Denpasar (Antaranews Bali) - Kegentingan suasana akibat hujan abu vulkanik, gemuruh banjir, getar gempa dan bubungan asap hitam dari kawah Gunung Agung, memiliki pengaruh cukup telak pada segenap sendi kehidupan masyarakat, termasuk sektor properti di Bali.
Hal itu diakui oleh Gede Semadi Putra sebagai salah seorang pelaku bisnis properti di Pulau Dewata. Ia menyatakan memang ada pengaruh yang cukup signifikan terkait meningkatnya aktivitas Gunung Agung.
"Daya beli masyarakat terhadap produk perumahan memang ada penurunan. Dulu, rata-rata per bulan terjual 10 rumah, sekarang berkisar 3-5 unit rumah yang terbeli," ujar pria pemilik usaha properti Rumah 58 yang alumnus Monash University, Bachelor of Business Systems, Clayton Campus itu.
Selain menurunnya daya beli masyarakat, masalah bahan baku pun turut terpengaruh kondisi Gunung Agung. Sejak naiknya aktivitas vulkanik Gunung Agung, maka izin operasional Galian C di Karangasem otomatis dihentikan, sehingga keberadaan pasir di wilayah Bali sempat langka dan harganya membubung.
Beruntung, pihaknya sudah mengantisipasi dengan mengambil pasir dari wilayah Kintamani. Sementara, beberapa pebisnis properti lainnya ada yang memesan pasir dari wilayah Lumajang, Jawa Timur.
Walaupun sudah mengambil pasir dari Kintamani, tapi tidak bisa seperti dahulu yang bisa memesan sesuai keinginan. Sekarang ada batas maksimal pembelian pasir.
Selain itu, kalau dulu harga pasir adalah Rp1,5 juta/truk, sekarang melonjak menjadi Rp 2,5 juta per truk. Harga batako yang dulu per biji senilai Rp2.200, maka kini naik menjadi Rp3.000.
"Sekarang harus pintar menyiasati keadaan, terkait kesulitan mendapatkan serta meroketnya harga bahan baku. Padahal di sisi lain, ada komitmen yang harus ditepati, karena sudah janji pada konsumen untuk batas waktu pembangunan rumah yang dipesan," ucapnya.
Meski demikian, kondisi ini tidak membuat Semadi terpikir untuk mundur dari bidang properti yang sudah digelutinya sejak tahun 2009. Berbagai lini usaha lain yang ditekuninya, seperti pakan ternak, supermarket, 'barber shop', membuat bisnisnya saling menopang satu sama lain.
Perihal persaingan di bidang usaha properti pun tidak pernah merisaukannya. Bagi Semadi, tanah merupakan ibu pertiwi yang memiliki jodoh tersendiri dengan seseorang. Keyakinan ini membuatnya tidak pernah gentar menghadapi kompetitor dengan pemilik bisnis properti lainnya.
2018 'Go' Nasional
Melalui keyakinan penuh, pria kelahiran tahun 1985 ini pun membangun perumahan di Denpasar, Badung, Tabanan, hingga ke Karangasem. Khusus untuk wilayah Karangasem, selain membangun rumah dengan harga normal, juga ada pembangunan rumah subsidi di Bebandem.
Rumah subsidi ini dipatok dengan harga Rp141 juta dan sebenarnya sangat diminati masyarakat. Cuma sayangnya, begitu ada erupsi Gunung Agung, maka penjualannya terhenti untuk sementara.
"Rumah subsidi ini tidak masuk jalur aliran lahar, tapi terkena dampak abu vulkanik. Meski demikian, distop dulu penjualannya untuk sementara. Tunggu situasi kondusif dari Gunung Agung," katanya.
Ketidakgentaran Gede Semadi pada pasang surut bisnis properti, dibuktikan dengan keinginannya untuk memperluas wilayah usaha di luar Bali. Setelah sempat melakukan survei lokasi ke NTT, NTB, Bandung, Bogor, Yogyakarta dan beberapa kota besar di Indonesia, akhirnya Gede Semadi menemukan lahan yang tepat di Kota Malang, Jawa Timur.
