Denpasar (Antara Bali) - Pakar arsitektur dan pengamat tata ruang, Prof Dr. Putu Rumawan Salain mengatakan jika dalam pembangunan di perkotaan ada pelanggaran harus dilakukan tindakan tegas.
"Bila perizinan itu melanggar ketentuan maka harus dicabut. Termasuk juga bangunan yang melanggar ketentuan harus dibongkar, apalagi berkaitan dengan perizinan," katanya di Denpasar, Kamis.
Hal tersebut melihat kasus dibangunnya Cinema XXI yang sempat menjadi perbincangan di tengah masyarakat karena ditengarai melanggar aturan.
Ia mengatakan kalau perizinan itu melanggar aturan yang lebih tinggi, tentunya atasan bisa menarik aturan itu, sehingga tidak menjadi masalah dikemudian hari.
"Tapi saya yakin tim ahli bangunan gedung (TABG) sudah dengan teliti melakukan kajian sehingga bisa keluar perizinan tersebut," ucapnya.
Ia mengatakan Pemerintah Kota Denpasar mempunyai visi dan misi dalam pembangunan. Dan Masing-masing SKPD mesti menjalankan aturan yang ada. Temuan itu, melihat kebelakang untuk kinerja. Memang kadang ada kekurangan, tapi itu tak dilakukan dengan sengaja.
"Bisa juga pemborong, pemilik atau investor saat membangun melakukan pelanggaran. Nah untuk mengetahui ada pelanggaran atau tidak, harus ada temuan dan pengaduan dari masyarakat. Tak bisa semua kesalahan dilimpahkan ke pemerintah," kata Rumawan, sembari menekankan lima kilometer dari Perwali Nomor 31 Tahun 2016 tentang pendirian bioskop menjadi titik kunci pertimbangan keluarnya izin operasional," ujarnya.
Kaitan dengan perizinan, kata dia, kembali lagi TABG bekerja dengan sangat hati-hati sampai keluarnya sebuah perizinan.
"Intinya begini, antara ketentuan aturan, gambar dan kenyataan di lapangan harus sesuai. Kata kuncinya, antara gambar dan ketentuan sesuai dengan kenyataan di lapangan atau tidak. Saya kira di sinilah yang perlu ditelusuri di bagian pengawasan," ucapnya.
Pendapat senada juga disampaikan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Prof DR. Made Arya Utama SH mengatakan kalau melihat dalam konteks Perwali ini, izinya harus ditarik atau dibatalkan. Karena Perwalinya sudah terbit lebih dulu Agustus 2016.
Sementara permohonan pendaftaran bulan Oktober 2016, dan izin operasional diterbitkan bulan November,†katanya.
Dalam konteks pelanggaran ini, menurut Pakar Hukum Perizinan dan Hukum Lingkungan dapat ditempuh dengan dua cara yakni pencabutan atau pembatalan bisa melalui atasan dalam hal ini wali kota atau bisa ditempuh melalui ke Peradilan Tata Usaha Negara karena obyeknya adalah Tata Usaha Negara.
"Kalau di Pengadilan Tata Usaha Negara kan keputusannya memaksa dan mengikat. Bahwa peraturan ini batal karena melanggar aturan yang lebih tinggi. Terbitnya Perwali memang cocok karena ada amanatnya yakni Perda Nomor 11 Tahun 2001 tentang Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum yang menjadi konsideran Menimbang Perda 31/2016," ujarnya.(I020)