Denpasar (Antara Bali) - Otoritas Jasa Keuangan mengingatkan manajemen bank perkreditan rakyat (BPR) di Bali untuk melakukan optimalisasi tata kelola perusahaan agar dapat mewujudkan lembaga keuangan yang sehat.
"Dari hasil pengawasan, umumnya hampir 90 persen masalah BPR ditutup bukan karena kalah bersaing tetapi karena lemahnya manajemen, `miss management` dan karena `fraud` (penyimpangan)," kata Kepala OJK Regional Bali dan Nusa Tenggara Hizbullah ketika memberikan sambutan pada evaluasi kinerja BPR di Denpasar, Rabu.
Menurut Hizbullah, berdasarkan hasil pengawasan yang dilakukan selama ini, sebagian BPR hanya memiliki satu orang pengurus yang menduduki posisi di jajaran direksi dan komisaris bahkan ada BPR yang tidak memiliki direksi atau komisaris.
Padahal, jajaran petinggi lembaga keuangan itu minimal masing-masing harus dua orang direksi dan komisaris.
"Jumlah direksi dan komisaris hanya satu orang, bagaimana bank berkembang jika pengurus satu orang. Ini bisa menyebabkan penyimpangan dan pengembangan BPR terbatas karena struktur tidak cukup," ucapnya.
Hizbullah juga mencatat belum semua BPR di Bali memiliki minimal satu pemegang saham pengendali dengan persentase kepemilikan saham paling sedikit 25 persen.
Minimnya jumlah pengurus itu memicu fungsi perencanaan, pengarahan, pengawasan dan koordinasi di bank terkait juga tidak maksimal.
Selain itu karena kekurangan pengurus pihaknya masih menemukan adanya penyimpangan ketentuan mulai dari rekayasa pemberian kredit serta adanya intervensi pemegang saham pengendali.
"Jadi kesannya debitur macet tetapi bisa dilancarkan dengan dimanipulasi. Ini bukan zamannya lagi ada rekayasa, lambat laun pasti ketahuan dan jika begitu ada sanksi dan bisa ditutup BPR terkait," imbuhnya.
Permasalahan terkait manajemen merupakan satu dari empat tantangan yang dihadapi BPR, yakni permodalan, tata kelola dan sistem teknologi informasi.
Terkait permodalan, OJK menyebutkan masih terdapat 52 BPR di Bali yang memiliki modal inti terbatas dengan kinerja kurang optimal yang tercermin dari tingkat kredit bermasalah yang tinggi, biaya operasional yang tinggi dan pengembalian aset yang rendah.
Saat ini jumlah BPR di Bali mencapai 136 BPR yakni 135 BPR konvensional dan satu BPR Syariah.
Jumlah BPR di Bali saat ini berkurang karena sebelumnya ada satu BPR yang dicabut izin usahanya yakni PT Bank Perkreditan Rakyat KS Bali Agung Sedana karena pengelola bank itu dinilai gagal memperbaiki kondisi likuiditasnya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
"Dari hasil pengawasan, umumnya hampir 90 persen masalah BPR ditutup bukan karena kalah bersaing tetapi karena lemahnya manajemen, `miss management` dan karena `fraud` (penyimpangan)," kata Kepala OJK Regional Bali dan Nusa Tenggara Hizbullah ketika memberikan sambutan pada evaluasi kinerja BPR di Denpasar, Rabu.
Menurut Hizbullah, berdasarkan hasil pengawasan yang dilakukan selama ini, sebagian BPR hanya memiliki satu orang pengurus yang menduduki posisi di jajaran direksi dan komisaris bahkan ada BPR yang tidak memiliki direksi atau komisaris.
Padahal, jajaran petinggi lembaga keuangan itu minimal masing-masing harus dua orang direksi dan komisaris.
"Jumlah direksi dan komisaris hanya satu orang, bagaimana bank berkembang jika pengurus satu orang. Ini bisa menyebabkan penyimpangan dan pengembangan BPR terbatas karena struktur tidak cukup," ucapnya.
Hizbullah juga mencatat belum semua BPR di Bali memiliki minimal satu pemegang saham pengendali dengan persentase kepemilikan saham paling sedikit 25 persen.
Minimnya jumlah pengurus itu memicu fungsi perencanaan, pengarahan, pengawasan dan koordinasi di bank terkait juga tidak maksimal.
Selain itu karena kekurangan pengurus pihaknya masih menemukan adanya penyimpangan ketentuan mulai dari rekayasa pemberian kredit serta adanya intervensi pemegang saham pengendali.
"Jadi kesannya debitur macet tetapi bisa dilancarkan dengan dimanipulasi. Ini bukan zamannya lagi ada rekayasa, lambat laun pasti ketahuan dan jika begitu ada sanksi dan bisa ditutup BPR terkait," imbuhnya.
Permasalahan terkait manajemen merupakan satu dari empat tantangan yang dihadapi BPR, yakni permodalan, tata kelola dan sistem teknologi informasi.
Terkait permodalan, OJK menyebutkan masih terdapat 52 BPR di Bali yang memiliki modal inti terbatas dengan kinerja kurang optimal yang tercermin dari tingkat kredit bermasalah yang tinggi, biaya operasional yang tinggi dan pengembalian aset yang rendah.
Saat ini jumlah BPR di Bali mencapai 136 BPR yakni 135 BPR konvensional dan satu BPR Syariah.
Jumlah BPR di Bali saat ini berkurang karena sebelumnya ada satu BPR yang dicabut izin usahanya yakni PT Bank Perkreditan Rakyat KS Bali Agung Sedana karena pengelola bank itu dinilai gagal memperbaiki kondisi likuiditasnya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017