"Saya berpesan kepada seluruh anak di Indonesia, saya ucapkan selamat Hari Anak Nasional. Semoga anak-anak ke depan lebih berkualitas, cinta tanah air, berakhlak mulia, serta cerdas"
Itulah penggalan sambutan dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Indonesia, Yohanna Susana Yembise dalam perayaan Hari Anak Nasional di Makassar, Selasa.
Hari Anak Nasional (HAN) yang dirayakan pada tanggal 23 Juli setiap tahunnya di Indonesia, dimaknai sebagai kepedulian terhadap perlindungan anak Indonesia, agar tumbuh dan berkembang secara optimal, layaknya seutas harapan sang Menteri PPPA itu.
Berdasarkan Profil Anak Indonesia (PAI) yang dikeluarkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pada 2018, sebanyak 30,5 persen atau 79,6 juta jiwa penduduk Indonesia adalah anak-anak dari rentang usia 0-17 tahun.
Maka, tidak mengherankan bahwa terdapat sepercik harap dan optimisme ketika melihat angka sebanyak ini sejatinya akan menjadi modal baik dan penggerak bangsa di masa yang akan datang.
Namun, pada jajak pendapat yang sama, masih ditemukan anak bangsa yang putus sekolah dan buta huruf. Sebanyak 1,17 persen anak usia 7-17 tahun berstatus putus sekolah. Sementara itu, angka lebih tinggi merujuk pada buta huruf di anak umur 5-17 tahun yang mencapai angka 10,53 persen.
Memerlukan perhatian lebih bagi pemerintah untuk meratakan pendidikan, khususnya pada sektor literasi dan minat baca pada anak-anak, agar angka ini tidak semakin bertambah di tahun-tahun berikutnya.
Usaha untuk meningkatkan minat membaca sudah dilakukan, mulai dari skala nasional hingga tingkat daerah.
Jakarta sebagai ibu kota negeri ini, rupanya telah memulai beberapa hal kecil untuk meningkatkan minat serta keaktifan anak-anak pada buku dan literasi sejak dini.
Baca juga: Menteri Yohana: gawai sebabkan anak tak bisa berpikir teoritis-kritis
Menjemput bola
Mengenalkan buku kepada anak-anak di seluruh penjuru ibu kota bukanlah sesuatu yang dapat dilakukan secara singkat. Membutuhkan waktu dan pendekatan khusus, utamanya bagi pemerintah provinsi untuk melakukan hal tersebut.
Gubernur Provinsi DKI Jakarta Anies Baswedan bahkan sudah mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 76 Tahun 2018 tentang Pembudayaan Kegemaran Membaca. Peraturan itu dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Di Jakarta Timur misalnya, Suku Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Sudin PUSIP) Jakarta Timur berusaha menjangkau anak-anak agar dekat dengan buku-buku yang edukatif dan sesuai dengan usia serta tumbuh-kembangnya.
"Ibaratnya, kita ini menjemput bola. Tidak semua anak bisa datang ke perpustakaan untuk sekadar membaca atau meminjam buku," kata pustakawan muda Sudin PUSIP Jakarta Timur, Ricke Gartina beberapa waktu lalu di ruang perpustakaan gedung Sudin tersebut.
Upaya "menjemput bola" ini berada dalam berbagai bentuk. Mulai dari penyediaan pojok-pojok baca di berbagai tempat umum, pembuatan ruang perpustakaan kecil di beberapa Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA), hingga mobil dan motor perpustakaan keliling.
Di perpustakaan keliling, tidak banyak menawarkan aneka buku yang bisa dibaca dan dipinjam, rupanya juga interaktif dalam menarik perhatian anak-anak agar dekat dan memiliki hubungan baik dengan buku.
Contoh komunikasi dua arah yang tercipta dari perpustakaan keliling ini dengan anak ini adalah pemberian reward untuk anak-anak yang sering meminjam buku di sana.
Petugas pelayanan perpustakaan pun terkadang juga mengajak anak-anak untuk memilih buku yang mereka ingin baca, lalu meminta mereka untuk menceritakan kembali isi dari buku tersebut dan ada apresiasi juga dari para pustakawan kepada mereka.
