Jakarta (ANTARA) - Lebih sembilan bulan pandemi virus corona telah "menyeret" banyak hal ke ruang digital, pembatasan dan pelarangan perjalanan telah menciptakan destinasi baru dalam industri pariwisata, yakni wisata virtual.
Lahir dengan istilah virtual tourism, tujuan wisata baru ini didefinisikan sebagai konsep hibrida yang menggabungkan gagasan dan teknologi realitas virtual (VR) dengan pariwisata.
Intinya, pariwisata virtual memfasilitasi pengalaman wisata tanpa Anda harus bepergian ke mana pun berkat bantuan teknologi digital. Ini bukan hal yang baru sebenarnya, cuma belakangan berkembang pesat ketika pandemi "memaksa".
Dalam industri pariwisata, awalnya VR banyak digunakan sebagai perangkat promosi. Organisasi manajemen destinasi/Destination Management Organisations (DMOs), operator tur, dan atraksi-atraksi turis telah menggunakan VR sebagai sarana promosi, sembari berharap cara ini akan memikat wisatawan dan membawa bisnis baru.
Pada fase selanjutnya, cara baru berwisata ini berkembang menjadi sarana untuk meningkatkan pengalaman baru turis dalam berwisata. Dari pengenalan wahana 5D di taman hiburan hingga aktivitas sensorik yang diimplementasikan di museum, berbagai tempat wisata telah meningkatkan kepuasan pengunjung dengan pariwisata virtual.
Kini, sejak pandemi COVID-19 merebak luas sepanjang 2020, wisata virtual yang memanfaatkan teknologi VR telah beranjak ke fase lebih tinggi lagi. Wisata virtual telah menggantikan tur fisik sebagai akibat dari penguncian dan karantina wilayah di berbagai belahan dunia.
Pembatasan sosial dan larangan bepergian lintas wilayah mendorong orang-orang beralih ke wisata virtual, dan pengalaman baru ini semakin banyak diadopsi oleh pengelola destinasi wisata di dunia maupun swasta yang melihat peluang bisnis baru ini.
Wisata virtual sekarang bahkan memungkinkan Anda melakukan petualangan mustahil melalui sarana virtual. Orang yang tidak punya cukup uang untuk terbang ke Italia secara fisik, sekarang bisa mengunjungi menara Pisa dari sofa di rumahnya.
Atau, orang yang tidak punya kemampuan berenang kini bisa melakukan penyelaman laut dalam tanpa menyentuh air, terbang di atas kota favorit, mendaki puncak Everest, bahkan berjalan di bulan.
Tantangan baru
Wisata virtual yang menyuguhkan pengalaman virtual/virtual experience (VE) dan realitas virtual (VR) yang berkembang pesat, jelas menjadi tantangan baru bagi pariwisata Indonesia. Tantangan yang tentu juga membawa peluang baru di sana.
Wisata virtual tidak saja membawa implikasi pada meningkatnya pengalaman orang dalam berwisata, melakukan hal yang mustahil bisa dilakukan di dunia fisik, tapi juga pertimbangan biaya bakal menjadi alasan orang melakukan hal itu.
Bisa dibayangkan, bagaimana jika nanti orang-orang lebih suka berwisata virtual ketimbang fisik, atau setidaknya banyak yang mengurangi wisata fisik dengan pertimbangan biaya. Ini yang harus dijawab dan dicermati karena devisa pariwisata mengalir lantaran kunjungan fisik.
Belum lagi, penghidupan bagi masyarakat di sekitar destinasi wisata yang biasanya mendapatkan keuntungan dari belanja para turis, baik ketika mereka makan, menginap, beli baju atau pakaian, hingga membeli gelang yang harganya hanya 5 ribuan rupiah.
Ya, ini bentuk disrupsi lain akibat perkembangan teknologi, selain fintech di industri keuangan, layanan online angkutan di industri transportasi, marketplace yang memanjakan orang berbelanja dari rumah dan "melumpuhkan" toko offline, serta banyak lagi.
Tantangan-tantangan ini lah yang harus segera dipelajari dan dijawab oleh para pelaku industri pariwisata di Indonesia, juga oleh pemerintah, demi menjaga salah satu pundi devisa selain mata pencaharian bagi warga, UMKM, dan bisnis lokal di sekitar tujuan wisata.
Pandami virus corona membuat sektor pariwisata dunia terpuruk, dan Indonesia--melalui Kemenparekraf--mencatat hanya 160 ribu wisman berkunjung pada Januari-April 2020, sementara periode sama 2019 mencapai 1,3 juta orang.
Bappenas memproyeksikan sektor pariwisata Indonesia akan kehilangan 12 juta wisatawan secara tahun ke tahun, sedangkan devisa yang hilang sebesar 15 miliar dolar atau sekira Rp219 triliun pada 2020 akibat pandemi.
Kelebihan dan kekurangan
Kita memang tidak perlu khawatir berlebihan dengan perkembangan pesat wisata virtual meskipun tetap harus diantisipasi dengan baik oleh pelaku industri di dalam negeri. Di samping kelebihannya yang cukup besar, sisi kekurangan wisata virtual dipercaya juga menjadi faktor bahwa cara baru ini tidak akan menggantikan cita rasa tur fisik dikaitkan dengan kodrat manusia sebagai makluk sosial.
Wisata virtual sudah pasti berdampak positif bagi lingkungan lantaran mengurangi dampak buruk akibat emisi CO2 karena orang-orang tidak perlu naik pesawat atau kendaraan bermotor untuk mencapai tujuan wisata.
Pengalaman virtual yang ditawarkan juga menyediakan kebebasan dan fleksibilitas lebih dibanding tur fisik. Anda bisa pergi ke Afrika menikmati wisata safari alam dalam "sekejap" tanpa harus beranjak dari sofa dengan tetap mengenakan piyama.
Kemudian, selain berbiaya murah, wisata virtual juga diyakini banyak kalangan bakal menjadi stimulus tur fisik. Jadi, tidak akan serta merta "mematikan" wisata fisik tapi justru akan mendorong orang mengunjungi tempat tertentu setelah mereka menjelajahinya melalui pengalaman virtual.
Yang perlu dicatat juga, bahwa wisata virtual kenyataannya sejauh ini tidak bisa diakses oleh semua orang karena tidak semua orang memiliki akses ke perangkat digital dan koneksi internet yang memadai.
Dengan kenyataan bahwa benefit ekonomi adalah alasan utama pariwisata di kembangkan di banyak wilayah, maka banyak negara tetap akan mendorong wisata fisik untuk menghasilkan banyak manfaat ekonomi bagi bangsa. Jadi, kita tidak sendirian.
Terakhir, adalah fakta bahwa wisata virtual memiliki interaksi sosial yang terbatas. Meskipun akan berkembang penciptaan wisata virtual dengan fitur lengkap interaksi antarturis di dalamnya yang diwakili dengan avatar Anda di ruang digital, interaksi fisik tetap tidak tergantikan secara sempurna oleh teknologi.
Bertolak dari kelebihan dan kekurangan wisata virtual tadi, pelaku industri pariwisata di Indonesia hendaknya tetap optimistis bahwa teknologi akan menjadi pelengkap yang menguntungkan bagi semua pihak.
Tanpa abai dan tetap mengantisipasi serta mengadopsi perkembangan teknologi yang semakin bergerak cepat, industri pariwisata Indonesia harus tetap tumbuh, bangkit terutama pascapandemi nanti, serta memberikan banyak keuntungan bagi negara dan bangsa.