Menurut dia, Malang memiliki nilai tinggi untuk bisnis properti. Pertama, Malang dikenal sebagai kota pelajar. Setiap tahun, tercatat ada 60.000 mahasiswa baru yang datang untuk tinggal di kota berhawa sejuk itu. Kedua, Malang sudah lama kondang sebagai destinasi wisata favorit karena keindahan, kuliner dan berbagai atraksi penopang pariwisata.
Oleh karena itu, ia mematok proyek di Malang itu akan menjadi proyek yang dikerjakan tahun 2018. Sekaligus untuk mewujudkan harapan agar memperluas pembangunan rumah di berbagai daerah di Indonesia.
Dia menambahkan, hal lain yang diharapkan terwujud ialah agar pihak perbankan lebih bisa diajak kerja sama, karena bisnis perumahan ini membutuhkan modal yang teramat besar, sehingga membutuhkan dukungan pendanaan dari kalangan perbankan.
"Harapan lain semoga pemerintah tidak hanya fokus pada investasi jangka panjang. Dengan demikian, maka daya beli masyarakat membaik kembali. Termasuk dapat membeli rumah. Bagi saya, rumah bisa disimbolkan cinta. Selama ada cinta, maka rumah selalu diperlukan. Karena kalau ada cinta, maka ada pernikahan yang berujung membutuhkan rumah," ujarnya, berseloroh.
Misi lain yang ingin diwujudkan Gede Semadi adalah menyediakan rumah dengan harga terjangkau bagi masyarakat, supaya makin banyak yang memiliki rumah tinggal sendiri. Sesuai konsep Rumah 58, artinya memiliki rumah adalah lambang kemapanan.
Untuk misi ini, Gede Semadi bersiasat dengan lebih banyak membangun rumah dengan harga di bawah Rp800 juta. Dengan harga yang lebih terjangkau ini, maka konsumen yang membeli rumah tidak pernah kosong setiap bulan. (*)
-------------
*) Penulis adalah penulis artikel lepas yang tinggal di Bali.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
Hal itu diakui oleh Gede Semadi Putra sebagai salah seorang pelaku bisnis properti di Pulau Dewata. Ia menyatakan memang ada pengaruh yang cukup signifikan terkait meningkatnya aktivitas Gunung Agung.
"Daya beli masyarakat terhadap produk perumahan memang ada penurunan. Dulu, rata-rata per bulan terjual 10 rumah, sekarang berkisar 3-5 unit rumah yang terbeli," ujar pria pemilik usaha properti Rumah 58 yang alumnus Monash University, Bachelor of Business Systems, Clayton Campus itu.
Selain menurunnya daya beli masyarakat, masalah bahan baku pun turut terpengaruh kondisi Gunung Agung. Sejak naiknya aktivitas vulkanik Gunung Agung, maka izin operasional Galian C di Karangasem otomatis dihentikan, sehingga keberadaan pasir di wilayah Bali sempat langka dan harganya membubung.
Beruntung, pihaknya sudah mengantisipasi dengan mengambil pasir dari wilayah Kintamani. Sementara, beberapa pebisnis properti lainnya ada yang memesan pasir dari wilayah Lumajang, Jawa Timur.
Walaupun sudah mengambil pasir dari Kintamani, tapi tidak bisa seperti dahulu yang bisa memesan sesuai keinginan. Sekarang ada batas maksimal pembelian pasir.
Selain itu, kalau dulu harga pasir adalah Rp1,5 juta/truk, sekarang melonjak menjadi Rp 2,5 juta per truk. Harga batako yang dulu per biji senilai Rp2.200, maka kini naik menjadi Rp3.000.
"Sekarang harus pintar menyiasati keadaan, terkait kesulitan mendapatkan serta meroketnya harga bahan baku. Padahal di sisi lain, ada komitmen yang harus ditepati, karena sudah janji pada konsumen untuk batas waktu pembangunan rumah yang dipesan," ucapnya.