Hal ini rupanya berbanding lurus dengan peningkatan minat baca dan literasi, khususnya di wilayah timur Jakarta itu, walaupun menurut Ricke tidak terlalu cepat dan signifikan.
Peningkatan tersebut didukung oleh laporan pendidikan Badan Pusat Statistik pada 2018, tingkat melek huruf untuk usia 15 tahun ke atas Indonesia naik 0,16 persen menjadi 95,66 persen.
"Saya rasa sekarang minat baca sudah mulai meningkat walaupun tidak terlalu signifikan. Terbukti dengan banyaknya kegiatan-kegiatan terkait literasi," kata Ricke sembari menunjukkan beberapa catatannya.
Kegiatan-kegiatan terkait literasi, lanjut dia, di antaranya gerakan membaca untuk anak-anak yang dibimbing oleh pengelola di taman bacaan masyarakat (TBM) dan perpustakaan di berbagai Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA). Biasanya, baik di TBM maupun RPTRA, pengelola mengajak anak-anak membaca dan menceritakan kembali cerita yang mereka baca.
"Dari sana kita bisa melihat bahwa anak-anak sudah mulai ada ketertarikan dan keinginan untuk membaca buku," ujar Ricke.
Baca juga: 18 sekolah di Denpasar peringati Hari Anak Internasional dengan OCDay
Kreativitas dan inovasi
Dunia anak-anak yang lekat dengan warna dan hal-hal kreatif secara tidak langsung juga mendorong pemerintah untuk berbuat sama agar upayanya mendekatkan anak-anak dengan buku, serta mampu menggugah minat baca dan literasi anak sejak dini.
Dan dengan diadakan di ruang publik, diharapkan titik-titik baca tersebut dapat menjadi wadah berkumpulnya anak dan orang tua untuk bermain dan belajar bersama.
Beberapa TBM dan RPTRA di Jakarta Timur pun berlomba-lomba membuat inovasi dan kreativitas untuk mengundang anak-anak mengunjungi ruang-ruang baca tersebut dan membaca bersama teman-teman maupun keluarga.
TBM Masjid Fatahillah di Kramatjati, Jakarta Timur, antara lain menggunakan seni melipat kertas serta kegiatan berkebun untuk menarik kedatangan anak-anak.
Pendiri dan pengelola TBM ini, Harto Oetomo, berpendapat pendekatan ini memiliki beberapa dampak lain selain mendorong peningkatan pengunjung di taman bacaan tersebut.
"Selain anak-anak mendapatkan kesenangan melihat hasil seni melipat kertas, mereka juga senang dan terlibat dalam kegiatan membangun apotek hidup," kata Harto di TBM yang saat ini memiliki 6.000 koleksi buku tersebut, beberapa waktu lalu.
Sedangkan di RPTRA Citra Permata, Jakarta Timur, pengelola menempatkan perpustakaan di depan teater terbuka dan taman bermain sehingga anak-anak juga bisa bermain sambil belajar bersama teman-teman sebayanya.
Sendwy, pengelola RPTRA tersebut bahkan berpendapat, pengunjung perpustakaan kecil di tempatnya bekerja itu cenderung meningkat bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
"Meningkat banget. Biasanya 10-20 orang anak yang ke perpus, sekarang bisa 25-50 anak setiap harinya," ujar dia di RPTRA yang terletak di Rawa Bunga, Jatinegara, Jakarta Timur itu, beberapa waktu lalu.
Kreativitas dan inovasi yang diterapkan di beberapa TBM dan RPTRA ini, menurut Ricke merupakan hal yang baik dan harus terus diupayakan demi terciptanya lingkungan melek literasi di Jakarta. Terlebih, para pengelola di titik-titik baca tersebut merupakan kepanjangan tangan bagi suku dinas itu.
"TBM dan RPTRA ini perannya penting untuk mendekatkan buku dan literasi kepada masyarakat. Terlebih, titik baca di Jakarta Timur itu sangat banyak, sehingga bisa menjadi kepanjangan tangan bagi kami di Sudin PUSIP," kata Ricke menambahkan.
