Nusa Dua (Antara Bali) - Sebanyak 1.500 pakar kesehatan dari 21 negara Asia Pasifik berkumpul di Nusa Dua, Kabupaten Badung, membahas upaya pengendalian hipertensi mengingat penyakit tersebut menjadi salah satu penyebab stroke, gangguan jantung dan gagal ginjal.
"Ini merupakan tantangan komunitas hipertensi Indonesia" kata Ketua Komunitas Hipertensi Indonesia (InaSH), dr Nani Hersunarti, SpJP, FIHA, dalam Kongres Hipertensi Asia Pasifik ke-11 di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Kamis.
Adalah tanggung jawab bersama para pakar untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terkait hipertensi agar komplikasi tidak terjadi, kata Nani.
Menurut dia, berdasarkan riset kesehatan dasar tahun 2013, prevalensi atau jumlah penderita hipertensi di Indonesia masih tinggi yakni 26,5 persen yang menunjukkan satu dari empat orang menderita hipertensi.
Bahkan pada usia lanjut di atas 65 tahun, menunjukkan satu dari dua orang menderita hipertensi yang berisiko tinggi terkena penyakit jantung, stroke dan gagal ginjal.
Ia menyebutkan bahwa hampir 50 persen penderita hipertensi tidak menyadari bahwa dirinya menderita penyakit yang memicu tiga penyakit katastropik itu.
Untuk itu, para pakar kesehatan mengusulkan adanya partisipasi dari semua pihak termasuk pemerintah dan swasta untuk mengendalikan penyakit tekanan darah tinggi tersebut.
Salah satunya, kata dia, melalui kampanye pengurangan konsumsi garam, pengendalian konsumsi rokok dan gaya hidup.
Hal senada juga diungkapkan pakar hipertensi sekaligus pendiri InaSH, dr Arieska Ann Soenarta, SpJP, FIHA, yang menyatakan bahwa garam menjadi salah satu penyebab hipertensi.
Dia menjelaskan bahwa idealnya agar terhindar hipertensi, masyarakat dianjurkan mengonsumsi garam dapur satu sendok teh setiap hari atau kurang dari dua hingga enam gram.
"Sedangkan untuk orang yang sudah hipertensi kurangi mengonsumsi garam atau dianjurkan setengah sendok teh saja atau di bawah dua gram per hari," ucapnya.
Ia mengharapkan adanya kampanye pengurangan garam baik dari pemerintah dan swasta yakni produsen makanan untuk mengurangi bertahap asupan garam tersembunyi dalam makanan.
Kampanye publik, lanjut dia, juga diperlukan terutama dalam pencantuman kadar garam dalam label makanan yang mudah dipahami masyarakat.
Dia menyebutkan bahwa selama ini pada label makanan lebih banyak mencantumkan nama kimia yakni natrium yang selama ini mungkin belum dikenal dibandingkan kata garam.
Apalagi, kata dia, saat ini sudah terjadi pergeseran pola makan yang mengarah pada makanan cepat saji dan makanan yang diawetkan sehingga banyak menggunakan garam.
Selain karena hal tersebut, faktor keturunan juga menjadi pemicu terkena penyakit hipertensi atau sekitar empat kali lipat generasi berikutnya kemungkinan berpotensi hipertensi.
Untuk itu, para pakar mengimbau utamanya keluarga yang memiliki riwayat hipertensi untuk menjaga pola makan dengan mengurangi garam dan memaksimalkan gaya hidup termasuk berolahraga teratur, dan tidak merokok.
"Namun dari penelitian, penderita hipertensi selama tiga tahun, lebih memilih tergantung dengan obat daripada memilih pencegahan. Padahal pencegahan dengan menerapkan pola makan dan gaya hidup teratur itu lebih baik," ucapnya. (DWA)