Oleh I Komang Suparta
Denpasar (Antara Bali) - Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan keputusan terkait keberadaan sekolah berlabel Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), sehingga menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
Pandangan dari sekolah yang telah menyandang predikat RSBI, sudah jelas melakukan protes terhadap keputusan MK tersebut, karena dinilai akan menghambat program yang telah disusun untuk proses belajar mengajar.
Namun dari kalangan masyarakat biasa atau sekolah reguler, keputusan MK tersebut dampaknya akan lebih baik karena dalam dunia pendidikan tidak ada istilah eksklusif lagi bagi sekolah-sekolah di Tanah Air.
Disamping itu, dengan pembubaran RSBI harapan masyarakat dari segi kualitas pendidikan agar terus ditingkatkan sehingga mampu berstandar internasional.
Tetapi keputusan yang telah dilakukan oleh MK tersebut sudah mengacu pada kajian yang mendalam, termasuk juga sistem pendidikan nasional serta mengacu pada konstitusi, sehingga diharapkan tidak ada saling dirugikan dengan dibubarkannya sekolah yang sebelumnya menyandang predikat RBI itu.
Menurut anggota Komisi IV DPRD Bali Utami Dwi Suryadi menilai keputusan itu tepat untuk menghapus kesan adanya kastanasisasi dan komersialisasi dalam dunia pendidikan karena selama ini RSBI bisa memungut biaya lebih dan terkesan hanya bisa diakses kalangan berduit.
"Kami berharap semua pihak menghormati dan menjalankan keputusan itu," ujarnya.
Ia juga meminta pemerintah memikirkan nasib sekolah yang terlanjur berlabel RSBI utamanya menyangkut penganggaran. Mengingat anggaran yang dibutuhkan sekolah RSBI lebih besar dari sekolah non RSBI. Selama ini sekolah yang berstatus RSBI pembiayaannya menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi walau masih ada pemerintah kabupaten dan kota yang membiayai.
"Dengan dihapuskannya status RSBI pemerintah harus mencari solusi bagaimana nantinya pola penganggarannya terhadap sekolah yang sebelumnya terlanjur berstatus RSBI. Apakah akan dikembalikan seperti semula seperti aturan sebelum menjadi RSBI atau tetap menjadi tanggung jawab provinsi walau statusnya sudah berubah," kata politikus Partai Demokrat itu.
Sementara itu, pemerhati pendidikan yang juga Ketua PGRI Bali Dr I Gede Wenten Aryasudha menilai kondisi yang dilematis akan terjadi dengan dihapuskannya RSBI.
Di satu sisi hal itu akan membawa dampak positif seperti penghapusan RSBI menjawab keluhan masyarakat bahwa selama ini dengan adanya RSBI terjadi pengkultusan sekolah dan diskriminasi pendidikan dengan adanya perlakuan dan penggangaran berbeda terhadap sekolah-sekolah RSBI.
"Dengan dihapusnya RSBI semuanya akan kembali pada standar pelayanan. Tidak ada pelayanan eksklusifitas yang terjadi selama ini," ujarnya.
Namun di sisi lain, kata dia, dihapuskannya RSBI juga menimbulkan dampak negatif. Salah satunya akan timbul permasalahan psikologis bagi siswa yang telanjur bersekolah di RSBI.
"Jika awalnya mereka bersekolah di RSBI dan sekarang statusnya sama dengan sekolah biasa maka motiviasi belajar siswa pasti akan berkurang," ujarnya.
Tidak hanya siswa, psikologis para guru juga dikhawatirkan terganggu dan dikhawatirkan semangat mengajar guru akan berkurang.
"Kalau semasa RSBI biasanya ada standar atau target yang ingin dicapai, sekarang dengan dihapuskan label RSBI bisa saja melemahkan semangat pengeloalaan sekolah karena statusnya sama dengan sekolah reguler biasa. Sekarang bagaiman memotivasi sekolah eks RSBI ini agar kualitasnya tetap berstandar internasional," kata Wenten Aryasudha yang juga Kepala SMP PGRI 2 Denpasar.