Literasi, anak, dan masa depan
Suara bel sekolah di kawasan Rawa Bunga, Jatinegara, Jakarta Timur siang itu berbunyi bersamaan disambut dengan sorak-sorai anak-anak yang berlarian keluar gerbang sekolahnya masing-masing.
"Anak-anak sudah pulang. Biasanya ada yang ke sini, atau ke RPTRA buat baca buku," kata Ricke sambil tersenyum.
Dari matanya, tersisip rasa senang dan haru yang menyelimuti dirinya. Melihat anak-anak berlarian dan memilih buku-buku yang tertata rapi di rak merupakan sebuah penghargaan tersendiri baginya sebagai seorang pustakawan.
Pepatah "buku adalah jendela dunia" masih dirasa cukup relevan di era yang serba digital ini. Buku, tidak lekang oleh zaman dan menggugah daya imajinasi dan wawasan para pembacanya, terutama bagi anak-anak yang merupakan masa depan bagi keluarga, nusa dan bangsanya.
"Dengan mendekatkan buku kepada anak-anak sejak dini, ya tentu harapannya agar mereka bisa mendapatkan banyak ilmu sedini mungkin, seluas mungkin," kata Ricke sebelum ia beranjak dari tempat duduknya.
Hal ini lalu mengingatkan kita pada kutipan salah satu tokoh nasional, Ki Hajar Dewantara yang berbunyi, "Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu."
Upaya yang dilakukan berbagai pegiat literasi yang secara tak langsung berperan sebagai pendidik, tak lain adalah untuk mewujudkan generasi muda yang melek huruf dan berilmu dan mampu menghantarkan mereka ke jalan terbaik.
Akhirnya, kita bersepakat bahwa anak adalah harapan dan investasi bangsa Indonesia di masa depan. Dengan anak-anak yang berkualitas, tentu saja percikan-percikan keyakinan, harapan dan optimisme akan selalu ada bagi bangsa ini di masa yang akan datang.
Baca juga: Hoaks dan rendahnya kemampuan literasi
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019
Itulah penggalan sambutan dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Indonesia, Yohanna Susana Yembise dalam perayaan Hari Anak Nasional di Makassar, Selasa.
Hari Anak Nasional (HAN) yang dirayakan pada tanggal 23 Juli setiap tahunnya di Indonesia, dimaknai sebagai kepedulian terhadap perlindungan anak Indonesia, agar tumbuh dan berkembang secara optimal, layaknya seutas harapan sang Menteri PPPA itu.
Berdasarkan Profil Anak Indonesia (PAI) yang dikeluarkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pada 2018, sebanyak 30,5 persen atau 79,6 juta jiwa penduduk Indonesia adalah anak-anak dari rentang usia 0-17 tahun.
Maka, tidak mengherankan bahwa terdapat sepercik harap dan optimisme ketika melihat angka sebanyak ini sejatinya akan menjadi modal baik dan penggerak bangsa di masa yang akan datang.
Namun, pada jajak pendapat yang sama, masih ditemukan anak bangsa yang putus sekolah dan buta huruf. Sebanyak 1,17 persen anak usia 7-17 tahun berstatus putus sekolah. Sementara itu, angka lebih tinggi merujuk pada buta huruf di anak umur 5-17 tahun yang mencapai angka 10,53 persen.
Memerlukan perhatian lebih bagi pemerintah untuk meratakan pendidikan, khususnya pada sektor literasi dan minat baca pada anak-anak, agar angka ini tidak semakin bertambah di tahun-tahun berikutnya.
Usaha untuk meningkatkan minat membaca sudah dilakukan, mulai dari skala nasional hingga tingkat daerah.
Jakarta sebagai ibu kota negeri ini, rupanya telah memulai beberapa hal kecil untuk meningkatkan minat serta keaktifan anak-anak pada buku dan literasi sejak dini.
