Beijing (ANTARA) - Tujuh puluh tahun bukan waktu yang pendek bagi Indonesia dan China untuk membangun hubungan saling pengertian, apalagi keduanya pernah putus sebelum akhirnya jalinan itu tersambung kembali.
Hubungan antar-pemerintah kedua negara dewasa ini juga makin erat. Gelombang pandemi yang tidak tahu sampai kapan berakhirnya itu justru makin menguatkan jalinan kedua negara.
Isu-isu politik global, krisis kawasan, persaingan ekonomi, gap perdagangan, dan masalah ketenagakerjaan boleh dibilang selesai di tingkat elite.
Namun untuk tingkat bawah, terutama di level akar rumput, hubungan Indonesia dengan China masih banyak menghadapi hambatan.
Komunisme adalah salah satu isu penting yang membuat hubungan kedua negara tidak berjalan mulus. Komunis merupakan partai berkuasa sejak Republik Rakyat China lahir pada tahun 1949. Di lain pihak, komunis telah menjadi sejarah kelam bagi bangsa Indonesia sampai diputuskan sebagai partai terlarang.
Masyarakat di level akar rumput tidak teredukasi dengan baik adanya beberapa perbedaan antara komunis di China dan di Indonesia.
Bagi masyarakat di level ini tidak ada pintu maaf bagi komunis. Inilah yang menjadikan salah satu penghambat terbesar hubungan Indonesia dengan China yang merupakan satu-satunya negara komunis terkuat di dunia.
Namun, yang tidak kalah pentingnya dalam konstelasi hubungan antara Indonesia dengan China adalah isu Xinjiang.
Xinjiang dan Komunisme masih menjadi batu sandungan dalam hubungan antarmasyarakat Indonesia dan China, demikian pernyataan Yenny Wahid dari Wahid Institute saat berbicara dalam Webinar Islam, Indonesia, dan China: Analisis Peningkatan Potensi People to People Connectivity Antara Indonesia dan Tiongkok (Perspektif Elite Muslim Indonesia) pada Jumat (22/1/2021).
Sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, wajar jika Xinjiang yang dihuni oleh etnis minoritas Muslim Uighur selalu menjadi perhatian sampai saat ini.
Penindasan, kamp konsentrasi, kerja paksa, pembatasan aktivitas keagamaan, dan isu-isu yang berkaitan dengan hak asasi manusia di Xinjiang terus bergema hingga saat ini meskipun pemerintah pusat China di Beijing dan Pemerintah Daerah Otonomi Xinjiang berkali-kali pula menanggapi dan membantah tuduhan-tuduhan itu.
Kendatipun ratusan tokoh agama dan jurnalis dari Indonesia sudah pernah didatangkan ke Xinjiang, isu atas dugaan pelanggaran HAM rezim Komunis China terhadap etnis Uighur tak pernah padam dan terus berkobar hingga sekarang.
Apalagi berbagai pengamat juga telah meramalkan bahwa Amerika Serikat di bawah kepemimpinan presiden baru Joe Biden dan negara-negara Barat masih akan terus memainkan isu Xinjiang dalam menghadapi ancaman hegemoni China pada masa-masa yang akan datang.
Oleh karena itu, isu Xinjiang tidak akan ada matinya dan tidak akan pula kehilangan momentumnya sampai kapan pun.
Maka dari itu pula, wajar jika Yenny yang merupakan putri mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menganggap isu Xinjiang masih menjadi batu sandungan kemitraan Indonesia dengan China selain isu Komunisme itu sendiri.
Faktor Cheng Ho
Indonesia dan China merupakan dua negara yang terikat satu sama lain oleh catatan sejarah yang berlangsung sejak dulu kala.
Pendaratan Laksamana Cheng Ho dan armadanya pada abad ke-15 di Lasem, Jawa Tengah, menjadi tonggak sejarah hubungan Indonesia dan China yang terus dikenang hingga saat ini.
Jalur sutera maritim modern yang dimodifikasi oleh Presiden Xi Jinping menjadi Belt and Road Initiatives (BRI) juga terinspirasi oleh perjalanan Cheng Ho, pelaut Muslim di era Dinasti Ming.
Cheng Ho atau yang dikenal di China dengan nama Zheng He tidak saja mendekatkan China dengan Indonesia yang terpisah oleh samudera nan luas, melainkan juga membangun optimisme hubungan antar-masyarakat kedua negara.
"Peran Cheng Ho sangat penting dalam menyeimbangkan hubungan Indonesia dan China. Belum lagi dengan Wali Songo, seperti Sunan Gunung Jati yang beristrikan seorang perempuan Tionghoa," kata Konselor Politik Kedutaan RI di Jakarta Qui Xin Li.
Ketika nama Cheng Ho disebut-sebut dalam webinar yang diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri RI dan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya itu, Wakil Ketua Asosiasi Islam China (CIA) Jin Rubin merasa bangga.
"Saya bangga karena saya berasal dari kampung halaman Zheng He di Yunnan (provinsi di wilayah baratdaya China)," ujar anggota Kongres Rakyat Nasional (NPC) atau semacam DPR dari elemen Islam itu.
Selain faktor sejarah, hubungan China dengan Indonesia dalam pertukaran tokoh-tokoh agama sudah berlangsung sangat lama.
Mulai Presiden Gus Dur yang pernah berkunjung ke Masjid Niujie, Beijing, pada tahun 2000. Diikuti kunjungan yang sama yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi Forum BRI pada tahun 2017.
Lalu sejumlah pengurus CIA yang berkunjung ke Indonesia dan tokoh-tokoh organisasi Islam Indonesia, seperti Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah yang berkunjung ke China menjadi catatan positif bagi terjalinnya hubungan antar-masyarakat kedua negara.
"Muslim di China selalu menganggap bahwa Indonesia adalah saudara. Sekalipun China dan Indonesia terpisah oleh lautan, kita bisa bersama," kata Jin Rubin yang nama muslimnya adalah Abdul Amin.
Yenny Wahid dalam kesempatan tersebut kembali menyatakan bahwa Islam sangat mungkin menjadi perekat hubungan, meskipun kedua negara besar di Asia itu memiliki ideologi yang berbeda.
"Agama bukanlah satu identitas setiap negara. Kami yakin Islam bisa menjadi mediator hubungan antara Indonesia dan China," ujarnya.
Sementara itu, Duta Besar RI untuk China Djauhari Oratmangun merasa keberadaan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Tingkok dan Pengurus Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Tingkok sangat berperan signifikan dalam menjembatani hubungan kedua negara melalui komunitas muslim.
Para pelajar Indonesia di China dari kedua ormas keagamaan terbesar di Indonesia itu juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam pertukaran masyarakat kedua negara di bidang pendidikan.
"Inilah kiranya yang disebut dengan Islam rahmatan lil 'alamin," ujarnya saat menjadi pembicara kunci dalam Webinar yang diikutinya dari ruang rapat utama Kedutaan Besar RI di Beijing itu. (T.M038)