Ia mengatakan sekolah RSBI yang terlanjut mencari "sister school" di luar negeri dan menjalin kerja sama luas juga akan bermasalah.
"Apakah kerja sama itu perlu dilanjutkan atau tidak dan apakah tidak akan menggangu kerja sama itu dengan perubahan status itu," katanya. Ia juga mempertanyakan bagaimana nanti soal pendanaan sekolah bekas RSBI itu.
"Pemerintah harus memikirkan masalah pendanan sekolah eks RSBI itu apakah sama dengan sekolah biasa atau bagaimana," ujarnya.
Menurut Wenten Aryasudha tetap memandang perlu ada bentuk pelayanan pendidikan yang lebih kepada anak yang memiliki kemampuan lebih. Bahkan hal itu juga diamanatkan dalam Undang Undang Sisdiknas.
"Memang diperlukan lembaga yang bisa memberi pelayanan kepada siswa siswi yang memiliki kemampuan lebih. Mungkin bukan RSBI namanya, tapi lembaga itu tetap diperlukan. Sejauh ini juga ada yang namanya kelas akselerasi," katanya.
Unjuk Rasa Guru
Sejumlah guru SMA dan SMK yang berbasis Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) se-Bali, pada Jumat (18/1) mendatangi gedung DPRD untuk menindaklanjuti pasca-keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Ketua Asosiasi SMA dan SMK Bali Wayan Rika di Denpasar mengatakan pasca-keputusan MK, menyebabkan sekolah berstatus RSBI mengalami kebimbangan, terlebih dalam surat edaran dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak lagi diperkenankan memungut biaya pendidikan dari siswa.
"Ini jelas kami kelimpungan untuk mendanai program yang telah dirancang sejak empat tahun lalu dalam melakukan program RSBI," katanya.
Ia mengatakan dengan langkah yang diambil oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui surat edaran tersebut, sudah tentu akan mengambat proses belajar mengajar, sebab dalam program RSBI sudah ada aturan dan program yang harus dijalankan, namun keputusan MK tersebut menjadikan sia-sia program yang telah dirancang tersebut.
"Terus bagaimana bisa kami melakukan proses belajar mengajar dengan larangan tidak boleh memungut dana dari orang tua siswa itu," katanya.
Hal senada juga diucapkan oleh Humas Komite SMAN 1 Gianyar Pande Made Parwata, bahwa dengan keputusan MK dan surat edaran dari Kemendikbud membuat semua sekolah yang sebelumnya telah menyandang RSBI, kini malah diturunkan statusnya menjadi sekolah biasa atau reguler.
"Sekolah-sekolah berstatus RSBI jelas merasa kecewa. Mengapa pemerintah tidak sebelumnya memikirkan kelanjutannya. Sebab sekolah RSBI tersebut dalam operasionalnya dibiayai dari pungutan siswa bersangkutan," ucapnya.
Namun dengan kenyataan ini, kata dia, dari mana untuk mendapatkan dana operasional sekolah, sedangkan dari APBD dana yang dibantu tidak mencukupi untuk biaya operasional tersebut.
"Kedatangan kami menghadap anggota DPRD adalah bertujuan untuk mencari jalan keluar terkait permasalahan dibubarkannya RSBI tersebut," katanya.
Sementara itu, Ketua Komisi IV DPRD Bali Nyoman Parta berjanji pihaknya akan mengusahakan bantuan dana kepada sekolah eks RSBI hingga APBD Perubahan 2013 tersusun.