Baca juga: Menteri Yohana: gawai sebabkan anak tak bisa berpikir teoritis-kritis
Menjemput bola
Mengenalkan buku kepada anak-anak di seluruh penjuru ibu kota bukanlah sesuatu yang dapat dilakukan secara singkat. Membutuhkan waktu dan pendekatan khusus, utamanya bagi pemerintah provinsi untuk melakukan hal tersebut.
Gubernur Provinsi DKI Jakarta Anies Baswedan bahkan sudah mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 76 Tahun 2018 tentang Pembudayaan Kegemaran Membaca. Peraturan itu dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Di Jakarta Timur misalnya, Suku Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Sudin PUSIP) Jakarta Timur berusaha menjangkau anak-anak agar dekat dengan buku-buku yang edukatif dan sesuai dengan usia serta tumbuh-kembangnya.
"Ibaratnya, kita ini menjemput bola. Tidak semua anak bisa datang ke perpustakaan untuk sekadar membaca atau meminjam buku," kata pustakawan muda Sudin PUSIP Jakarta Timur, Ricke Gartina beberapa waktu lalu di ruang perpustakaan gedung Sudin tersebut.
Upaya "menjemput bola" ini berada dalam berbagai bentuk. Mulai dari penyediaan pojok-pojok baca di berbagai tempat umum, pembuatan ruang perpustakaan kecil di beberapa Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA), hingga mobil dan motor perpustakaan keliling.
Di perpustakaan keliling, tidak banyak menawarkan aneka buku yang bisa dibaca dan dipinjam, rupanya juga interaktif dalam menarik perhatian anak-anak agar dekat dan memiliki hubungan baik dengan buku.
Contoh komunikasi dua arah yang tercipta dari perpustakaan keliling ini dengan anak ini adalah pemberian reward untuk anak-anak yang sering meminjam buku di sana.
Petugas pelayanan perpustakaan pun terkadang juga mengajak anak-anak untuk memilih buku yang mereka ingin baca, lalu meminta mereka untuk menceritakan kembali isi dari buku tersebut dan ada apresiasi juga dari para pustakawan kepada mereka.
Hal ini rupanya berbanding lurus dengan peningkatan minat baca dan literasi, khususnya di wilayah timur Jakarta itu, walaupun menurut Ricke tidak terlalu cepat dan signifikan.
Peningkatan tersebut didukung oleh laporan pendidikan Badan Pusat Statistik pada 2018, tingkat melek huruf untuk usia 15 tahun ke atas Indonesia naik 0,16 persen menjadi 95,66 persen.
"Saya rasa sekarang minat baca sudah mulai meningkat walaupun tidak terlalu signifikan. Terbukti dengan banyaknya kegiatan-kegiatan terkait literasi," kata Ricke sembari menunjukkan beberapa catatannya.
Kegiatan-kegiatan terkait literasi, lanjut dia, di antaranya gerakan membaca untuk anak-anak yang dibimbing oleh pengelola di taman bacaan masyarakat (TBM) dan perpustakaan di berbagai Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA). Biasanya, baik di TBM maupun RPTRA, pengelola mengajak anak-anak membaca dan menceritakan kembali cerita yang mereka baca.
"Dari sana kita bisa melihat bahwa anak-anak sudah mulai ada ketertarikan dan keinginan untuk membaca buku," ujar Ricke.
Baca juga: 18 sekolah di Denpasar peringati Hari Anak Internasional dengan OCDay
Kreativitas dan inovasi
Dunia anak-anak yang lekat dengan warna dan hal-hal kreatif secara tidak langsung juga mendorong pemerintah untuk berbuat sama agar upayanya mendekatkan anak-anak dengan buku, serta mampu menggugah minat baca dan literasi anak sejak dini.
Dan dengan diadakan di ruang publik, diharapkan titik-titik baca tersebut dapat menjadi wadah berkumpulnya anak dan orang tua untuk bermain dan belajar bersama.
Beberapa TBM dan RPTRA di Jakarta Timur pun berlomba-lomba membuat inovasi dan kreativitas untuk mengundang anak-anak mengunjungi ruang-ruang baca tersebut dan membaca bersama teman-teman maupun keluarga.
