Jakarta (ANTARA) - Direktur Pusat Kelaikan Keselamatan Terbang dan Kerja TNI Angkatan Udara Marsekal Pertama (Marsma) Fachri Adamy membenarkan adanya dana komando (dako) yang diambil dari anggaran pengadaan helikopter angkut AgustaWestland (AW) 101 di TNI Angkatan Udara.
"Saya tahu Wisnu mengembalikan senilai itu pada saat di POM TNI sebelumnya saya tidak tahu. Saya bilang kenapa angkanya segitu? Dia bilang nya ya lebih kurang segitu saya sudah kembalikan ke saudara Irfan," kata Fachri dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Marsma Fachri Adamy menjadi saksi untuk Direktur PT. Diratama Jaya Mandiri John Irfan Kenway alias Irfan Kurnia Saleh yang didakwa melakukan korupsi pengadaan helikopter angkut AgustaWestland (AW) 101 di TNI AU angkatan 2016 yang merugikan keuangan negara senilai Rp738,9 miliar.
Saat pengadaan heli AW 101, Fachri menjabat sebagai Kepala Dinas Pengadaan Angkatan Udara (KADISADA AU) sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) periode 20 Juni 2016 sampai 2 Februari 2017. Dalam dakwaan, Fachri menjadi orang yang menetapkan PT. Diratama Jaya Mandiri sebagai pemenang pengadaan heli AW 101 dan kontrak jual beli senilai Rp738,9 miliar sekaligus menyetujui pembayaran skema 60 persen yaitu Rp436,689 miliar.
Di persidangan, jaksa penuntut umum (JPU) KPK membacakan berita Acara Pemeriksaan (BAP) milik Fachri nomor 17.
"Saksi ditanya, apakah saudara mengetahui mengenai ketentuan pemotongan pembayaran setiap termin yang kemudian disebut dengan dana komando atau dako. Saksi menjawab, 'mengenai dana komnado saya ketahui dari Pekas (Kepala Pemegang Kas) Pusat Letkol Adm Wisnu Wicaksono pada saat akan terjadi pembayaran SPT, besarnya dana komando sebesar 4 persen dari setiap pembayaran termin. Saya tidak tahu atas perintah siapa, bila dihitung besarnya dana komando termin pertama adalah Rp17 miliar. Setahu saya bahwa dana komando tersebut telah dikembalikan Letkol adm Wisnu Wicaksono kepada Irfan Kurnia Saleh, informasi saya ketahui selama proses penyidikan di POM TNI', bagaimana dengan kewajiban 4 persen ini?" tanya jaksa KPK.
"Saya menghitung, mengasumsikan nilai itu dari nilai pembayaran, tapi kalau ditanya apakah saya tahu, saya tidak tahu. Nanti bisa ditanyakan ke saudara Wisnu," ucap Fachri.
"Tadi ketika saksi memberikan persetujuan 60 persen dari Rp700 miliar, sekitar Rp400-an miliar, apakah saksi mengetahui pengembalian Rp17 miliar oleh terdakwa kepada bagian keuangan TNI AU ?" tanya jaksa.
"Tidak tahu juga," ungkap jaksa.
Dalam sidang 31 Oktober 2022, Sigit Suwastono selaku Pekas Mabes TNI AU saat pengadaan heli AW 101 mengatakan ada pengembalian dana Rp8 miliar dan 800 ribu dolar AS pada 16 Mei 2017 ke PT. Diratama Jaya Mandiri dari total dana komando sebesar Rp17,33 miliar yang berasal dari pembayaran termin pertama sebesar 60 persen dari total pembayaran yaitu senilai total Rp436,689 miliar.
"Sigit bilang saudara dapat duit juga sebagai PPK?" tanya jaksa.
"Saya tidak pernah bertemu Sigit untuk menyerahkan uang kepada saya," jawab Fachri.
"Setelah 60 persen, saksi melakukan pembayaran lagi untuk termin yang ke berapa?" tanya jaksa.
"Setahu saya, pembayaran yang saya lakukan tahap pertama dan kedua. Kemudian jadi permasalahan, dan kegiatan ini terjadi lintas tahun karena 29 Mei 2017 berakhirnya sehingga berlaku aturan Perpang (peraturan panglima) No. 23 yaitu pekerjaan yang belum selesai lintas tahun anggarannya diletakkan di rekening bersama senilai Rp139 miliar yang diblokir sama KPK. Padahal Kasau melalui Wakasau sudah menjelaskan tentang kronologis, saya nggak tau kenapa itu masih dipermasalahkan," jelas Fachri.
Menurut Fachri, Heli AW 101 sudah datang pada 29 Januari 2017, namun tidak langsung serah terima.
"Belum serah terima karena kontrak belum selesai, nah saudara Gatot Nurmantyo itu dengan timnya menyatakan ini bermasalah dan helikopter itu 'dipolice line', dan tidak ada seorang pun yang mengaku siapa yang 'mempolice line' sehingga helikopter itu tidak bisa dilakukan pemeliharaan," ungkap Fachri.
Gatot Nurmantyo yang dimaksud Fachri adalah Panglima TNI masa jabatan 8 Juli 2015–8 Desember 2017.
"Helikopter ini kan berbeda Pak dari beli mobil atau motor, semakin tidak dipelihara timbul kerusakan lain, sehingga hari ini untuk menghidupkannya negara harus mengeluarkan biaya lagi," ungkap Fachri.
JPU KPK mendakwakan pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 jo pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.