Jakarta (Antara Bali) - Sikap Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang
mempermasalahkan pemberian rokok kepada Orang Rimba di Sungai Kemang,
Jambi, dinilai sebagai bentuk arogansi kultural. Sikap YLKI itu juga
patut dinilai tidak memperdulikan budaya lain.
"Sikap YLKI itu menurut saya sebagai bentuk arogansi satu budaya
terhadap budaya lain, anggaplah sikap modern terhadap tradisional karena
hanya memandang satu sisi saja," tegas budayawan Al Zastrouw Ng, saat
dihubungi wartawan, Minggu sore (29/3).
Mantan Sekretaris Pribadi Presiden Abdulrahman Wahid itu mengingatkan,
penolakan YLKI terhadap produk industri hasil tembakau, bisa
dikategorikan pemberangusan kultural. Pasalnya, di sejumlah daerah rokok
tidak hanya produk konsumsi namun juga alat komunikasi untuk
menciptakan relasi sosial.
"Tidak bisa dengan seenaknya diberangus atas nama kesehatan. Negosiasi
dengan Suku Anak Dalam berhari-hari gagal, mereka tidak mau dipindahkan,
setelah diplomasi rokok kepada para Tumenggung, akhirnya mau
dipindahkan. YLKI tidak pernah melihat bagian ini," tandasnya.
Ia menilai, kritik YLKI dalam kasus Suku Anak Dalam tidak tepat secara
konteks karena hanya dilihat secara parsial. Rokok dilihat seakan produk
ilegal dan haram. Jika seperti itu, maka bisa dikatakan YLKI melakukan
pemberangusan atas nama kesehatan.
"YLKI tidak paham konteks, apalagi pemberian produk tembakau itu dengan
tujuan membangun komunikasi kultural. YLKI tidak paham komunikasi
budaya," tegas pengurus Lembaga Kebudayaan Nahdatul Ulama (NU),
Lesbumi. Al Zastrouw menyatakan, langkah Mensos juga sudah tepat. Ketika melihat
ada hambatan kultural (cultural barrier), Mensos mampu menembus hambatan
itu dengan membagikan rokok keretek. Lagi pula, pemberian pun hanya
kepada para Tumenggung sehingga tak menyalahi aturan. (WDY)
Budayawan : Gugatan YLKI Dinilai Kurang Tepat
Senin, 30 Maret 2015 11:11 WIB