Nusa Dua (Antaranews Bali) - Gubernur Bali I Wayan Koster akan mengkaji opsi pembangunan hunian vertikal atau rumah susun di daerah setempat dalam mengantisipasi kebutuhan rumah yang tinggi atau "backlog" , namun masyarakat Pulau Dewata masih kental dengan aturan adat istiadat.
"Kalau di wilayah perumahan dengan hunian vertikal seperti itu pendekatannya RT-RW, tidak lagi berbasis hukum adat, nanti bisa tergerus adatnya, bisa banyak orang lari ke situ supaya tidak kena ikatan dengan adat. Ini perlu dikaji," katanya saat menghadiri Rapat Kerja Daerah Real Estat Indonesia (REI) Bali di Nusa Dua, Badung, Senin.
Menurut dia, hunian vertikal memang merupakan opsi yang lebih efisien dalam pengembangan perumahan dengan mempertimbangkan kondisi harga lahan saat ini yang mahal dan konsep itu laku keras di beberapa daerah di Indonesia.
Namun tidak demikian dengan di Bali yang memerlukan kajian dan pertimbangan mendalam sebelum merealisasikan konsep perumahan vertikal atau rumah susun karena masih erat berkaitan dengan aturan adat dan tidak ingin keduanya saling berbenturan.
Gubernur asal Desa Sembiran, Buleleng itu mengatakan pihaknya akan membicarakan dengan REI Bali termasuk membuat perencanaan dan peta jalan untuk mengantisipasi "backlog" di Pulau Dewata yang diperkirakan mencapai sekitar 200 ribu unit.
"Saya perlu diskusi mendalam terkait penyediaan lahan dan regulasi seperti apa yang dibutuhkan untuk mempercepat ini termasuk sumber dana dan pola kepada masyarakat agar bisa dijangkau daya belinya," ucap mantan anggota DPR RI itu.
Senada dengan Koster, Ketua Umum DPP REI Soelaeman Soemawinata berencana akan membuat rancangan yang mencakup usulan dari anggota REI di Bali untuk mempercepat pembangunan perumahan di Bali.
Terkait dengan "backlog", lanjut dia, sejumlah daerah di Indonesia juga menghadapi hal itu dengan perkiraan kesenjangan rumah yang terwujud dengan kebutuhan masyarakat atau "backlog" mencapai sekitar 11,4 juta.
Ketua REI Bali Pande Agus Permana Widura mengatakan pihaknya akan mengevaluasi capai pembangunan rumah subsidi dalam Rakerda itu karena dari target 3.500 unit rumah tahun ini baru terealisasi sekitar 2.000 unit.
Sejumlah kendala sebelumnya dialami para pengembang di antaranya erupsi Gunung Agung dan mahalnya harga lahan di Bali sehingga tidak semua daerah bisa menerapkan pembangunan rumah subsidi dengan mekanisme fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP). Selama ini rumah FLPP di Bali baru dapat direalisasikan di Buleleng, Jembrana, Tabanan dan Karangasem.
Tahun 2019 pihaknya akan mencari alternatif lain agar harga rumah dapat dijangkau masyarakat dengan harapan terjadi kenaikan harga rumah FLPP menjadi 7,5 persen dari harga saat ini sebesar Rp148 juta per unit.
"DPP dan kami sedang mendiskusikan kenaikan harganya sekitar 6,4 persen dari Rp148 juta menjadi sekitar Rp158 juta tetapi saya berharap bisa naik 7,5 persen," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018
"Kalau di wilayah perumahan dengan hunian vertikal seperti itu pendekatannya RT-RW, tidak lagi berbasis hukum adat, nanti bisa tergerus adatnya, bisa banyak orang lari ke situ supaya tidak kena ikatan dengan adat. Ini perlu dikaji," katanya saat menghadiri Rapat Kerja Daerah Real Estat Indonesia (REI) Bali di Nusa Dua, Badung, Senin.
Menurut dia, hunian vertikal memang merupakan opsi yang lebih efisien dalam pengembangan perumahan dengan mempertimbangkan kondisi harga lahan saat ini yang mahal dan konsep itu laku keras di beberapa daerah di Indonesia.
Namun tidak demikian dengan di Bali yang memerlukan kajian dan pertimbangan mendalam sebelum merealisasikan konsep perumahan vertikal atau rumah susun karena masih erat berkaitan dengan aturan adat dan tidak ingin keduanya saling berbenturan.
Gubernur asal Desa Sembiran, Buleleng itu mengatakan pihaknya akan membicarakan dengan REI Bali termasuk membuat perencanaan dan peta jalan untuk mengantisipasi "backlog" di Pulau Dewata yang diperkirakan mencapai sekitar 200 ribu unit.
"Saya perlu diskusi mendalam terkait penyediaan lahan dan regulasi seperti apa yang dibutuhkan untuk mempercepat ini termasuk sumber dana dan pola kepada masyarakat agar bisa dijangkau daya belinya," ucap mantan anggota DPR RI itu.
Senada dengan Koster, Ketua Umum DPP REI Soelaeman Soemawinata berencana akan membuat rancangan yang mencakup usulan dari anggota REI di Bali untuk mempercepat pembangunan perumahan di Bali.
Terkait dengan "backlog", lanjut dia, sejumlah daerah di Indonesia juga menghadapi hal itu dengan perkiraan kesenjangan rumah yang terwujud dengan kebutuhan masyarakat atau "backlog" mencapai sekitar 11,4 juta.
Ketua REI Bali Pande Agus Permana Widura mengatakan pihaknya akan mengevaluasi capai pembangunan rumah subsidi dalam Rakerda itu karena dari target 3.500 unit rumah tahun ini baru terealisasi sekitar 2.000 unit.
Sejumlah kendala sebelumnya dialami para pengembang di antaranya erupsi Gunung Agung dan mahalnya harga lahan di Bali sehingga tidak semua daerah bisa menerapkan pembangunan rumah subsidi dengan mekanisme fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP). Selama ini rumah FLPP di Bali baru dapat direalisasikan di Buleleng, Jembrana, Tabanan dan Karangasem.
Tahun 2019 pihaknya akan mencari alternatif lain agar harga rumah dapat dijangkau masyarakat dengan harapan terjadi kenaikan harga rumah FLPP menjadi 7,5 persen dari harga saat ini sebesar Rp148 juta per unit.
"DPP dan kami sedang mendiskusikan kenaikan harganya sekitar 6,4 persen dari Rp148 juta menjadi sekitar Rp158 juta tetapi saya berharap bisa naik 7,5 persen," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018