Jakarta (Antara Bali) - Pakar Hukum Tata Negara Margarito menilai
langkah Komisi Pemilihan Umum yang mengeluarkan peraturan KPU No.4, No.9
dan No.19 terkait Daftar Pemilih Khusus (DPK) dan Daftar Pemilih Khusus
Tambahan (DPKTb) dinilai tidak ada dasar hukumnya sehingga melanggar
etika dan hukum.
"Langkah KPU mengeluarkan peraturan tentang DPK dan DPKTb itu tidak
ada dasarnya. Bila mengacu kepada Pemilu Legislatif, itu salah besar.
Karena di Pileg Undang-Undang Pileg sudah direvisi. Sedangkan di Pilpres
belum direvisi," kata Margarito di Jakarta, Senin.
Menurut Margarito, objek gugatan yang menyangkut masalah Peraturan
Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 4, No. 9 dan No. 19 terkait Daftar
Pemilih Khusus (DPK) dan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) dinilai
relevan untuk menunjang kemenangan Prabowo-Hatta tersebut di MK.
Dia menambahkan, langkah KPU mengeluarkan peraturan tentang DPK
dan DPKTb itu bukan hanya melanggar etika tetapi tetapi sudah melanggar
hukum.
"Bukan hanya pelanggaran etika, tapi sudah bertentangan dengan hukum," katanya.
Ketika disinggung tentang sikap KPU tersebut yang dilakukan untuk
mengakomodir suara rakyat dalam Pemilu, Margarito tetap mengatakan,
tidak bisa.
"Tidak ada dasar hukumnya," kata Margarito.
Karena itu, menurut Margarito, sangat beralasan bila dalam sidang
di DKPP mendatang, majelis hakim DKPP mengabulkan gugatan terkait
pelanggaran etika tentang peraturan tersebut.
Seperti diberitakan, masalah PKPU tentang DPK dan DPKTb yang
dipersoalan kubu Prabowo-Hatta ke DKPP dinilai telah melanggar etika. Di
samping itu, kubu Prabowo-Hatta menilai dengan adanya DPK dan DPKTb
tersebut, berpotensi terjadi penggelembungan sekitar tiga juta suara
pemilih.
Sebelumnya, Kuasa Hukum Merah Putih Maqdir Ismail menegaskan bahwa
inti dari permohonan gugatan Prabowo-Hatta ke MK, adalah meminta MK
untuk menetapkan perolehan suara pasangan Prabowo-Hatta mendapatkan
67.139.153 suara (50,25 persen) dan pasangan calon presiden dan wakil
presiden, Joko Widodo-Jusuf Kalla mendapatkan 66.435.124 suara (49,75
persen).
Jika mahkamah berpendapat lain, kata Maqdir, maka tim kuasa hukum
Prabowo-Hatta meminta MK menyatakan pemungutan suara ulang (PSU) di
seluruh TPS se-Indonesia atau paling tidak MK memerintahkan KPU untuk
melakukan PSU di 55.485 TPS bermasalah.
Menurut Maqdir, kecurangan-kecurangan yang terjadi di 55.485 TPS telah memunculkan suara bermasalah sebesar 22.543.811.
"Hal itu terjadi di seluruh provinsi se-Indonesia ditambah adanya
aktivitas membuka kotak suara untuk diambil formulir A5, dan C7 oleh
KPU," ungkap Maqdir.
Pihak Prabowo menyatakan bahwa KPU selaku penyelenggara pemilu
telah melakukan penyalahgunaan kewenangan, dan juga meyakini selisih
8.421.389 suara terjadi karena ada kesengajaan yang dilakukan oleh
penyelenggara di tingkat bawah.
Untuk membuktikan adanya kesalahan dalam rekapitulasi suara, Maqdir
mengungkapkan pihaknya siap menghadirkan bukti dokumen C1 di 52.000 TPS
yang diperoleh sesuai aturan hukum dan etika berdemokrasi.
Tim Hukum Prabowo-Hatta ini juga mendalilkan adanya penggelembungan
suara sebanyak 1,5 juta untuk pasangan nomor urut dua dan pengurangan
1,2 juta suara untuk pasangan nomor urut satu. (WDY)
Margarito Nilai PKPU DPK-DPKTb Tak Ada Dasar Hukumnya
Senin, 11 Agustus 2014 7:42 WIB