TBM Masjid Fatahillah di Kramatjati, Jakarta Timur, antara lain menggunakan seni melipat kertas serta kegiatan berkebun untuk menarik kedatangan anak-anak.
Pendiri dan pengelola TBM ini, Harto Oetomo, berpendapat pendekatan ini memiliki beberapa dampak lain selain mendorong peningkatan pengunjung di taman bacaan tersebut.
"Selain anak-anak mendapatkan kesenangan melihat hasil seni melipat kertas, mereka juga senang dan terlibat dalam kegiatan membangun apotek hidup," kata Harto di TBM yang saat ini memiliki 6.000 koleksi buku tersebut, beberapa waktu lalu.
Sedangkan di RPTRA Citra Permata, Jakarta Timur, pengelola menempatkan perpustakaan di depan teater terbuka dan taman bermain sehingga anak-anak juga bisa bermain sambil belajar bersama teman-teman sebayanya.
Sendwy, pengelola RPTRA tersebut bahkan berpendapat, pengunjung perpustakaan kecil di tempatnya bekerja itu cenderung meningkat bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
"Meningkat banget. Biasanya 10-20 orang anak yang ke perpus, sekarang bisa 25-50 anak setiap harinya," ujar dia di RPTRA yang terletak di Rawa Bunga, Jatinegara, Jakarta Timur itu, beberapa waktu lalu.
Kreativitas dan inovasi yang diterapkan di beberapa TBM dan RPTRA ini, menurut Ricke merupakan hal yang baik dan harus terus diupayakan demi terciptanya lingkungan melek literasi di Jakarta. Terlebih, para pengelola di titik-titik baca tersebut merupakan kepanjangan tangan bagi suku dinas itu.
"TBM dan RPTRA ini perannya penting untuk mendekatkan buku dan literasi kepada masyarakat. Terlebih, titik baca di Jakarta Timur itu sangat banyak, sehingga bisa menjadi kepanjangan tangan bagi kami di Sudin PUSIP," kata Ricke menambahkan.
Literasi, anak, dan masa depan
Suara bel sekolah di kawasan Rawa Bunga, Jatinegara, Jakarta Timur siang itu berbunyi bersamaan disambut dengan sorak-sorai anak-anak yang berlarian keluar gerbang sekolahnya masing-masing.
"Anak-anak sudah pulang. Biasanya ada yang ke sini, atau ke RPTRA buat baca buku," kata Ricke sambil tersenyum.
Dari matanya, tersisip rasa senang dan haru yang menyelimuti dirinya. Melihat anak-anak berlarian dan memilih buku-buku yang tertata rapi di rak merupakan sebuah penghargaan tersendiri baginya sebagai seorang pustakawan.
Pepatah "buku adalah jendela dunia" masih dirasa cukup relevan di era yang serba digital ini. Buku, tidak lekang oleh zaman dan menggugah daya imajinasi dan wawasan para pembacanya, terutama bagi anak-anak yang merupakan masa depan bagi keluarga, nusa dan bangsanya.
"Dengan mendekatkan buku kepada anak-anak sejak dini, ya tentu harapannya agar mereka bisa mendapatkan banyak ilmu sedini mungkin, seluas mungkin," kata Ricke sebelum ia beranjak dari tempat duduknya.
Hal ini lalu mengingatkan kita pada kutipan salah satu tokoh nasional, Ki Hajar Dewantara yang berbunyi, "Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu."
Upaya yang dilakukan berbagai pegiat literasi yang secara tak langsung berperan sebagai pendidik, tak lain adalah untuk mewujudkan generasi muda yang melek huruf dan berilmu dan mampu menghantarkan mereka ke jalan terbaik.
Akhirnya, kita bersepakat bahwa anak adalah harapan dan investasi bangsa Indonesia di masa depan. Dengan anak-anak yang berkualitas, tentu saja percikan-percikan keyakinan, harapan dan optimisme akan selalu ada bagi bangsa ini di masa yang akan datang.
Baca juga: Hoaks dan rendahnya kemampuan literasi
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019