Anggota DPD RI Made Mangku Pastika mendorong agar penyuluh pertanian swasta dan penyuluh pertanian swadaya dapat lebih berperan membantu petani di tengah kondisi pandemi COVID-19.
"Berdasarkan UU Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, penyuluh pertanian itu ada penyuluh PNS, swasta dan dan swadaya," kata Pastika dalam Dialog Memajukan Pertanian Bali secara virtual di Denpasar, Senin.
Hanya saja, ujar dia, kini untuk penyuluh pertanian yang berstatus PNS jumlahnya sudah kian terbatas, selain menurunnya keberpihakan dan perhatian pemerintah dari sisi anggaran dan dukungan prasarana terhadap penyuluh pertanian.
"Di pemerintah pusat, bahkan Badan Koordinasi Penyuluh Pertanian sudah dibubarkan. Jadi (penyuluh pertanian) benar-benar tidak ada induknya," ucap mantan Gubernur Bali dua periode itu.
Baca juga: Anggota DPD: Pandemi mendorong agar tidak malas bertani
Oleh karena itu, menurut anggota Badan Urusan Legislasi Daerah (BULD) DPD ini, kini yang ditunggu peranannya adalah penyuluh pertanian swasta dan swadaya, di tengah kondisi masyarakat yang mulai kembali menekuni pertanian karena dampak pandemi.
"Memang sekarang kita juga bisa belajar pertanian dari melihat YouTube ataupun Google, tetapi apakah itu benar-benar akurat?," ucap Pastika pada diskusi yang dipandu oleh Nyoman Baskara selalu penggagas Agro Learning Center, Denpasar itu.
Anggota Komite 2 DPD itupun menyoroti pertanian Bali masih menemukan berbagai hambatan, meskipun sudah memiliki berbagai faktor pendukung dan potensi dari sisi lahan, kondisi cuaca, SDM yang handal, hingga pasar yang luas.
"Bali itu luasnya sekitar 7 sampai 8 kali Singapura. Singapura tidak punya sawah, gunung dan air, namun kenapa hasil pertaniannya bisa yang terbaik. Sedangkan kenapa eksekusinya di kita nggak bisa padahal dengan potensi yang luar biasa?," ucapnya mempertanyakan.
Baca juga: Anggota DPD terima keluhan kesulitan air dari petani Buleleng
Sementara itu, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali Trisno Nugroho mengatakan dibutuhkan kolaborasi untuk memajukan sektor pertanian di Bali karena pertanian juga menjadi masa depan Bali, selain pariwisata.
Selama ini, ujar Trisno, mayoritas PDRB Bali atau sekitar 54 persen disumbang sektor pariwisata, sementara sektor pertanian dalam lima tahun terakhir sumbangannya 13 hingga 14 persen PDRB.
Trisno menambahkan, alih fungsi lahan pertanian menjadi salah satu tantangan dalam memajukan pertanian di Bali yang selama enam tahun terakhir rata-rata mencapai 1.695 hektare pertahun.
"Berdasarkan pengalaman kami mendampingi UMKM dengan beberapa klaster produk pertanian seperti klaster padi, bawang merah, cabai dan sebagainya, agar mereka bisa maju dan mandiri, tentu harus dengan pendampingan berupa pengetahuan teknis, digitalisasi pemasaran hingga bantuan sarana prasarana," ujarnya.
Untuk itu, dia menyarankan pada pemerintah daerah jika memberikan pendampingan tidak perlu terlalu banyak menyentuh kelompok, cukup 5 hingga 10 kelompok dulu yang memiliki produk pertanian unggulan.
"Yang jelas, petani itu masih perlu didampingi secara fisik atau dengan kata lain masih tetap diperlukan penyuluh pertanian. Selain yang tidak kalah penting tentu harus tetap ada dukungan keberpihakan anggaran dari pemerintah dan didukung SDM pertanian yang tangguh," ucapnya.
Baca juga: Anggota DPD dorong petani Bali manfaatkan teknologi informasi dan pertanian
Trisno pun mendorong agar semakin banyak tumbuh komunitas-komunitas pencinta pertanian seperti Agro Learning Center di berbagai wilayah di Bali yang dapat menyemangati anak-anak muda untuk bertani, sekaligus memperkenalkan sistem pertanian modern dan bertani untuk kawasan perkotaan.