Meski demikian, kondisi ini tidak membuat Semadi terpikir untuk mundur dari bidang properti yang sudah digelutinya sejak tahun 2009. Berbagai lini usaha lain yang ditekuninya, seperti pakan ternak, supermarket, 'barber shop', membuat bisnisnya saling menopang satu sama lain.
Perihal persaingan di bidang usaha properti pun tidak pernah merisaukannya. Bagi Semadi, tanah merupakan ibu pertiwi yang memiliki jodoh tersendiri dengan seseorang. Keyakinan ini membuatnya tidak pernah gentar menghadapi kompetitor dengan pemilik bisnis properti lainnya.
2018 'Go' Nasional
Melalui keyakinan penuh, pria kelahiran tahun 1985 ini pun membangun perumahan di Denpasar, Badung, Tabanan, hingga ke Karangasem. Khusus untuk wilayah Karangasem, selain membangun rumah dengan harga normal, juga ada pembangunan rumah subsidi di Bebandem.
Rumah subsidi ini dipatok dengan harga Rp141 juta dan sebenarnya sangat diminati masyarakat. Cuma sayangnya, begitu ada erupsi Gunung Agung, maka penjualannya terhenti untuk sementara.
"Rumah subsidi ini tidak masuk jalur aliran lahar, tapi terkena dampak abu vulkanik. Meski demikian, distop dulu penjualannya untuk sementara. Tunggu situasi kondusif dari Gunung Agung," katanya.
Ketidakgentaran Gede Semadi pada pasang surut bisnis properti, dibuktikan dengan keinginannya untuk memperluas wilayah usaha di luar Bali. Setelah sempat melakukan survei lokasi ke NTT, NTB, Bandung, Bogor, Yogyakarta dan beberapa kota besar di Indonesia, akhirnya Gede Semadi menemukan lahan yang tepat di Kota Malang, Jawa Timur.
Menurut dia, Malang memiliki nilai tinggi untuk bisnis properti. Pertama, Malang dikenal sebagai kota pelajar. Setiap tahun, tercatat ada 60.000 mahasiswa baru yang datang untuk tinggal di kota berhawa sejuk itu. Kedua, Malang sudah lama kondang sebagai destinasi wisata favorit karena keindahan, kuliner dan berbagai atraksi penopang pariwisata.
Oleh karena itu, ia mematok proyek di Malang itu akan menjadi proyek yang dikerjakan tahun 2018. Sekaligus untuk mewujudkan harapan agar memperluas pembangunan rumah di berbagai daerah di Indonesia.
Dia menambahkan, hal lain yang diharapkan terwujud ialah agar pihak perbankan lebih bisa diajak kerja sama, karena bisnis perumahan ini membutuhkan modal yang teramat besar, sehingga membutuhkan dukungan pendanaan dari kalangan perbankan.
"Harapan lain semoga pemerintah tidak hanya fokus pada investasi jangka panjang. Dengan demikian, maka daya beli masyarakat membaik kembali. Termasuk dapat membeli rumah. Bagi saya, rumah bisa disimbolkan cinta. Selama ada cinta, maka rumah selalu diperlukan. Karena kalau ada cinta, maka ada pernikahan yang berujung membutuhkan rumah," ujarnya, berseloroh.
Misi lain yang ingin diwujudkan Gede Semadi adalah menyediakan rumah dengan harga terjangkau bagi masyarakat, supaya makin banyak yang memiliki rumah tinggal sendiri. Sesuai konsep Rumah 58, artinya memiliki rumah adalah lambang kemapanan.
Untuk misi ini, Gede Semadi bersiasat dengan lebih banyak membangun rumah dengan harga di bawah Rp800 juta. Dengan harga yang lebih terjangkau ini, maka konsumen yang membeli rumah tidak pernah kosong setiap bulan. (*)
-------------
*) Penulis adalah penulis artikel lepas yang tinggal di Bali.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017