Gubernur Bali Wayan Koster menegaskan komitmennya untuk memangkas modus dan praktik jual beli jabatan yang diduga sempat terjadi di lingkungan pemprov setempat pada era sebelum kepemimpinannya.
"Pengisian jabatan, promosi dan mutasi harus profesional, basisnya kompetensi orang yang akan menjalankan tugas itu, untuk menjalankan tupoksi organisasi agar berjalan baik," kata Koster, di Denpasar, Selasa.
Orang nomor satu di Bali itu menyatakan melarang keras adanya praktik jual beli jabatan. "Sekarang saya mengisi pejabat eselon II, III, dan IV 'nggak ada bayaran," ucapnya saat menyampaikan sambutan pada acara Workshop Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional itu.
Untuk mengisi pejabat eselon II, lanjut Koster, sebelumnya dibentuk panitia seleksi yang unsurnya tiga orang dari jajaran Pemprov Bali (Sekda, Kepala BKD dan Inspektur Provinsi Bali) dan empat orang dari pihak perguruan tinggi.
Dalam proses seleksi juga sudah jelas parameter yang digunakan menyangkut kompetensi dan penempatan pejabat yang dibutuhkan.
Untuk proses penentuan sejumlah pimpinan OPD beberapa waktu lalu yang telah dilantik, Koster bersama Wagub dan Sekda Bali juga sepakat menentukan pilihan bahwa yang meraih nilai tertinggi dari hasil seleksi yang dilantik. Meskipun dari aturan, Gubernur berwenang juga untuk memilih kandidat salah satu dari tiga besar peraih nilai terbaik hasil seleksi.
Koster mendapatkan informasi bahwa sebelumnya untuk menjadi pejabat setingkat eselon II di lingkungan Pemprov Bali, para calon harus membayar hingga ratusan juta rupiah. Setengahnya harus dibayarkan sebelum pelantikan, dan pelunasannya setelah pelantikan.
Dan celakanya, menurut Koster, sudah ada oknum calon pejabat eselon II yang membayar setengahnya dengan cara meminjam uang di bank dan kepada salah satu kepala dinas.
Sebelum Koster menjadi Gubernur Bali, oknum calon pejabat itu sudah mengikuti seleksi dan kala itu meraih peringkat pertama. Namun, karena terkait proses Pilgub Bali kala itu akhirnya belum dilantik.
Setelah Koster dilantik menjadi Gubernur Bali, oknum pejabat tersebut kembali mengikuti seleksi pejabat eselon II, namun tidak berhasil meraih peringkat tiga besar dan sudah tentu tidak bisa dilantik.
Oleh karena oknum ASN yang gagal menjadi pejabat eselon II itu sudah telanjur membayar uang sogokan, akhirnya harus membayar uang pinjaman dengan penghasilan yang ada. "Karena harus mencicil pinjaman, akibatnya yang bersangkutan membuat perjalanan dinas sering-sering untuk mendapat tambahan penghasilan," ucap Koster.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019
"Pengisian jabatan, promosi dan mutasi harus profesional, basisnya kompetensi orang yang akan menjalankan tugas itu, untuk menjalankan tupoksi organisasi agar berjalan baik," kata Koster, di Denpasar, Selasa.
Orang nomor satu di Bali itu menyatakan melarang keras adanya praktik jual beli jabatan. "Sekarang saya mengisi pejabat eselon II, III, dan IV 'nggak ada bayaran," ucapnya saat menyampaikan sambutan pada acara Workshop Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional itu.
Untuk mengisi pejabat eselon II, lanjut Koster, sebelumnya dibentuk panitia seleksi yang unsurnya tiga orang dari jajaran Pemprov Bali (Sekda, Kepala BKD dan Inspektur Provinsi Bali) dan empat orang dari pihak perguruan tinggi.
Dalam proses seleksi juga sudah jelas parameter yang digunakan menyangkut kompetensi dan penempatan pejabat yang dibutuhkan.
Untuk proses penentuan sejumlah pimpinan OPD beberapa waktu lalu yang telah dilantik, Koster bersama Wagub dan Sekda Bali juga sepakat menentukan pilihan bahwa yang meraih nilai tertinggi dari hasil seleksi yang dilantik. Meskipun dari aturan, Gubernur berwenang juga untuk memilih kandidat salah satu dari tiga besar peraih nilai terbaik hasil seleksi.
Koster mendapatkan informasi bahwa sebelumnya untuk menjadi pejabat setingkat eselon II di lingkungan Pemprov Bali, para calon harus membayar hingga ratusan juta rupiah. Setengahnya harus dibayarkan sebelum pelantikan, dan pelunasannya setelah pelantikan.
Dan celakanya, menurut Koster, sudah ada oknum calon pejabat eselon II yang membayar setengahnya dengan cara meminjam uang di bank dan kepada salah satu kepala dinas.
Sebelum Koster menjadi Gubernur Bali, oknum calon pejabat itu sudah mengikuti seleksi dan kala itu meraih peringkat pertama. Namun, karena terkait proses Pilgub Bali kala itu akhirnya belum dilantik.
Setelah Koster dilantik menjadi Gubernur Bali, oknum pejabat tersebut kembali mengikuti seleksi pejabat eselon II, namun tidak berhasil meraih peringkat tiga besar dan sudah tentu tidak bisa dilantik.
Oleh karena oknum ASN yang gagal menjadi pejabat eselon II itu sudah telanjur membayar uang sogokan, akhirnya harus membayar uang pinjaman dengan penghasilan yang ada. "Karena harus mencicil pinjaman, akibatnya yang bersangkutan membuat perjalanan dinas sering-sering untuk mendapat tambahan penghasilan," ucap Koster.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019