Denpasar, Senin.
Menurut dia, saat ini usaha spa mengaplikasikan produk kearifan lokal tersebut kepada wisatawan. Boreh rempah-rempah dan produk lokal lain di antaranya sabun dan pengharum ruangan diproduksi sepenuhnya oleh pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM).
Boreh merupakan bagian budaya dan tradisi lokal Bali berupa lulur yang terbuat dari olahan rempah-rempah dan berguna sebagai pengobatan tradisional dengan sensasi hangat dan menenangkan tubuh.
Baca juga: Menko Airlangga bantu selesaikan keluhan pajak jasa spa di Bali
Keunikan tersebut, kata dia, menjadikan Bali sebagai salah satu referensi wisatawan yang menginginkan wisata spa.
Meski begitu, Wakil Gubernur Bali periode 2018-2023 itu mengungkapkan saat ini pengusaha spa termasuk UMKM di Bali juga berjuang untuk menguji materi Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Mereka merupakan pelaku usaha spa yang tergabung dalam asosiasi Bali Spa and Wellness Association (BSWA) yang berada di bawah naungan PHRI Bali.
Dalam UU itu, spa dikategorikan masuk jasa hiburan sehingga tarif pajaknya naik menjadi minimal 40 persen dan maksimal 75 persen.
Baca juga: Pengusaha spa di Bali ajukan uji materi soal tarif pajak
UU itu menjadi acuan pemerintah kabupaten/kota untuk ikut menaikkan pajak spa menjadi 40 persen dari sebelumnya 15 persen, seperti yang berlaku mulai 1 Januari 2024 di Kabupaten Badung.
Materi yang diuji yakni soal kenaikan pajak dan kategori spa yang dinilai masuk ke kategori kesehatan atau wellness.
“Yang pertama harus diluruskan bahwa spa bukan termasuk wilayah hiburan, Undang-Undang Pariwisata tidak menyebutkan seperti itu,” imbuh Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Bali itu.
Berdasarkan UU Nomor 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan, spa masuk dalam kategori usaha spa sesuai pasal 14 UU itu.
Dalam bab penjelasan UU itu terkait usaha spa dijelaskan bahwa usaha spa adalah usaha perawatan yang memberikan layanan dengan metode kombinasi terapi air, terapi aroma, pijat, rempah-rempah, layanan makanan/minuman sehat, dan olah aktivitas fisik dengan tujuan menyeimbangkan jiwa dan raga dengan tetap memperhatikan tradisi dan budaya bangsa Indonesia.
Ia menilai besaran pajak spa 15 persen merupakan angka ideal agar tidak terpaut jauh dengan pajak hotel dan restoran mencapai sekitar 10 persen.
Pria yang biasa disapa Cok Ace itu pun berharap upaya mewujudkan Bali sebagai destinasi spa tidak kontraproduktif dengan kenaikan pajak tersebut, karena saat ini spa di Bali juga bersaing dengan destinasi lain di kawasan Asia Tenggara salah satunya Thailand.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2024