Oleh Ni Luh Rhismawati

Denpasar (Antara Bali) - Keunikan budaya Bali dengan pilihan wisata yang beragam, tidak dipungkiri telah menjadi daya tarik wisatawan melancong ke Pulau Dewata.

Apalagi setelah sejumlah penghargaan dunia, seperti sistem irigasi dan pertanian Bali atau yang akrab disebut "subak" telah mendapat pengakuan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh lembaga di bidang pendidikan dan kebudayaan PBB (Unesco).

Bentangan sawah berundak-undak terasering subak yang menghijau, tidak hanya menjadi daya pikat bagi wisatawan, namun juga menghidupi para petani Pulau Dewata.

Hanya saja, tidak semua wilayah di Bali dapat ditanami padi dan ditata sedemikian indahnya akibat kondisi alam yang kering.

Nusa Penida, salah satu pulau yang masuk dalam wilayah Provinsi Bali yang terletak di tenggara Pulau Dewata sejak dahulu dikenal memiliki struktur tanah sangat kering.

Jangankan hamparan kawasan subak dapat menjadi destinasi wisata, kondisi ini tidak memungkinkan bagi masyarakatnya menanam padi untuk menghasilkan beras. Dengan demikian masyarakat terpaksa memanfaatkan sumber pangan lain selain beras yaitu jagung dan ketela pohon sebagai bahan pangan pokok.

"Ledok" begitu nama sejenis bubur yang menjadi menu khas dan sehari-hari masyarakat Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, untuk menyiasati keadaan sulitnya mendapatkan beras.

Sepintas, penampilannya mirip seperti bubur dan sayuran yang disiram bumbu pecel. Tetapi, kalau dicicipi, rasanya sungguh berbeda dengan pecel sebagai kuliner Jawa itu.

Ledok adalah sejenis bubur, namun bahan bakunya sama sekali tidak menggunakan beras. Ledok dibuat dengan  menggunakan bahan baku utama jagung dan umbi ketela pohon, ditambah dengan bahan-bahan lainnya yang tersedia secara lokal seperti kacang panjang, kacang merah dan kemangi. Kadang-kadang dicampur dengan ikan laut segar.

Makanan ini diberi nama ledok karena selama proses pembuatannya terutama pada tahap perebusan selalu dilakukan pengadukan, dalam bahasa daerah Bali disebut "ngeledokin"

Ledok disiram dengan bumbu-bumbu yang terbuat dari cabai merah besar, cabai merah kecil. terasi, dan garam. Bumbu ini ditumbuk menjadi satu lalu dicampur dengan bahan lainya. Saat pemasakan terus diaduk seperti bikin bubur. Setelah agak kecoklatan artinya ledok sudah matang dan siap di sajikan, ledok bisa juga ditambahi abon ikan.

"Ledok ini sudah jadi menu keseharian di sini. Masyarakat biasa makan ledok setiap harinya," ujar Nyoman Astini, salah satu warga Nusa penida.

Semua bahan baku yang digunakan dalam ledok, menurut dia, merupakan hasil dari masyarakat setempat. Itu sebabnya, masakan ini tidak menggunakan bahan baku beras sama sekali, berbeda dengan masakan pada umumnya.

Gubernur Bali Made Mangku Pastika dan istrinya Ayu Pastika bahkan sempat menikmati ledok dalam beberapa kali kunjungannya ke Nusa Penida. "Makanan ini enak sekali, benar benar khas Nusa Penida," ujar Ayu Pastika.

Diversifikasi Pangan

Apa yang telah dilakukan masyarakat Nusa Penida dengan mengonsumsi ledok, menurut Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) Provinsi Bali Putu Astawa merupakan wujud nyata diversifikasi pangan, mengganti beras sebagai pangan utama.

"Diversifikasi pangan menjadi penting dilakukan di tengah kondisi berbagai tantangan yang terjadi di Bali. Di satu sisi penduduk kita semakin bertambah, namun di sisi lain alih fungsi lahan tak terhindarkan," ujarnya.

Ketersediaan air dan teknologi produksi pertanian pun, ucap dia, belum berjalan optimal mengiringi pertambahan jumlah penduduk.

Padahal untuk mencapai ketahanan pangan, kata Astawa, setidaknya ada tiga prasyarat utama yakni menyangkut aspek ketersediaan, aspek pemerataan distribusi, dan aspek keamanan konsumsi.

"Selama ini di masyarakat masih ada stigma ketika memakan di luar beras sebagai pangan utama, lalu diidentikkan dengan kemiskinan. Padahal pandangan ini sesungguhnya tidak benar," katanya.

Kandungan karbohidrat dari berbagai umbi-umbian, sebenarnya tidak kalah dengan beras dan bahkan tak sedikit yang lebih baik dilihat dari sisi kesehatan.

"Seperti halnya di Nusa Penida, ledok yang masih menjadi menu sebagian besar masyarakat, merupakan salah satu bentuk kearifan lokal di lahan kering yang patut ditiru dan dipertahankan," ujarnya.

Jika dapat disajikan dan dikemas lebih menarik serta dengan sentuhan promosi, bagi Astawa, tentu ledok tidak kalah menarik jika diperbandingkan dengan bubur Manado.

"Ledok dapat menambah daftar urutan kuliner khas Bali yang sejalan dengan diversifikasi pangan," katanya.

Ia juga mencontohkan, masyarakat di daerah Karangasem pada saat musim kemarau sengaja mencampurkan nasinya dengan gaplek. "Jangan lantas ada asumsi bahwa begitu mengkonsumsi makanan yang dicampur itu berarti penduduk miskin. Padahal bagi masyarakat di sana, tidak menjadi persoalan dan telah mentradisi," ucapnya.

Oleh karena itu, menurut Astawa, kegiatan mengadvokasi dan mengedukasi masyarakat untuk membiasakan pangan utama di luar beras menjadi salah satu upaya mewujudkan ketahanan pangan.

Pemerintah Kabupaten Klungkung sendiri terus berupaya memperkenalkan makanan warisan budaya Nusa Penida itu. Pada April lalu, pemerintah bersama sebanyak 1.893 orang siswa setempat melakukan aksi makan ledok bersama dalam rangka memperingati hari Puputan Klungkung ke-104 dan Hut Kota Semarapura ke-20.

Aksi makan Ledok bersama itu pun berhasil memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia (MURI).

"Kami dari pemerintah provinsi juga rutin mengadakan lomba cipta menu untuk semakin mengenalkan pada masyarakat berbagai variasi makanan non beras yang dapat menjadi alternatif pilihan penganan," katanya.

Ia mengingatkan bahwa walaupun pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menciptakan situasi pangan yang kondusif, namun beras tidak selalu berjalan lancar karena adanya psikologi pasar yang tidak seimbang.

"Misalkan saja saat menjelang Lebaran maupun hari besar keagamaan lainnya, ada saja pedagang yang nakal sehingga menyebabkan kelanggkaan beras. Jika masyarakat sudah biasa melakukan diversifikasi pangan tentu tak akan menjadi permasalahan di saat ada krisis beras semacam itu," ujarnya.

Saat ini, kata Astawa, rata-rata tingkat konsumsi beras per kapita masyarakat Bali per tahun sebanyak 116 kilogram. Jumlah itu belum termasuk yang digunakan untuk kebutuhan upacara masyarakat maupun konsumsi wisatawan.(LHS)

Pewarta:

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012