Oleh Yuni Arisandy
"Bagi saya melestarikan budaya asli keraton adalah panggilan sukma dan tidak akan pernah padam selama hayat dikandung badan. Tidak bisa dihentikan oleh siapapun," demikian tutur Koes Murtiyah Pakubuwono yang disambut tepuk tangan para hadirin.
Pada hari itu, wanita 52 tahun yang biasa dipanggil Murtiyah Pakubuwono dianugerahi penghargaan kesenian dan kebudayaan "Fukuoka Prize" 2012 atas prestasi-prestasi yang diukirnya dalam upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan keraton Jawa.
"Fukuoka Prize" bukanlah sesuatu yang dapat dengan mudah diperoleh. Penghargaan internasional tersebut hanya dianugerahkan kepada individu atau kelompok dengan prestasi ulung dalam pelestarian budaya Asia, dan Murtiyah Pakubuwono menjadi salah satu penerimanya.
G.R.Ay.Koes Murtiyah Pakubuwono merupakan seorang tokoh kebudayaan Jawa Tengah yang dilahirkan sebagai putri Keraton Surakarta pada 1960.
Sebagai seorang pewaris dan penerus kebudayaan keraton, ia mulai mempelajari budaya Jawa dan menggemari tarian tradisional keraton sejak kecil.
Kemudian, putri dari Sri Susuhunan Pakubuwono XII ini mempelajari sastra Jawa di Universitas Sebelas Maret untuk memperdalam ilmu pengetahuannya di bidang kebudayaan Jawa.
Selain mempelajarinya, Murtiyah juga mengemban kewajiban untuk melestarikan dan memperkenalkan kebudayaan keraton, yang sudah ada di Indonesia selama lebih dari 300 tahun, kepada masyarakat luas.
Upaya Pelestarian Budaya
Berbagai upaya dilakukannya untuk melestarikan dan memperkenalkan seni budaya keraton, salah satunya dengan melaksanakan pentas tarian keraton yang diiringi permainan musik gamelan Jawa.
Berdasarkan data dari panitia Fukuoka Prize, hingga saat ini, Ketua Lembaga Dewan Adat Keraton Surakarta itu telah melaksanakan lebih dari 20 pentas seni tari tradisional keraton di tingkat nasional maupun internasional.
"Saya tampil di tingkat internasional pertama saat umur 24 tahun pada Pentas Tarian Keraton Surakarta di Jepang, Eropa, dan Amerika," ujarnya.
Beberapa pentas tari keraton disajikannya dalam festival-festival internasional, antara lain Asia Art Festival di Hong Kong, Next Wave Festival di Amerika Serikat, Quartiers D'ete Festival di Paris, dan beberapa festival internasional lainnya.
Tidak hanya itu, ia dan pihak Keraton Surakarta juga pernah menggelar "Festival Keraton Nusantara" beberapa kali dari 1995 hingga 2008 di berbagai daerah di Indonesia.
Sang putri keraton itu pun mengenang kembali masa-masa pergumulannya untuk mempelajari, melestarikan, dan mempromosikan kebudayaan keraton Jawa.
"Kalau saya mencoba merefleksi ke masa 45 tahun lalu ketika saya mulai belajar menari, dan saat-saat saya menari dari tahun ke tahun untuk memperkenalkan kebudayaan Jawa dari Keraton Surakarta ke Jepang dan hampir seluruh dunia, tidak pernah terbersit sekalipun bahwa suatu saat akan ada yang memberi penghargaan atas apa yang saya perjuangkan," katanya.
Selain pentas tari, untuk menarik minat masyarakat terhadap kebudayaan keraton, Murtiyah bekerjasama dengan perusahaan rekaman Jepang `King Record¿ untuk merekam dan merilis CD musik gamelan Srimpi Sangapati, yang diwariskan di keraton Jawa sebagai musik rahasia.
Menghadapi Rintangan dan Tantangan
Bagaimanapun, usaha pelestarian dan pengembangan budaya keraton yang dilakukan Murtiyah bukanlah suatu usaha yang tanpa rintangan maupun tantangan.
"Kerajaan Mataram setelah terpecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta mengalami penurunan dan ditambah persoalan arus modernisasi dan globalisasi. Maka saya terus berusaha untuk melestarikan budaya tradisional keraton dan meneruskannya kepada generasi muda," katanya.
Dalam parlemen, sang penari keraton yang juga seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu, bergumul pada administrasi kebudayaan, khususnya pelestarian budaya tradisional.
"Saya ingat saat-saat saya dianggap sebagai orang yang keras kepala karena keinginan kuat memperjuangkan pelestarian budaya keraton. Bahkan, saya juga sempat mengamuk di gedung DPR," ungkapnya.
Tantangan besar lain yang harus dihadapinya adalah meneruskan kebudayaan tradisional keraton serta nilai-nilainya kepada generasi muda.
Untuk itu, Murtiyah membuka Sanggar Kebudayaan Keraton yang mengajarkan hal-hal yang berhubungan dengan budaya keraton, seperti tata bahasa Jawa dan etika kekeratonan, tarian tradisonal keraton, pembuatan gamelan dan wayang, serta acara adat keagamaan.
Menurut dia, pelajaran budaya Jawa yang diajarkan melalui jalur akademis memiliki standar yang berbeda dengan apa yang diwariskan di keraton.
"Berbeda dengan di akademi, di keraton ada kebakuan yang jelas dan tidak dapat diubah-ubah. Oleh sebab itu, kami sebenarnya masih merasa berat karena belum ada dukungan penuh dari pemerintah," ujarnya.
"Maka saya harus tetap konsisten untuk mejaga sumbernya, yaitu dari keraton," tambahnya.(*/T007)
Pelestarian Budaya Bagi Sang Putri Keraton
Senin, 5 November 2012 19:00 WIB