Ir. I Gusti Ngurah Bagus Muditha populer dikenal Turah Pemayun selaku Pembina Yayasan Bumi Bali Bagus (YBBB) berpendapat bahwa beragam warisan leluhur orang Bali yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari menanamkan kejujuran.
Leluhur orang Bali memiliki budaya jujur yang tinggi, mereka tidak berani melanggar sebuah keputusan atau kesepakatan bersama meskipun tidak tertulis.
"Para leluhur orang Bali memiliki integritas dan kejujuran yang tidak perlu diragukan, oleh karena menerapkan yang telah menjadi kesepakatan bersama," ujar Turah Pemayun.
Oleh sebab itu, warisan tersebut patut dijadikan teladan oleh generasi muda khususnya yang ada di Bali, sebab masih sangat relevan karena bernilai universal.
Kejujuran itu mahal, mulai belajar jujur dari diri sendiri dari hal yang sederhana hingga yang menyangkut orang banyak.
Selain itu, kejujuran menjadi pondasi masyarakat Bali khususnya generasi muda dalam setiap hal tindakan yang dilakukan di bidangnya masing-masing.
Leluhur orang Bali mengingatkan dengan banyak hal terkait nilai-nilai kejujuran yang diterapkan dalam kehidupan sehar-hari.
Salah satunya diwujudkan dalam pengaturan tata letak perumahan atau arsitektur bangunan rumah orang Bali.
Setiap perumahan telah memiliki nilai kejujuran, terdapat bangunan 'bale kangin' selalu memiliki 'undag' atau tangga ke arah barat.
Sementara itu, bangunan 'bale selatan' tangganya menghadap ke utara, 'bale kauh' bangunannya menghadap ke timur dan 'bale daja' menghadap ke selatan.
Turah Pemayun menambahkan, termasuk pintu masuk perumahan yang berbentuk 'cangkem kodok' sebagai pertanda sebuah pintu masuk yang membedakan dengan tembok.
"Bentuk tersebut, identitas pintu masuk perumahan yang memudahkan para tamu berkunjung," kata Turah Pemayun.
Selain itu, perumahan orang Bali terdapat 'Aling-aling' sebagai pembatas publik tidak secara langsung mampu melihat privasi dalam rumah tangga.
Bentuk itu, memiliki makna keterbukaan dimana setiap orang Bali untuk menerima siapa saja, namun tetap mengedepankan nilai kejujuran yakni membedakan yang informasi bersifat publik maupun privasi.
Ia juga menambahkan, arsitektur perumahan Bali telah menerapkan "Tri Hita Karana" atau tiga penyebab terciptanya kebahagiaan dan keharmonisan.
Konsep kosmologi 'Tri Hita Karana' merupakan falsafah hidup tangguh, dalam melestarikan keaneka ragaman budaya dan lingkungan di tengah menghadapi globalisasi dan homogenisasi.
Hakikat ajaran tersebut, menekankan tiga hubungan manusia dalam kehidupan di dunia ini. Ketiga hubungan itu meliputi hubungan dengan sesama manusia, hubungan dengan alam sekitar, dan hubungan dengan kepada Tuhan.
Setiap hubungan memiliki pedoman hidup menghargai sesama aspek sekelilingnya. Prinsip pelaksanaannya harus seimbang, selaras antara satu dan lainnya.
Untuk itu, diharapkan adanya keseimbangan tercapai, manusia hidup dengan menghindari daripada segala tindakan buruk.
Turah Pemayun memaparkan, rumah tangga orang Bali dari segi hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa atau 'Ida Sang Hyang Widhi Wasa' terdapat 'Sanggah Kemulan' sebagi tempat sujud dan bakti kepada-Nya.
Setiap hari menghaturkan 'banten pesaiban' setelah memasak. Begitu pula, setiap pembangunan selalu diawali dengan upacara sehingga pengerjaan berjalan sesuai rencana.
Menjaga hubungan antar sesama, terdapat ruang tamu untuk menjamu dan melayani para tamu yang datang ke rumah sehingga selalu dalam keadaan bahagia.
Sedangkan menjaga hubungan manusia dengan lingkungan, dengan menjaga kebersihan, memelihara tanaman rindang maupun bunga dan beberapa hewan peliharaan.
Bahkan leluhur orang Bali mengingatkan betapa pentingnya menjaga kesehatan dengan mengenal istilah 'Song Sombah' sebagai drainase untuk pembuangan.
