Denpasar (Antara Bali) - Usaha ternak babi secara tradisional yang dikelola warga di Bali akan selalu pasang-surut, seperti kondisi belakangan ini seiring berkembangnya populasi hewan tersebut yang diperkirakan melebihi kebutuhan.
"Usaha ternak tersebut oleh masyarakat yang umumnya per keluarga hanya beberapa ekor, sudah banyak yang dijual atau dikurangi karena harganya terus turun," kata I Ketut Suwarno, salah seorang pengusaha pembibitan ternak babi di Desa Pengotan, Kecamatan/Kabupaten Bangli, sekitar 55 kilometer dari Denpasar, Senin.
Kepada ANTARA yang mengunjungi pusat pembibitan ternak babi dengan 120 induk itu, disebutkan bahwa peternak tradisional akan berhitung merugi ketika harga hewan tersebut turun, mengingat biaya pakan babi cukup besar.
Ketut Suwarno yang biasa disapa Gatot, yang mengembangkan usahanya bermitra dengan PT Karya Prospek Satwa (KPS), menjelaskan bahwa seekor babi memerlukan pakan minimal dua kilogram per hari, sedangkan yang sedang menyusui sampai enam Kg.
"Di saat harga ternak dan daging babi turun, warga yang memiliki sambilan usaha tersebut tentu akan berhitung, berapa biaya pakan hingga tiga-enam bulan atau hewan itu sampai bisa dijual. Demikian pula biaya pakan babi induk akan sangat mahal," ujarnya.
Di saat seperti itu, katanya, maka peternak tradisional memilih untuk sementara tidak membeli bibit anak babi (kucit) berusia sebulan yang harganya rata-rata Rp500 ribu/ekor. Akibatnya, beberapa bulan kemudian populasi babi berkurang dan harganya naik.
"Peluang harga naik itu akan dinikmati pengusaha ternak skala besar yang mampu bertahan di saat harga babi turun. Saat harga naik itulah peternak tradisional biasanya kembali berupaya membeli kucit dan nantinya populasi ternak kembali melimpah diikuti penurunan harga," ujar Gatot.(T007)