Kepolisian Daerah Bali terus melakukan penelusuran dan pengembangan dua kasus peredaran narkotika yang diduga dikendalikan oleh narapidana dari dalam Lembaga Pemasyarakatan di wilayah Bali.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Bali Komisaris Besar Polisi Stefanus Satake Bayu Setianto di Denpasar, Bali, Jumat, mengatakan saat ini Polda Bali bekerja sama dengan pihak-pihak terkait lainnya guna mengungkap peredaran narkoba, terutama yang melibatkan narapidana yang masih mendekam di dalam jeruji besi.
"Terkait bandar narkoba di lapas, Polda Bali melakukan penyelidikan dengan bantuan satuan kerja lain," kata Satake saat dihubungi melalui sambungan telepon Jumat malam.
Setidaknya ada dua kasus peredaran narkotika yang menyita perhatian publik di Bali belakangan ini, karena peredarannya melibatkan warga binaan Lembaga Pemasyarakatan yakni pertama kasus MW yang menjalankan bisnis narkoba ketika masih mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kerobokan, Badung, Bali pada tahun 2016- 2022.
Dari bisnis narkoba yang akhirnya diungkap oleh Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia tersebut, MW memiliki aset sebesar Rp15 miliar yang kemudian disita oleh BNN RI.
Dari bisnis narkoba yang akhirnya diungkap oleh Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia tersebut, MW memiliki aset sebesar Rp15 miliar yang kemudian disita oleh BNN RI.
Kasus kedua diungkap oleh Satresnarkoba Kepolisian Resor Jember, Jawa Timur yang telah menangkap seorang pengedar berinisial SS (43). Dalam kasus itu, berdasarkan catatan Polres Jember, SS mengaku bahwa dirinya hanya disuruh oleh seorang bandar berinisial S residivis narkoba yang masih mendekam di Lapas Bangli.
Dalam pengakuan SS, setiap bulannya dia menerima paket ganja seberat 10-20 kilogram kiriman dari Medan untuk dikirim ke Bali sesuai pesanan yang mencantumkan S.
"Kasus masih kami kembangkan. Untuk saat ini belum ada perkembangan yang berarti. Kalau sudah ada perkembangan akan diinformasikan kemudian seperti bagaimana hasilnya," kata Satake.
Sementara itu, untuk peredaran narkoba yang melibatkan mantan narapidana narkotika Lapas Kelas II A Kerobokan, Badung, Bali, Satake enggan berkomentar banyak karena kasus tersebut ditangani langsung oleh BNN RI. Namun demikian, dengan adanya peredaran narkotika tersebut, pihaknya turut memberikan atensi yang besar mengingat angka narkoba di Bali terbilang tinggi.
"Intinya dari kami berupaya melakukan penyelidikan. Kalau soal bandar narkoba yang beroperasi dari lapas Kerobokan itu akan ditelusuri oleh BNN karena mereka yang ungkap," kata Satake.
Menurut Satake Bayu, dari data yang dihimpun oleh Direktorat Reserse Narkoba Polda Bali tercatat sejak Januari sampai Mei 2023, kejahatan narkotika menduduki peringkat pertama dengan jumlah 258 kasus. Dari 258 kasus tersebut, 159 kasus yang sudah dilimpahkan ke Kejaksaan dan Pengadilan, sedangkan sisanya masih dalam proses pemberkasan.
Ratusan kasus narkotika tersebut tersebar di sembilan Polres/Polresta dan Polsek jajaran di bawah wilayah hukum Polda Bali.
Satake mengatakan masifnya peredaran narkotika di Bali melibatkan jaringan yang luas dan tersembunyi, sehingga menjadi kesulitan tersendiri bagi Polisi untuk memutus mata rantai dan mengungkap para pelaku utama bisnis barang terlarang tersebut.
Satake mengatakan masifnya peredaran narkotika di Bali melibatkan jaringan yang luas dan tersembunyi, sehingga menjadi kesulitan tersendiri bagi Polisi untuk memutus mata rantai dan mengungkap para pelaku utama bisnis barang terlarang tersebut.
"Kesulitannya memang peredaran narkoba ini ada jaringannya dan jaringan ini terputus biasanya sehingga menyulitkan untuk mengungkap yang lebih besar. Tetapi, kami tidak akan putus asa dan terus melakukan upaya mengungkap kasusnya tersebut," kata Satake Bayu.
Kepala BNN RI Komjen Pol. Petrus Reinhard Golose saat menggelar konferensi pers terkait kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan aset Rp15 miliar yang dilakukan oleh mantan narapidana narkotika Lapas Kerobokan Kelas II A, Badung, Bali mengungkap bahwa narkotika Khusus metamfetamina yang beredar di Bali didominasi oleh narkotika jaringan Golden triangel.
Golden triangle (segitiga emas) sendiri merupakan sebutan untuk penjualan opium atau jaringan narkotika yang beroperasi di Myanmar, Thailand dan Laos. Narkoba jaringan golden triangel tersebut dibuktikan dengan penelitian laboratorium dimana terdapat kesamaan kandungan kimia dan rute peredarannya.
Jaringan narkoba asal Myanmar beredar luas di Indonesia karena di tempat asalnya, produksi narkoba dilindungi oleh kelompok mafia yang memiliki militer khusus.