"Saya sering diingatkan oleh orang tua saya waktu kecil, jika tidak memperbaiki saluran drainase bisa mengakibatkan sakit perut," kata Turah Pemayun.
Apabila kondisi tersebut dibawa ke dalam diri sendiri tentu akan menjadi permasalahan yang besar, jika mengalami gangguan pembuangan hasil pencernaan baik buang air besar (BAB) atau buang air kecil (BAK).
Untuk itu, orang Bali mampu mengingat kembali nilai-nilai kearifan lokal warisan leluhur orang Bali, diharapkan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kearifan Lokal Bali Bernilai Universal
Turah Pemayun mengatakan, kearifan lokal orang Bali telah memiliki tatanan kehidupan dari hulu hingga hilir.
Selama ini, masyarakat Bali belum menyadari berharganya ajaran-ajaran para leluhurnya yang tidak lekang dengan zaman.
Hal itu, menjadi pondasi dalam setiap individu dalam mengembangkan bakat dan minat dalam menghadapi tantangan era globalisasi yang semakin ketat.
Ia menjelaskan, kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat itu sendiri.
Biasanya diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi melalui cerita dari mulut ke mulut, dapat ditemukan dalam cerita rakyat, peribahasa, lagu, dan permainan rakyat.
Kearifan lokal sebagai suatu pengetahuan yang ditemukan oleh masyarakat lokal tertentu melalui kumpulan pengalaman dalam mencoba dan diintegrasikan dengan pemahaman terhadap budaya dan keadaan alam suatu tempat.
"Saya merasa bangga kepada kearifan lokal Bali, implementasinya sangat jelas meskipun tanpa tertulis," tegas Turah Pemayun.
Namun fenomena belakangan ini, banyak sesuatu telah tertulis tanpa adanya implementasi yang jelas.
Hal itu perlu dilakukan intropeksi diri, solusi yang diharapkan dilapangan adalah tindakan nyata yang menerapkan teori yang ada, bukan hanya hebat dalam tataran teori di atas kertas.
Apalagi dengan kemajuan teknologi informasi, orang dengan mudah mendapatkan teori yang tersebar di internet dari berbagai sumber di seluruh dunia.
Untuk itu, terpenting ialah adanya kebranian dalam mengambil tindakan untuk menerapkan teori atau pengetahuan yang ada untuk membangun masyarakat khususnya di Bali lebih baik dan sejahtera.
Bali memiliki kearifan lokal, konsep hari raya 'tumpek' sebagai simbol untuk mewujudkan cinta kasih kepada semua baik manusia dengan Tuhan, sesama maupun lingkungan.
"Kita memiliki warisan jauh lebih lengkap, tinggal membangkitkan kembali untuk diketahui oleh masyarakat sehingga dapat diterapkan dalam berkehidupan," kata Turah pemayun.
Kini baru dikenalkan istilah hari kasih sayang atau 'Valentine Day', Hak Asasi Manusia (HAM), hari Bumi, hari Ibu, hari Tani dan sejenisnya.
Begitu pula, dalam pembangunan, masyarakat Bali terlebih dahulu menentukan hari baik atau 'dewasa ayu'.
Menurut Turah Pemayun, itu sebenarnya untuk membuat semua komponen bisa fokus untuk mengerjakan sesuatu sehingga berhasil untuk mendapatkan manfaat yang maksimal.
Selain itu, arsitektur Bali telah mengatur tata letak bangunan sedemikian rupa dengan menerapkan 'Tri Hita Karana' wajib terdapat 'Sanggah Kemulan', bangunan tempat istirahat, ruang tamu, dapur, tempat pembuangan atau dikenal 'song sombah'.
Ia menambahkan, pemerintah baru mengatur dalam bentuk Koefisien Dasar Bangunan (KDB) untuk mengatur penggunaan lahan pembangunan.
Termasuk Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL).
Selain itu, pembangunan dalam skala besar diharapkan melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Kegiatan itu sebagai kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, dibuat pada tahap perencanaan dan digunakan untuk pengambilan keputusan.
Hal-hal yang dikaji dalam proses AMDAL yakni aspek fisik-kimia, ekologi, sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan kesehatan masyarakat sebagai pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha atau kegiatan. (*)
Yayasan Bumi Bali Bagus, Leluhur Orang Bali Mewariskan Kejujuran
Selasa, 29 November 2016 8:27 WIB