Denpasar (Antara Bali) - Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dinilai kalangan pengacara banyak resistensi dalam pelaksanaan selama 11 tahun.
"Isi dalam RUU tersebut justru mengebiri dan merendahkan profesi advokat. Karena di dalamnya ada disebutkan akan dibentuk Dewan Advokat yang diusulkan Presiden dan dipilih oleh DPR RI," kata Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Dr Otto Hasibun SH MH disela pembukaan Seminar Nasional "Kajian RUU Advokat dalam Perspektif Penegakan Hukum di Indonesia" yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar, Jumat.
Otto menilai dengan adanya Dewan Advokat tersebut, profesi advokat tidak bisa independen dalam menangani sebuah kasus. Padahal secara universal berlaku bahwa semua advokat independen.
"Ketika tidak independen, yang rugi adalah pencari keadilan, yaitu rakyat. Karena kalau menghadapi suatu perkara ditekan oleh pemerintah. Advokat jadinya tidak bisa membela kliennya dengan baik," ujarnya.
Dewan advokat yang dipilih oleh DPR RI, kata dia, mengisyaratkan bahwa advokat di posisi terkoptasi oleh partai politik.
Ia juga berpendapat sistem multibar dalam RUU Advokat memudahkan pendirian organisasi advokat karena cukup dengan 35 anggota saja.
"Sedangkan di Indonesia terdapat lebih dari 35 ribu advokat yang artinya akan ada banyak organisasi advokat yang bisa terbentuk. Dampaknya, standarisasi profesi advokat akan tidak kuat, sebab masing-masing organisasi akan menentukan nilai yang berbeda-beda dalam menguji seorang advokat," katanya.
Melalui seminar inilah, Otto berharap mendapatkan masukan dari para akademisi dan praktisi untuk direkomendasikan kepada DPR RI supaya dibahas lebih lanjut demi kebaikan advokat dan masyarakat luas.
Otto mengatakan, jangan hanya demi kuantitas, mengorbankan standar kualitas seorang advokat sehingga standarisasi pelayanan juga menjadi lemah.
"Kalau ada pelanggaran kode etik, misalnya, seorang advokat bisa saja dipecat dalam satu organisasi. Nah kemudian gabung di organisasi lain. Istilahnya pecat sini pindah lain, akibatnya rakyat yang menjadi korban. Ketika rakyat ditipu, nggak bisa mengadu kemana-mana. Beda jika single bar, ketika ada pelanggaran bisa langsung ditindak," katanya. (WDY)