Denpasar (Antara Bali) - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar, Bali, menyidangkan tiga terdakwa yang diduga melakukan korupsi (koruptor) dana Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Suwat, Gianyar, sebesar Rp796 juta lebih.
Ketiga terdakwa yang disidangkan secara terpisah adalah Sang Ayu Raiyoni (Ketua LPD), Ni Nyoman Nilawati (Sekertaris) dan Ni Made Sutria (Bendahara) dalam sidang dakwaan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Wayan Sukanila di pengadilan itu, Rabu.
"Ketiganya didakwa Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor juncto Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) I Gusti Ngurah Anom.
Dalam dakwaan disebutkan bahwa kasus yang terjadi pada tahun 2010 itu terjadi saat peralihan sistem manual menjadi komputerisasi yang ditemukan selisih pada buku tabungan dan catatan LPD sebesar Rp68 juta.
Ketiga terdakwa lalu mengakui selisih tersebut sebagai pinjaman mereka dan mengakui memiliki utang di LPD Suwat yang masing-masing Rp22,8 juta.
Dalam memberikan kredit, ketiga terdakwa juga disebut tidak berpedoman pada peraturan yang berlaku. Para terdakwa memberikan pinjaman kepada warga di luar Desa Suwat dan juga memberikan pinjaman kepada warga tanpa jaminan.
Selain itu, ketiga terdakwa juga melakukan penarikan tabungan nasabah senilai total Rp385 juta dan penarikan dana tabungan sukarela tanpa diketahui pemiliknya dan setoran dana tabungan yang tidak dicatat sebesar Rp109,2 juta lebih.
Ketiga terdakwa juga membuat kredit fiktif terhadap 28 orang nasabah yang telah menerima pinjaman dari LPD setempat dengan total Rp432.400.000.
Namun, faktanya ke-28 orang itu tidak pernah mengajukan pinjaman dan tidak pernah menerima dana pinjaman dari LPD Suwat. Dalam kasus ini, ketiga terdakwa memiliki peran berbeda.
Untuk terdakwa Ni Made Sutria sebagai kasir atau bendahara bertugas menuliskan nama-nama dan kredit fiktif yang diberikan Raiyoni sebagai Ketua LPD Suwat.
Sementara terdakwa Nilawati bertugas membagi nominal angka pinjaman yang dicantumkan pada masing-masing nama yang akan digunakan sebagai kredit fiktif.
Selanjutnya, ia menyesuaikan nominal pada Prima Nota Tabungan yang ada di komputer dengan buku tabungan nasabah. Sementara terdakwa Raiyoni menandatangani kredit fiktif tersebut. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
Ketiga terdakwa yang disidangkan secara terpisah adalah Sang Ayu Raiyoni (Ketua LPD), Ni Nyoman Nilawati (Sekertaris) dan Ni Made Sutria (Bendahara) dalam sidang dakwaan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Wayan Sukanila di pengadilan itu, Rabu.
"Ketiganya didakwa Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor juncto Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) I Gusti Ngurah Anom.
Dalam dakwaan disebutkan bahwa kasus yang terjadi pada tahun 2010 itu terjadi saat peralihan sistem manual menjadi komputerisasi yang ditemukan selisih pada buku tabungan dan catatan LPD sebesar Rp68 juta.
Ketiga terdakwa lalu mengakui selisih tersebut sebagai pinjaman mereka dan mengakui memiliki utang di LPD Suwat yang masing-masing Rp22,8 juta.
Dalam memberikan kredit, ketiga terdakwa juga disebut tidak berpedoman pada peraturan yang berlaku. Para terdakwa memberikan pinjaman kepada warga di luar Desa Suwat dan juga memberikan pinjaman kepada warga tanpa jaminan.
Selain itu, ketiga terdakwa juga melakukan penarikan tabungan nasabah senilai total Rp385 juta dan penarikan dana tabungan sukarela tanpa diketahui pemiliknya dan setoran dana tabungan yang tidak dicatat sebesar Rp109,2 juta lebih.
Ketiga terdakwa juga membuat kredit fiktif terhadap 28 orang nasabah yang telah menerima pinjaman dari LPD setempat dengan total Rp432.400.000.
Namun, faktanya ke-28 orang itu tidak pernah mengajukan pinjaman dan tidak pernah menerima dana pinjaman dari LPD Suwat. Dalam kasus ini, ketiga terdakwa memiliki peran berbeda.
Untuk terdakwa Ni Made Sutria sebagai kasir atau bendahara bertugas menuliskan nama-nama dan kredit fiktif yang diberikan Raiyoni sebagai Ketua LPD Suwat.
Sementara terdakwa Nilawati bertugas membagi nominal angka pinjaman yang dicantumkan pada masing-masing nama yang akan digunakan sebagai kredit fiktif.
Selanjutnya, ia menyesuaikan nominal pada Prima Nota Tabungan yang ada di komputer dengan buku tabungan nasabah. Sementara terdakwa Raiyoni menandatangani kredit fiktif tersebut. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017