Gubernur Bali Wayan Koster bersama pihak terkait akan mencermati dan menganalisis kembali data kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional di daerah itu agar premi yang dibayarkan pemerintah daerah betul-betul diterima oleh orang yang memang membutuhkan.

"Datanya harus didalami lagi, dianalisis lagi. Jangan sampai ada orang yang mampu, tetapi karena tidak ikut mendaftar BPJS, lantas menjadi beban pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Ini menurut saya 'nggak pantas," kata Koster di Kediaman Jayasabha, Denpasar, Selasa.

Apalagi terkait rencana pemerintah yang akan menaikkan premi JKN untuk kelas III menjadi Rp42 ribu pada 2020, menurut Koster, tentu akan menyedot APBD cukup besar.

"Sudah kami hitung konsekuensinya, terutama data masyarakat yang masuk PBI harus dicermati," ucap gubernur asal Desa Sembiran, Kabupaten Buleleng, itu.

Koster mengemukakan, dengan besaran premi sebelumnya Rp23 ribu per orang saja sudah menyedot APBD Provinsi dan APBD kabupaten di Bali (di luar Kota Denpasar dan Kabupaten Badung) mencapai lebih dari Rp400 miliar untuk menanggung peserta yang masuk PBI.

Baca juga: Koster Targetkan 100 Persen Masyarakat Bali Terjamin "JKN-KBS"
Baca juga: Pemprov Bali minta akses JKN pegawai kontrak diaktifkan

Sedangkan untuk tahun 2020 dari hasil perhitungan sementara, total anggaran yang harus dikeluarkan Pemprov Bali ditambah dengan pemerintah kabupaten/kota mencapai sekitar Rp700 miliar akibat rencana kenaikan premi per jiwa menjadi Rp42 ribu.

"Tahun 2020, untuk Badung dan Denpasar akan dialokasikan 10 persen, dan juga Gianyar. Sedangkan enam kabupaten lainnya, dari Pemerintah Provinsi mengalokasikan 51 persen, pemerintah kabupaten 49 persen. Untuk APBD Provinsi saja dibutuhkan Rp300 miliar lebih," ucapnya.

Koster berpandangan anggaran yang dibutuhkan pemerintah kabupaten untuk menanggung premi kepesertaan JKN pada tahun depan yang cukup besar, mau tidak mau akan berdampak mengganggu fiskal masing-masing daerah.

Oleh karena itu, Koster dalam waktu dekat akan mengharmonisasi kembali data kepesertaan JKN bersama pihak-pihak terkait dan pemerintah kabupaten/kota karena, menurutnya, ada kontradiksi antara angka kemiskinan di Bali dengan peserta PBI yang menjadi tanggungan APBN dan APBD.

Dengan angka kemiskinan di Bali 3,9 persen dari total populasi 4,2 juta jiwa itu, kata Koster, yang seharusnya berhak menerima bantuan premi dari pemerintah tidak mencapai 200 ribu jiwa. "Tetapi kenyataannya yang ditanggung APBD lebih dari 700 ribu jiwa," katanya.

Penyebabnya karena kemungkinan ada karyawan BUMD, karyawan swasta yang tidak mendaftar JKN, atau juga orang kaya yang memang tidak mau mendaftar JKN ikut dibayarkan preminya oleh pemerintah.

"Menurut UU, bagi mereka yang tidak terdaftar di JKN, harus ditanggung negara. Padahal mereka yang memang tidak mau, dianggarkan pun 'nggak memakai. Tetapi karena memang bentuknya premi, anggaran yang dialokasikan dipakai kemana-mana, tidak hanya di Bali," ujar Koster.

Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : I Komang Suparta


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019