Menabung lazimnya dilakukan dengan mengumpulkan rupiah demi rupiah, namun di Kabupaten Karangasem, Bali, ada yang tidak biasa. Seorang kuli bangunan memilih "menabung" dengan cara memelihara kambing di sebuah puncak bukit, sebagai langkah menggerakkan perekonomian keluarganya.
"Puluhan kambing lokal ini saya pelihara sejak tahun 1997, bermula ketika ada orang yang menitipkan lima kambing pada saya. Kambing itu saya pelihara dengan sistem kerja sama dengan pemiliknya. Kalau beranak, ada pembagian anak antara saya dan pemilik kambing," ujar Wayan Sukra, pemelihara kambing yang tinggal Bukit Muncung, Dusun Tengading, Desa Antiga, Kecamatan Manggis, Karangasem.
Pada ketinggian puncak Bukit Muncung, diselingi suara kambing yang mengembik bersahutan, sesekali daun bergerisik tertiup angin. Puluhan kambing itu dikandangkan di puncak bukit, di bawah keteduhan pepohonan gamal yang menjulang tinggi.
Kambing-kambing itu semakin hari kian produktif berkembang biak, sehingga jumlah anak kambing yang dimiliki Sukra pun terus bertambah jumlahnya.
Jika semula kambing-kambing itu berada di bawah naungan kandang yang sederhana, Sukra kemudian membuatkan kandang panggung agar satwa itu terbebas dari gigitan kalajengking atau binatang berbisa lainnya.
Bagi Wayan Sukra, proses memelihara kambing tidaklah rumit. Cukup memberi makan daun gamal atau dedaunan lain di kawasan bukit. Jadi, tidak perlu jauh-jauh mencari makanan.
Namun, ada pantangan dedaunan yang harus diperhatikan, yakni jangan terlalu banyak memberikan daun lamtoro. Apabila kambing makan daun lamtoro banyak-banyak, maka akan mengalami kembung. Setelah kembung, kambing berisiko tinggi mengalami kematian.
Biaya Sekolah
Ternak kambing itu menjadi penyokong utama sekolah keempat anak Wayan Sukra. Kalau ada keperluan untuk membayar uang sekolah dan jumlahnya besar, maka beberapa ekor kambing akan dijual.
"Kalau tidak begitu, dari mana saya bisa membiayai anak sekolah?" ucapnya.
Menggantungkan biaya pendidikan anak-anaknya pada ternak kambing, membuat Wayan Sukra bertekad akan terus melanjutkan usahanya agar nasib keempat buah hatinya menjadi lebih baik di kemudian hari.
Sukra bersyukur anak-anaknya bisa memahami kemiskinan yang membelit keluarganya, meski sering kali ketika bersekolah tidak dibekali uang jajan.
Ternyata, justru kemiskinan itu dijadikan penyemangat untuk bersekolah. Hasilnya, anak-anak Sukra pun mampu berprestasi dan mendapatkan beasiswa sehingga bebas biaya sekolah.
"Saya memang bertekad untuk menyekolahkan anak-anak saya, supaya nasibnya lebih baik dari saya. Kalau saya hanya lulusan SMP, saya ingin anak-anak bisa sekolah tinggi dan nasibnya lebih bagus nantinya," ucapnya penuh pengharapan.
Bukan hanya menjadi andalan untuk menyekolahkan anak-anaknya, bagi Sukra, memelihara kambing pun dijadikan tabungan untuk hari tua bersama istrinya.
Dia berharap, dengan memiliki kambing yang terus bertambah jumlahnya, maka diharapkan kehidupannya di masa tua bisa sejahtera. Perekonomian keluarga tidak akan susah lagi karena sewaktu-waktu jika ada kebutuhan mendesak, maka kambing-kambing itu bisa dijual.
Sekarang ini Wayan Sukra juga mulai mengembangkan kambing jenis etawa, serta ada peliharaan dua ekor sapi. Sapi itu dibeli dari hasil jualan kambing.
Sapi itu juga nantinya menjadi tabungan untuk biaya anak-anak sekolah, meski penopang utama ekonomi keluarganya adalah hasil beternak kambing.
Pelanggan yang membeli kambing Wayan adalah masyarakat sekitar Bukit Muncung. Apabila mendekati Hari Raya Idul Adha, maka Sukra didatangi banyak pembeli dari Denpasar, yang sudah berlangganan membeli kambing setiap tahun.
