Seruan "Aksi Bela Islam II, 4 November 2016" dengan warna tulisan kuning berlatar belakang warna hijau bukan hiasan viral di media sosial belaka, melainkan menyimpan pesan sejuta makna, baik bagi para pemimpin maupun calon pemimpin bangsa.
Viral tersebut tentu tidak muncul begitu saja tanpa ada pemicunya. Namun sejumlah elemen masyarakat dan pemuka agama masih berbeda pandangan, apakah pemicunya itu mengandung unsur pelanggaran atau tidak.
Namun terlepas dari semua itu, ada satu fenomena politik yang sangat menarik menjelang aksi 4 November tersebut, mulai dari inisiatif Presiden Joko Widodo bertamu ke rumah Letnan Jenderal (Purn) Prabowo Subianto, bekas seterunya di pemilihan presiden pada dua tahun yang lalu, dan kedatangan secara tiba-tiba mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke rumah dinas Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam waktu yang boleh dibilang hampir bersamaan.
Baik berkuasa atau tidak, mereka dipastikan telah memiliki kepiawaian tidak hanya dalam mengelola konflik melainkan juga sarat pengalaman dalam mengelola bangsa bermultikultur ini.
Bahkan pertemuan Jokowi-Prabowo pada penghujung Oktober lalu jauh dari kesan sengitnya kontestasi politik yang pernah mereka usung saat Pemilu Presiden 2014. Bahkan, mereka seperti sahabat karib yang lama sekali tidak bertemu karena kesibukan masing-masing.
Meskipun pertemuan tersebut dilakukan pada hari kerja dan jam-jam sibuk pula, kesan santai sangat kental dengan nuansa libur akhir pekan. Apalagi keduanya bercengkerama di atas kuda masing-masing yang seolah menggambarkan sebuah pertemuan kedua "jango" di satu tempat setelah berpisah dalam suatu pengembaraan panjang.
Rivalitas keduanya pun memudar setelah bertukar hormat sesuai dengan kedudukannya masing-masing. "Saya kira kita di dalam sampai tertawa bareng. Rivalitas ada pada saat Pilpres. Itulah demokrasi. Setelah itu bersama-sama bahu-membahu membangun negara dari segala sisi," tutur Jokowi tentang pertemuannya selama dua jam di rumah Prabowo yang asri di kawasan Hambalang, Bogor, Jawa Barat, itu.
Presiden yang merupakan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu juga tidak segan-segan meminta saran dan masukan kepada Prabowo sebagai Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya mengenai persoalan bangsa.
Gayung pun bersambut. Prabowo menyatakan komitmennya untuk membantu Jokowi dalam memberikan masukan dan pandangan demi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
"Konsen saya di sektor makro masalah keamanan. Beliau (Presiden) kan panglima tertinggi, saya wajib menyampaikan pandangan," ujar mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus TNI itu.
Sehari berikutnya, suasana akrab dan santai juga terlihat dalam pertemuan Kalla-Yudhoyono di rumah dinas Wapres di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.
"Sehat, Pak," tanya Yudhoyono yang langsung dijawab Kalla, "Sehat!"
Setelah bersalaman dan saling menempelkan pipi kanan dan kiri, Kalla selaku tuan rumah mengajak masuk mantan pasangannya dalam pemerintahan selama periode 2004-2009 itu. Keduanya pun melakukan pembicaraan secara tertutup.
"Beliau ingin menyapaikan saran-sarannya atas pengalamannya memimpin 10 tahun. Berikan saran bagaimana kita berkoordinasi, apabula timbul masalah-masalah pada tanggal 4 nanti," ujar Kalla setelah pertemuan dengan tamu istimewanya yang juga Ketua Umum Partai Demokrat tersebut.
Redakan Situasi
Pertemuan keempat elite politik nasional itu tidak bisa dipisahkan dari suhu politik yang memanas menjelang Pemilihan Kepala Daerah 2017 secara serentak. Meskipun baru digelar tiga bulan mendatang, situasi di Ibu Kota gerah oleh panasnya iklim politik menjelang pilkada.
Basuki Tjahaja Purnama, calon Gubernur DKI berstatus petahana yang lebih akrab dipanggil Ahok, mendapat tekanan keras tuntutan hukum atas tuduhan penistaan agama.
Massa FPI dan organisasi massa Islam yang segaris dengannya beberapa kali turun ke jalan agar Ahok yang dalam Pilkada DKI berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat melalui PDIP, Golkar, Partai Nasdem, dan Partai Hati Nurani Rakyat itu segera diadili.
Namun Nahdlatul Ulama, termasuk sejumlah "'alim 'allaamah" lainnya tidak melihat adanya unsur penistaan dalam perkataan Ahok di Pulau Seribu yang mengutip Surat Al Maidah ayat 51 itu, apalagi politikus keturunan yang berasal dari Manggar, Belitung Timur, tersebut telah menyampaikan permintaan maaf kepada segenap umat Islam.
Merasa tidak puas dengan kinerja aparat, FPI menggalang dukungan massa untuk turun ke jalan pada Jumat (4/11) yang dimulai dari Masjid Istiqlal kemudian "thawaf" di Monumen Nasional sebelum menuju titik utama penyampaian aspirasi di depan Istana Merdeka.
Kekhawatiran terjadinya tindakan anarkhisme dan aksi massa itu berpotensi berujung kerusuhan menggelayuti para pemimpin bangsa itu.
Jokowi melakukan tabayun dengan Prabowo. Begitu pula Kalla dan Yudhoyono yang putra sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono, mencalonkan diri sebagai gubernur berpasangan dengan Sylviana Murni dalam Pilkada DKI Jakarta melalui Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Persatuan Pembangunan.
Dalam konferensi pers tersendiri di rumahnya di kawasan Cikeas, Bogor, Rabu (2/11), Yudhoyono mencurahkan segala perasaannya karena merasa sebagai pihak tertuduh berada di belakang aksi massa 4 November.
"Kalau dikaitkan dengan situasi sekarang, kalau ada info analisis intelijen seperti itu saya kira berbahaya, menuduh orang, kelompok, partai politik melakukan itu. Itu fitnah, fitnah lebih kejam dibanding pembunuhan," katanya dengan nada tinggi.
Pihak yang berunjuk rasa pun menampik tudingan bahwa aksinya didanai oleh salah satu dari pasangan Agus-Sylvi atau Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang dalam Pilkada DKI Jakarta diusung oleh Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera itu.
Tidak ada satu pun pihak yang bisa menjamin kesahihan atas tuduhan dan bantahan tersebut. Apalagi dalam situasi seperti saat ini, politik sangat mungkin mengaburkan fakta, apa pun bentuknya.
Kini, di tengah kegaduhan politik yang menambah panasnya cuaca Ibu Kota, masyarakat sangat menantikan sikap kenegarawanan para elite dan pemangku kepentingan lainnya demi terpeliharanya kehidupan yang aman, tenteram, dan sentosa tanpa diskriminasi. (WDY)