Denpasar (Antara Bali) - Sejumlah korban pemerkosaan berantai yang dilakukan oleh Davis Suharto alias Codet (30) di Denpasar, kini masih mengalami trauma psikis sehingga perlu penanganan berkelanjut.
"Semua korban pemerkosaan Codet masih sekolah, tapi ada dua orang yang masih perlu penanganan pada aspek mental emosinya yang masih stabil dan mengalami trauma berkepanjangan," kata Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Bali Dr Anak Ayu Sri Wahyuni SpKJ kepada ANTARA di Denpasar, Senin.
Masyarakat Kota Denpasar dihebohkan pemerkosaan berantai terhadap anak perempuan yang masih duduk di bangku SD pada April 2010. Sekitar sebulan kemudian polisi berhasil menangkap pelaku, yakni Codet yang ternyata juga melakukan pemerkosaan serupa di Batam, Kepulauan Riau.
Menurut Sri Wahyuni, saat ini dua dari tujuh anak korban perilaku Codet masih perlu penanganan serius. Mereka masih mengalami keluhan, misalnya sakit saat akan buang air besar dan mengalami infeksi pada kemaluannya.
"Untuk yang sakit saat akan buang air besar, sebetulnya itu gangguan secara psikis akibat trauma, padahal secara fisik tidak ada masalah. Hal-hal seperti itu yang harus kami tangani," kata staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana ini.
Ia mengemukakan bahwa orang tua para korban saat ini mengalami masalah terkait biaya pengobatan anak-anaknya karena banyak yang tidak terjangkau dengan fasilitas Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) dari Pemerintah Provinsi Bali.
"Ada yang tidak memiliki KTP Bali, tapi ada juga yang memiliki KTP Bali, tapi di Buleleng. Orang tua korban yang ber-KTP Buleleng ini tinggal di Denpasar. Kalau korban sakit, tidak bisa langsung ditangani rumah sakit di Denpasar dengan fasilitas JKBM," katanya.
Menurut dia, perlu ada penanganan yang jelas terhadap para korban perkosaan ini dari instansi terkait. Karena ketidakjelasan penanganannya, maka KPAID yang sebetulnya bukan operasional di lapangan, terpaksa turun langsung.
"Ini karena tuntutan masyarakat yang mengetahui kami dari KPAID yang banyak membantu. Kalau ada apa-apa mereka tahunya hanya KPAID. Maka kamilah yang ditelepon kalau korban tiba-tiba ada keluhan sakit," katanya.
Karena itu, katanya, dalam evaluasi akhir tahun 2010, ia meminta ada SK bersama, antara lain Kemenkes dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) yang mengatur penanganan korban perkosaan ini.
"Jika ada masalah seperti ini korban tidak perlu mikir biaya. Ini sudah menjadi korban, setelah itu harus mikir soal biaya lagi. Penanganan korban perkosaan ini kan bukan hanya visum saja, tapi penanganan trauma berkepanjangan yang butuh waktu dan biaya," ujarnya.
Selain itu, ia berharap agar pihak-pihak terkait di daerah ada yang menjadi "leader" dalam upaya penanganan cepat terhadap korban perkosaan ini.
Dengan demikian, penanganannya lebih cepat dengan menggunakan pertimbangan nurani bisa berjalan dan bukan bekerja setelah ada tekanan dari berbagai pihak.(*)