Oleh I Ketut Sutika
Hampir setiap banjar atau desa adat di delapan kabupaten dan satu kota di Bali memiliki perangkat gamelan dan sekaa atau kelompok kesenian, meskipun fungsinya lebih mementingkan untuk mengiringi kegiatan ritual, budaya dan adat.
Di setiap dusun ada puluhan hingga ratusan seniman tabuh dan penari aneka jenis kesenian tradisional, yang secara otomatis akan beralih dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Oleh sebab itu perlu ada kepedulian dan ketulusan dari seniman untuk mendidik kader penerus, sehingga seni budaya Bali tetap utuh dan lestari, sekaligus menjadi salah satu daya tarik wisatawan.
Pemerintah Provinsi Bali setiap menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) yang kali ini ke-54 dan puncaknya jatuh 14 Agustus 2012, memberikan penghargaan Dharma Kusuma, penghargaan tertinggi dalam bidang seni kepada mereka yang mempunyai prestasi menonjol, dedikasi dan pengabdian dalam bidang seni.
I Made Giri (70), pria kelahiran Banjar Apuan, Desa Apuan, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, 24 Desember 1942, salah satu di antara 14 seniman yang memperoleh penghargaan Dharma Kusuma.
Penghargaan berupa satya lencana emas 20 gram dan yang tunai Rp8 juta diserahkan Gubernur Bali Made Mangku Pastika dan Wagub AAN Puspayoga kepada seniman yang mempunyai prestasi menonjol, pernah mengalami kejayaan pada masanya.
Sosok I Made Giri senantiasa mendapat pesanan pentas, dalam kaitan untuk kelengkapan pelaksanaan upacara keagamaan umat Hindu di berbagai tempat di Bali yang dilakoninya dengan senang hati dan ikhlas.
Kehidupan sosok pria sederhana itu tidak bisa dipisahkan dengan seni, khususnya, dalang, gender dan wayang kulit yang digelutinya sejak usia 15 tahun atau tahun 1957 hingga sekarang, atau dalam kurun waktu setengah abad lebih.
Suami dari Ni Wayan Satra itu pernah belajar memainkan wayang dari Pan Meja (alm ) di Sading, Kabupaten Badung, hingga akhirnya memiliki keahlian khusus memainkan wayang maupun instrumen gender untuk mengiringi pementasan wayang kulit.
Keterampilan sebagai dalang wayang kulit yang diwarisi itu mengantarkan dirinya mampu pentas menghibur masyarakat di berbagai desa di wilayah Kabupaten Tabanan, daerah gudang beras di Bali.
Seniman dalang wayang kulit yang digelutinya selama 55 tahun hingga sekarang itu pernah meraih prestasi gemilang, sehingga mendapat penghargaan dari Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan Kabupaten Tabanan.
Ayah dari Ni Wayan Rasianti S.Sn, I Ketut Mertana S.Sn, I Wayan Berata Sena dan I Made Gunawan S.Sn pernah tampil di berbagai tempat.
Ngayah
I Nyoman Giri, ayah dari empat putra-putri yang seluruhnya mewarisi darah seni setelah mematangkan kemampuannya sebagai dalang wayang kulit sejak tahun 1957 melakukan pementasan hingga sekarang, sehingga memiliki pengalaman pentas yang sangat banyak.
Proses berkesenian yang digeluti pria yang tampak sehat bugar pada usia senja itu erat kaitan dengan bekerja secara iklas (ngayah) di sejumlah desa adat maupun pura saat berlangsungnya kegiatan ritual.
Sosok pria sederhana itu mengaku, menekuni profesi dalang wayang kulit sebagai kegiatan sosial untuk membantu sesama warga dalam menyukseskan pelaksanaan kegiataan ritual.
Pria yang sepenuhnya mengabdikan diri dalam bidang seni itu, dengan senang hati membina dan melatih anak-anak muda atau siapa saja yang berminat menjadi dalang untuk mengikuti jejaknya.
Ia dengan senang hati mendidik, melatih dan memberikan ilmu serta pengalaman yang dimiliki kepada anak binaannya, termasuk keempat putra-putrinya dengan harapan mampu mewarisi dan melanjutkan upaya pengembangan dan pelestarian seni budaya Bali.(*/T007)
Made Giri Ikhlas Wariskan Seni Mendalang
Minggu, 26 Agustus 2012 18:09 WIB