Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengatakan perempuan dan anak sebagai kelompok rentan, juga sebagai pihak yang mengetahui solusi paling tepat untuk mempersempit jurang ketimpangan.
“Berkaitan dengan pandemi, memang dampaknya sangat dirasakan oleh perempuan dan anak, apalagi para perempuan. Selain menjadi penunjang ekonomi keluarga, ibu dari anak-anak, pendamping suami, dan mau tidak mau menjadi guru bagi anak-anaknya memikul beban yang berat," kata Menteri Bintang dalam siaran pers yang diterima di Denpasar, Bali, Kamis.
Ia mengatakan berkaitan dengan perempuan yang di PHK (pemutusan hubungan kerja), pada 2021 pendampingan pelaku usaha sudah diselenggarakan pemerintah.
Selain itu, KemenPPPA telah berupaya menjalankan pemberdayaan perempuan di sektor ekonomi yang difokuskan kepada perempuan penyintas, kepala keluarga, dan prasejahtera.
Berkaitan dengan anak dan perempuan, KemenPPPA meluncurkan Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA) sebagai perwujudan upaya negara dalam mengintegrasikan perspektif gender dan hak anak ke dalam tata kelola penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, serta pembinaan dan pemberdayaan masyarakat desa yang dilakukan secara terencana, menyeluruh dan berkelanjutan.
Melalui DRPPA, juga berkomitmen untuk mewujudkan Desa Bebas Tengkes melalui penandatangan “Komitmen Bersama Pencanangan Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak, Desa Bebas Stunting serta Kampung Keluarga Berkualitas” bekerjasama dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Sementara itu, Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo mengatakan peran perempuan penting sebagai penunjang ekonomi keluarga, karena pemenuhan hak anak, seperti pemberian asupan makanan dengan gizi berimbang perlu diperhatikan untuk mengurangi risiko tengkes pada anak.
“Ada tiga hal yang membuat kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia terganggu, pertama adalah tengkes, kedua adalah mental emotional disorder yang jumlahnya mencapai 9,8 persen, ketiga adalah disabilitas dan autisme," katanya.
Ia mengatakan ada satu hal yang paling mengganggu kualitas SDM adalah tengkes yang jumlahnya secara nasional mencapai 27,67 persen, meskipun di Bali sudah di bawah 10 persen.
Ia menambahkan angka tengkes bisa diturunkan bila kepedulian terhadap anak dan ibu, mulai dari dalam masa kehamilan harus dalam pendampingan.
Selain itu, kata Hasto memastikan anak yang dilahirkan panjangnya tidak kurang dari 48 centimeter dengan berat tidak kurang dari 2,5 kilogram yang menjadi indikator bayi sehat dan tidak ada kecenderungan tengkes.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021