"Memang untuk dana APBD Induk sudah ketok palu atau disahkan, dan pada rancangan APBD Perubahan 2013 pasti kami akan anggarkan dana pendidikan sesuai skala prioritas," katanya. (LHS/T007)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013
Denpasar (Antara Bali) - Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan keputusan terkait keberadaan sekolah berlabel Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), sehingga menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
Pandangan dari sekolah yang telah menyandang predikat RSBI, sudah jelas melakukan protes terhadap keputusan MK tersebut, karena dinilai akan menghambat program yang telah disusun untuk proses belajar mengajar.
Namun dari kalangan masyarakat biasa atau sekolah reguler, keputusan MK tersebut dampaknya akan lebih baik karena dalam dunia pendidikan tidak ada istilah eksklusif lagi bagi sekolah-sekolah di Tanah Air.
Disamping itu, dengan pembubaran RSBI harapan masyarakat dari segi kualitas pendidikan agar terus ditingkatkan sehingga mampu berstandar internasional.
Tetapi keputusan yang telah dilakukan oleh MK tersebut sudah mengacu pada kajian yang mendalam, termasuk juga sistem pendidikan nasional serta mengacu pada konstitusi, sehingga diharapkan tidak ada saling dirugikan dengan dibubarkannya sekolah yang sebelumnya menyandang predikat RBI itu.
Menurut anggota Komisi IV DPRD Bali Utami Dwi Suryadi menilai keputusan itu tepat untuk menghapus kesan adanya kastanasisasi dan komersialisasi dalam dunia pendidikan karena selama ini RSBI bisa memungut biaya lebih dan terkesan hanya bisa diakses kalangan berduit.
"Kami berharap semua pihak menghormati dan menjalankan keputusan itu," ujarnya.
Ia juga meminta pemerintah memikirkan nasib sekolah yang terlanjur berlabel RSBI utamanya menyangkut penganggaran. Mengingat anggaran yang dibutuhkan sekolah RSBI lebih besar dari sekolah non RSBI. Selama ini sekolah yang berstatus RSBI pembiayaannya menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi walau masih ada pemerintah kabupaten dan kota yang membiayai.
"Dengan dihapuskannya status RSBI pemerintah harus mencari solusi bagaimana nantinya pola penganggarannya terhadap sekolah yang sebelumnya terlanjur berstatus RSBI. Apakah akan dikembalikan seperti semula seperti aturan sebelum menjadi RSBI atau tetap menjadi tanggung jawab provinsi walau statusnya sudah berubah," kata politikus Partai Demokrat itu.
Sementara itu, pemerhati pendidikan yang juga Ketua PGRI Bali Dr I Gede Wenten Aryasudha menilai kondisi yang dilematis akan terjadi dengan dihapuskannya RSBI.
Di satu sisi hal itu akan membawa dampak positif seperti penghapusan RSBI menjawab keluhan masyarakat bahwa selama ini dengan adanya RSBI terjadi pengkultusan sekolah dan diskriminasi pendidikan dengan adanya perlakuan dan penggangaran berbeda terhadap sekolah-sekolah RSBI.
"Dengan dihapusnya RSBI semuanya akan kembali pada standar pelayanan. Tidak ada pelayanan eksklusifitas yang terjadi selama ini," ujarnya.
Namun di sisi lain, kata dia, dihapuskannya RSBI juga menimbulkan dampak negatif. Salah satunya akan timbul permasalahan psikologis bagi siswa yang telanjur bersekolah di RSBI.
"Jika awalnya mereka bersekolah di RSBI dan sekarang statusnya sama dengan sekolah biasa maka motiviasi belajar siswa pasti akan berkurang," ujarnya.
Tidak hanya siswa, psikologis para guru juga dikhawatirkan terganggu dan dikhawatirkan semangat mengajar guru akan berkurang.
"Kalau semasa RSBI biasanya ada standar atau target yang ingin dicapai, sekarang dengan dihapuskan label RSBI bisa saja melemahkan semangat pengeloalaan sekolah karena statusnya sama dengan sekolah reguler biasa. Sekarang bagaiman memotivasi sekolah eks RSBI ini agar kualitasnya tetap berstandar internasional," kata Wenten Aryasudha yang juga Kepala SMP PGRI 2 Denpasar.
