Oleh I Ketut Sutika
Denpasar (Antara Bali) - Bali dan Indonesia umumnya menghadapi masalah tingginya pemakaian antibiotik yang tidak rasional sehingga resisten bagi pasien.
Dokter dalam penggunaan antibiotik terhadap pasien perlu lebih bijak menghindari ha-hal yang tidak diinginkan itu, tutur Kepala Bagian/SMF Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Dr dr I Dewa Made Sukrama, Sp.MK(K).
Irasionalitas sangat merugikan pasien secara ekonomis maupun kesehatan sehingga kini diperlukan gerakan pengendalian penggunaan antibiotik oleh kalangan dokter, klinik dan rumah sakit.
Perhimpunan Ahli Mikrobiologi Klinik Indonesia (PAMKI) mengingatkan, tingkat resistensi pemakaian obat antibiotik untuk membantu penyembuhan berbagai penyakit semakin tinggi, sehingga menjadi masalah yang cukup serius untuk disikapi bersama.
Hal itu akibat berbagai jenis antibiotik sudah tidak mempan (resisten) lagi, sehingga penggunaannya perlu diatur dan dikendalikan.
Dewa Made Sukrama, Sp.MK yang dipercaya sebagai Ketua Pelaksana Kongres Nasional PAMKI di sela-sela meninjau persiapan tempat kegiatan tersebut yang pembukaannya dilaksanakan di Kartika Plaza Discovery Hotel di Kuta, bersamaan dengan Pertemuan ke-13 Jaringan Industri Vaksin Negara Berkembang (DCVMN) pada 31 Oktober-2 November 2012.
Sekretaris Perusahaan PT Bio Farma (Persero) Rahman Rustam yang juga selaku Ketua Penyelenggara DCVMN mengingatkan, pemakaian antibiotik dengan dosis yang terus ditingkatkan dapat merugikan secara ekonomis maupun kesehatan pasien.
Kondisi yang demikian cenderung terjadi sehingga Indonesia menghadapi masalah tingginya pemakaian antibiotik yang tidak rasional yang mengakibatkan jenis obat itu menjadi resisten.
Permasalahan itu semakin serius, akibat tingginya pemakaian antibiotik.
Ia menyambut baik upaya PAMKI memasukkan masalah penggunaan antibiotik yang berlebihan dalam agenda pembahasan kongres bersamaan dengan pertemuan jaringan industri vaksin di negara-negara berkembang.
Dokter, rumah sakit, klinik dan pihak lain diharapkan mulai memilih menggunakan vaksin yang bersifat mencegah timbulnya penyakit. Tindakan itu akan lebih efektif dalam membangun dan meningkatkan derajat kesehatan.
Hasil riset
Rahman Rustam menjelaskan, Bio Farma merupakan satu-satunya industri vaksin di Indonesia dan produksinya sudah mendapat pengakuan dunia internasional. Di China dan beberapa negara lainnya banyak usaha industri vaksin, namun belum mendapat pengakuan dunia.
Pihaknya sangat mendorong rumah sakit, klinik dan para dokter, mulai mengalihkan ke pemakaian vaksin yang bersifat mencegah timbulnya penyakit.
Melalui Pertemuan ke-13 Jaringan Industri Vaksin Negara-Negara Berkembang (Developing Countries Voccine Manufacturers Network-DCMN) diharapkan mampu meningkatkan ketersediaan dan kualitas vaksin yang diproduksi negara berkembang, sekaligus mewujudkan masyarakat yang sehat.
PT Bio Farma (Persero) mendapat kepercayaan sebagai tuan rumah pertemuan bertaraf internasional yang melibatkan ratusan peserta dari 14 negara.
Negara yang ikut ambil bagian dalam kegiatan tersebut antara lain Bangladesh, Argentina, Brazil, Kuba, Mesir, India, Iran, Meksiko, China, Korea Selatan, Afrika Selatan dan tuan rumah Indonesia.
Dalam pertemuan selama tiga hari itu Indonesia diharapkan bisa menjadi mitra khususnya untuk negara berkembang, dalam melakukan penelitian dan pengembangan vaksin baru.
Biro Farma sebgai satu-satunya produsen vaksin dari tanah air berharap, Indonesia bisa menjadi hubungan (pusat) untuk penelitian dan pengembangan vaksin, serta berperan sebagai mitra untuk penelitian vaksin baru bagi negara berkembang.
Pertemuan ke-13 DCMN bertujuan untuk memerangi penyebaran penyakit menular yang masih mewabah di sejumlah negara berkembang.
Upaya itu dilakukan dengan meningkatkan kapasitas dan kualitas vaksin, sekaligus memantapkan penelitian dan pengembangan vaksin sesuai kebutuhan pasar.
Selain itu mendorong produksi dan distribusi vaksin berkualitas tinggi secara efektif dalam jangka panjang untuk memenuhi target dari program imunisasi nasional bagi negara-negara berkembang, tutur M. Rahman Rustan.(*/ADT/T007)
Pengendalian Antibiotik Tak Rasional
Kamis, 25 Oktober 2012 14:18 WIB