Harga kambingnya bervariasi tergantung jenis dan umur. Kalau kambing etawa yang sudah siap berkembang biak, harganya Rp4,5 juta sepasang. Kalau kambing lokal, harga mulai Rp1,2 juta disesuaikan besar dan kecilnya.
Usaha Prospektif
Beternak kambing merupakan usaha yang prospektif. Hal itu membuat Dinas Pertanian Provinsi Bali memberikan bantuan kepada kelompok peternak di sejumlah wilayah.
Pemberian bantuan ini berkaitan dengan pengguliran program Sistem Pertanian Terintegrasi (Simantri) oleh Pemprov Bali, yang mengintegrasikan kegiatan pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan dalam satu kawasan pengelolaan secara terpadu.
Salah satu yang mendapatkan bantuan adalah kelompok ternak yang tinggal di daerah Sibetan, Kabupaten Karangasem, Bali.
Pada tahun 2010, pihak Dinas Pertanian Provinsi Bali memberikan bantuan berjumlah 44 ekor kambing jenis etawa yang didatangkan dari daerah Bongancina. Sayangnya, ternak itu sebagaian besar kemudian mati karena terserang virus.
Bantuan kedua akhirnya kembali diberikan, dan mulai bisa berkembang dengan baik. Puluhan kambing itu diberi pakan daun gamal, daun nangka dan buah enau yang masih muda. Dalam sehari, pakan itu diberikan dua kali.
"Konsentrasi kami saat ini adalah supaya kambing-kambing ini bisa sehat dan tumbuh dengan baik. Sekarang ini, ada yang terserang 'scabies' meski hanya dalam persentase kecil. Tapi sebagian besar pertumbuhannya baik dan cepat besar, berkat makanan daun-daunan yang diberikan dan kesukaan mengkonsumsi buah enau itu," ujar Ketut Nana, Kepala Dusun Telaga, Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Karangasem.
Melihat pertumbuhan satwa yang cepat besar, masyarakat Sibetan menjadi antusias ingin mengikuti beternak kambing. Keinginan beternak ini juga didasari, karena penyediaan pakan untuk kambing cukup mudah dan bisa didapatkan dari kebun sendiri.
Prospektifnya usaha ternak kambing, juga disadari Wayan Purwa, seorang warga yang tinggal di Desa Bugbug, Kabupaten Karangasem. Sejak lima tahun lalu, lelaki ini memelihara kambing hitam, yang digunakan dalam ritual pecaruan.
Menurut Purwa, kambing hitam digunakan untuk caru pada upacara "ngenteg linggih" dan lainnya. Usia kambing untuk caru tergolong beragam. Mulai usia satu bulan hingga di atas dua tahun.
Harga kambing hitam caru bervariasi, antara Rp 1,5 juta hingga Rp3,5 juta per ekor. Ketika mengawali usaha ini, Purwa menyiapkan modal awal sebesar Rp14 juta. Modal sebesar itu digunakan untuk membeli delapan ekor kambing, terdiri tujuh kambing betina dan satu ekor kambing jantan.
Menurutnya, proses pemeliharaan kambing jenis ini pun tidak terlampau sulit. Pagi hari pukul 07.00 WITA hingga 09.00 WITA, kambing-kambing dibawa ke Bukit Gumang untuk digembalakan pada lahan seluas kurang lebih lima hektare. Setelah itu kambing dibawa kembali ke kandang.
Menjelang sore hari, kambing-kambing kembali dibawa ke bukit untuk merumput. Dua jam merumput, kambing itu digiring untuk dikandangkan kembali.
"Tidak sulit menggembalakan kambing karena tidak perlu mencari makanan, cukup dibawa ke perbukitan. Kalau untuk penyakit, paling sesekali kena sakit mata," tutur Purwa.
Apabila kambing-hewan itu terkena penyakit mata, bisa diobati sendiri dengan membeli obat di toko yang menyediakan obat-obatan untuk hewan.
"Memelihara kambing pilihan yang sesuai, karena modalnya terjangkau dan tidak gampang terserang sakit. Setahun dipelihara, sudah siap dikawinkan dan cepat beranaknya. Jadi modal cepat kembali. Apalagi dengan ternak kambing, saya tiap hari menggembala ke bukit, otomatis sekalian olahraga," imbuhnya. (WDY)
"Menabung" Kambing Untuk Kesejahteraan Masa Tua
Kamis, 4 Agustus 2016 10:12 WIB