Pekanbaru (Antara Bali) - Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Indonesia, Suwarjono, menyatakan bahwa masyarakat perlu terus diedukasi
untuk bisa mengidentifikasi secara sadar perihal berita sesat alias
"hoax" yang kini masih tersebar luas di dunia maya.
"Sebenarnya ada lima ciri berita hoax yang perlu kita ketahui supaya kita bisa membentengi diri," kata Suwarjono dalam diskusi "Tren Digital 2017, Hoax dan Kebebasan Pers" yang digelar AJI Kota Pekanbaru, di Perpustakaan Daerah Soeman HS, Pekanbaru, Sabtu.
Ciri pertama, berita hoax cenderung mengandung judul yang provokatif, "mengompori" yang tujuannya untuk mendorong pembaca mengklik berita itu di media sosial (Medsos). Kedua, nama situs media penyebar berita biasanya mirip dengan media besar yang sudah ada, seringkali juga dengan nama yang baru dan tidak jelas.
"Ciri ketiga adalah kontennya cenderung berisi opini, tidak jelas sumber beritanya dan minim fakta," ucap Suwarjono.
Ciri keempat, lanjutnya, berita hoax seringkali menggunakan foto yang menipu. Meski itu tujuannya sebaga foto ilustrasi, namun sering tidak relevan atau tak nyambung dengan caption dan keterangan fotonya.
"Yang kelima, akun itu biasanya baru dibuat, klonengan, abal-abal dan tak jelas sumbernya," kata Suwarjono.
Ia mengatakan masyarakat juga perlu terus diedukasi bahwa penyebab banyaknya berita hoax bermunculan karena semata untuk bisnis, salah satunya seperti mendapatkan iklan adsense dari pengguna internet. "Berdasarkan sebuah studi, di Amerika Serikat berita palsu bisa dapat keuntungan 1.000 dolar AS per bulannya," kata Suwarjono.
Menurut dia, di Indonesia juga terjadi hal serupa seperti yang dilakukan beberapa situs berita online.
Ironisnya, Suwarjono mengatakan berita hoax identik dengan propaganda untuk tujuan politik praktis seperti pemilu kepala daerah, pemilu presiden dan isu SARA. Para pelakunya dalam penyebaran berita hoax dimudahkan oleh cara kerja medsos dalam menggunakan algoritma yang mengikuti kebiasaan penggunanya.
"Yang suka buka konten esek-esek (porno) ya akan dikasih esek-esek terus dimedsosnya, begitu juga dengan berita hoax," katanya.
Meski begitu, kecenderungan menjamurnya berita hoax tidak bisa dipungkiri adalah karena pertumbuhan pengguna internet yang terus bertambah dan perubahan perilaku pembaca memilih aplikasi digital ketimbang konvensional seperti koran dan majalah.
"Kritik juga kepada media, pendorong hoax berkembang adalah karena ketidakpercayaan publik kepada media mainstream karena media arus utama berkepentingan di politik dan bisnis," ujarnya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
"Sebenarnya ada lima ciri berita hoax yang perlu kita ketahui supaya kita bisa membentengi diri," kata Suwarjono dalam diskusi "Tren Digital 2017, Hoax dan Kebebasan Pers" yang digelar AJI Kota Pekanbaru, di Perpustakaan Daerah Soeman HS, Pekanbaru, Sabtu.
Ciri pertama, berita hoax cenderung mengandung judul yang provokatif, "mengompori" yang tujuannya untuk mendorong pembaca mengklik berita itu di media sosial (Medsos). Kedua, nama situs media penyebar berita biasanya mirip dengan media besar yang sudah ada, seringkali juga dengan nama yang baru dan tidak jelas.
"Ciri ketiga adalah kontennya cenderung berisi opini, tidak jelas sumber beritanya dan minim fakta," ucap Suwarjono.
Ciri keempat, lanjutnya, berita hoax seringkali menggunakan foto yang menipu. Meski itu tujuannya sebaga foto ilustrasi, namun sering tidak relevan atau tak nyambung dengan caption dan keterangan fotonya.
"Yang kelima, akun itu biasanya baru dibuat, klonengan, abal-abal dan tak jelas sumbernya," kata Suwarjono.
Ia mengatakan masyarakat juga perlu terus diedukasi bahwa penyebab banyaknya berita hoax bermunculan karena semata untuk bisnis, salah satunya seperti mendapatkan iklan adsense dari pengguna internet. "Berdasarkan sebuah studi, di Amerika Serikat berita palsu bisa dapat keuntungan 1.000 dolar AS per bulannya," kata Suwarjono.
Menurut dia, di Indonesia juga terjadi hal serupa seperti yang dilakukan beberapa situs berita online.
Ironisnya, Suwarjono mengatakan berita hoax identik dengan propaganda untuk tujuan politik praktis seperti pemilu kepala daerah, pemilu presiden dan isu SARA. Para pelakunya dalam penyebaran berita hoax dimudahkan oleh cara kerja medsos dalam menggunakan algoritma yang mengikuti kebiasaan penggunanya.
"Yang suka buka konten esek-esek (porno) ya akan dikasih esek-esek terus dimedsosnya, begitu juga dengan berita hoax," katanya.
Meski begitu, kecenderungan menjamurnya berita hoax tidak bisa dipungkiri adalah karena pertumbuhan pengguna internet yang terus bertambah dan perubahan perilaku pembaca memilih aplikasi digital ketimbang konvensional seperti koran dan majalah.
"Kritik juga kepada media, pendorong hoax berkembang adalah karena ketidakpercayaan publik kepada media mainstream karena media arus utama berkepentingan di politik dan bisnis," ujarnya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017