Dalam dialog tersebut juga menghadirkan dua guru besar pertanian dari Universitas Udayana yakni Prof Ir I Made Supartha Utama dan Prof Dr Wayan Windia yang juga menyoroti sejumlah tantangan pengembangan sektor pertanian, sekaligus strategi yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengatasinya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021
"Berdasarkan UU Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, penyuluh pertanian itu ada penyuluh PNS, swasta dan dan swadaya," kata Pastika dalam Dialog Memajukan Pertanian Bali secara virtual di Denpasar, Senin.
Hanya saja, ujar dia, kini untuk penyuluh pertanian yang berstatus PNS jumlahnya sudah kian terbatas, selain menurunnya keberpihakan dan perhatian pemerintah dari sisi anggaran dan dukungan prasarana terhadap penyuluh pertanian.
"Di pemerintah pusat, bahkan Badan Koordinasi Penyuluh Pertanian sudah dibubarkan. Jadi (penyuluh pertanian) benar-benar tidak ada induknya," ucap mantan Gubernur Bali dua periode itu.
Baca juga: Anggota DPD: Pandemi mendorong agar tidak malas bertani
Oleh karena itu, menurut anggota Badan Urusan Legislasi Daerah (BULD) DPD ini, kini yang ditunggu peranannya adalah penyuluh pertanian swasta dan swadaya, di tengah kondisi masyarakat yang mulai kembali menekuni pertanian karena dampak pandemi.
"Memang sekarang kita juga bisa belajar pertanian dari melihat YouTube ataupun Google, tetapi apakah itu benar-benar akurat?," ucap Pastika pada diskusi yang dipandu oleh Nyoman Baskara selalu penggagas Agro Learning Center, Denpasar itu.
Anggota Komite 2 DPD itupun menyoroti pertanian Bali masih menemukan berbagai hambatan, meskipun sudah memiliki berbagai faktor pendukung dan potensi dari sisi lahan, kondisi cuaca, SDM yang handal, hingga pasar yang luas.
"Bali itu luasnya sekitar 7 sampai 8 kali Singapura. Singapura tidak punya sawah, gunung dan air, namun kenapa hasil pertaniannya bisa yang terbaik. Sedangkan kenapa eksekusinya di kita nggak bisa padahal dengan potensi yang luar biasa?," ucapnya mempertanyakan.
Baca juga: Anggota DPD terima keluhan kesulitan air dari petani Buleleng
Sementara itu, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali Trisno Nugroho mengatakan dibutuhkan kolaborasi untuk memajukan sektor pertanian di Bali karena pertanian juga menjadi masa depan Bali, selain pariwisata.
Selama ini, ujar Trisno, mayoritas PDRB Bali atau sekitar 54 persen disumbang sektor pariwisata, sementara sektor pertanian dalam lima tahun terakhir sumbangannya 13 hingga 14 persen PDRB.
Trisno menambahkan, alih fungsi lahan pertanian menjadi salah satu tantangan dalam memajukan pertanian di Bali yang selama enam tahun terakhir rata-rata mencapai 1.695 hektare pertahun.
"Berdasarkan pengalaman kami mendampingi UMKM dengan beberapa klaster produk pertanian seperti klaster padi, bawang merah, cabai dan sebagainya, agar mereka bisa maju dan mandiri, tentu harus dengan pendampingan berupa pengetahuan teknis, digitalisasi pemasaran hingga bantuan sarana prasarana," ujarnya.
Untuk itu, dia menyarankan pada pemerintah daerah jika memberikan pendampingan tidak perlu terlalu banyak menyentuh kelompok, cukup 5 hingga 10 kelompok dulu yang memiliki produk pertanian unggulan.
"Yang jelas, petani itu masih perlu didampingi secara fisik atau dengan kata lain masih tetap diperlukan penyuluh pertanian. Selain yang tidak kalah penting tentu harus tetap ada dukungan keberpihakan anggaran dari pemerintah dan didukung SDM pertanian yang tangguh," ucapnya.
Baca juga: Anggota DPD dorong petani Bali manfaatkan teknologi informasi dan pertanian
Trisno pun mendorong agar semakin banyak tumbuh komunitas-komunitas pencinta pertanian seperti Agro Learning Center di berbagai wilayah di Bali yang dapat menyemangati anak-anak muda untuk bertani, sekaligus memperkenalkan sistem pertanian modern dan bertani untuk kawasan perkotaan.
Dalam dialog tersebut juga menghadirkan dua guru besar pertanian dari Universitas Udayana yakni Prof Ir I Made Supartha Utama dan Prof Dr Wayan Windia yang juga menyoroti sejumlah tantangan pengembangan sektor pertanian, sekaligus strategi yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengatasinya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021