Negara (Antara Bali) - Untuk mengantisipasi konflik adat yang kerap muncul saat uparaca pengabenan, 13 desa adat di Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana, menggagas pembangunan krematorium jenazah.
"Kremasi ini khusus untuk Umat Hindu di perantauan, yang biasanya tidak masuk sebagai warga adat, sehingga saat meninggal sering memicu konflik terkait hak dia untuk diaben," kata Ketua Umum Yayasan Hindu Dharma Wicaksana, I Nengah Winastra, Minggu.
Ia mengatakan, yayasan ini merupakan gabungan dari 13 desa adat di Kecamatan Mendoyo, yang memiliki pandangan yang sama, untuk menghilangkan konflik adat terkait dengan pengabenan.
Ia berharap, dengan adanya krematorium ini, peristiwa penolakan warga adat, terhadap Umat Hindu yang meninggal dan tidak masuk sebagai warga adat, bisa dihilangkan.
"Biasanya yang muncul adalah penolakan warga adat, saat umat yang meninggal tersebut akan menggunakan setra atau kuburan untuk ngaben," ujarnya.
Karena mendapatkan tanggapan positif dari desa maupun tokoh adat, ia mengatakan, pada tahun 2015, sarana untuk kremasi jenazah tersebut sudah selesai dibangun.
"Di Bali sebenarnya sudah ada tiga krematorium, yaitu di Denpasar, Singaraja dan Gianyar. Kami akan tambah satu lagi di Jembrana," katanya.
Menurutnya, krematorium ini tidak hanya diperuntukkan bagi Umat Hindu dari Jembrana yang berada di perantauan, dan tidak masuk kelompok suka duka di adat, tapi bagi seluruh Umat Hindu di Indonesia.
Selain menekan konflik adat, ia mengatakan, pengabenan dengan cara kremasi ini juga lebih menghemat biaya upacara, dan pihaknya siap memberikan subsidi bagi yang tidak mampu.(GBI)