Ia mengatakan sekolah RSBI yang terlanjut mencari "sister school" di luar negeri dan menjalin kerja sama luas juga akan bermasalah.
"Apakah kerja sama itu perlu dilanjutkan atau tidak dan apakah tidak akan menggangu kerja sama itu dengan perubahan status itu," katanya. Ia juga mempertanyakan bagaimana nanti soal pendanaan sekolah bekas RSBI itu.
"Pemerintah harus memikirkan masalah pendanan sekolah eks RSBI itu apakah sama dengan sekolah biasa atau bagaimana," ujarnya.
Menurut Wenten Aryasudha tetap memandang perlu ada bentuk pelayanan pendidikan yang lebih kepada anak yang memiliki kemampuan lebih. Bahkan hal itu juga diamanatkan dalam Undang Undang Sisdiknas.
"Memang diperlukan lembaga yang bisa memberi pelayanan kepada siswa siswi yang memiliki kemampuan lebih. Mungkin bukan RSBI namanya, tapi lembaga itu tetap diperlukan. Sejauh ini juga ada yang namanya kelas akselerasi," katanya.
Unjuk Rasa Guru
Sejumlah guru SMA dan SMK yang berbasis Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) se-Bali, pada Jumat (18/1) mendatangi gedung DPRD untuk menindaklanjuti pasca-keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Ketua Asosiasi SMA dan SMK Bali Wayan Rika di Denpasar mengatakan pasca-keputusan MK, menyebabkan sekolah berstatus RSBI mengalami kebimbangan, terlebih dalam surat edaran dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak lagi diperkenankan memungut biaya pendidikan dari siswa.
"Ini jelas kami kelimpungan untuk mendanai program yang telah dirancang sejak empat tahun lalu dalam melakukan program RSBI," katanya.
Ia mengatakan dengan langkah yang diambil oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui surat edaran tersebut, sudah tentu akan mengambat proses belajar mengajar, sebab dalam program RSBI sudah ada aturan dan program yang harus dijalankan, namun keputusan MK tersebut menjadikan sia-sia program yang telah dirancang tersebut.
"Terus bagaimana bisa kami melakukan proses belajar mengajar dengan larangan tidak boleh memungut dana dari orang tua siswa itu," katanya.
Hal senada juga diucapkan oleh Humas Komite SMAN 1 Gianyar Pande Made Parwata, bahwa dengan keputusan MK dan surat edaran dari Kemendikbud membuat semua sekolah yang sebelumnya telah menyandang RSBI, kini malah diturunkan statusnya menjadi sekolah biasa atau reguler.
"Sekolah-sekolah berstatus RSBI jelas merasa kecewa. Mengapa pemerintah tidak sebelumnya memikirkan kelanjutannya. Sebab sekolah RSBI tersebut dalam operasionalnya dibiayai dari pungutan siswa bersangkutan," ucapnya.
Namun dengan kenyataan ini, kata dia, dari mana untuk mendapatkan dana operasional sekolah, sedangkan dari APBD dana yang dibantu tidak mencukupi untuk biaya operasional tersebut.
"Kedatangan kami menghadap anggota DPRD adalah bertujuan untuk mencari jalan keluar terkait permasalahan dibubarkannya RSBI tersebut," katanya.
Sementara itu, Ketua Komisi IV DPRD Bali Nyoman Parta berjanji pihaknya akan mengusahakan bantuan dana kepada sekolah eks RSBI hingga APBD Perubahan 2013 tersusun.
"Memang untuk dana APBD Induk sudah ketok palu atau disahkan, dan pada rancangan APBD Perubahan 2013 pasti kami akan anggarkan dana pendidikan sesuai skala prioritas," katanya. (LHS/T007)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013