Jakarta (ANTARA) - Presiden Joko Widodo mengaku tidak ingin membiarkan ruang-ruang kosong, termasuk di media sosial, diisi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dengan kabar bohong atau hoaks, sebaliknya mengajak semua pihak mengisi pemberitaan di media sosial dengan keteduhan.
Dalam acara Peresmian Pembukaan Muktamar IX Partai Persatuan Pembangunan Tahun 2020 di Ruang Garuda Istana Kepresidenan Bogor, Jumat malam, Presiden Jokowi mengatakan pemanfaatan infrastruktur untuk hal-hal positif harus diaktifkan agar ruang-ruang tersebut tak diisi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
"Kita harus isi pemberitaan media sosial dengan keteduhan, kesejukan, dan kita juga harus klarifikasi berita tidak benar, berita hoaks," tutur Presiden.
Baca juga: Anggota DPR: Hoaks dan propaganda pecah belah bangsa
Ia menegaskan pentingnya untuk menutup ruang bagi informasi negatif, misalnya, berupa ujaran kebencian. "Untuk kita saling menghormati dan menghargai sesama anak bangsa, sebagai saudara sebangsa Setanah Air," ujarnya.
Pada kesempatan itu, Presiden Jokowi juga mengatakan lembaga pendidikan baik umum maupun pesantren yang tersebar di seluruh Tanah Air mencapai 28.000 lembaga.
Menurut dia, semua pihak harus saling berbagi dan bekerja sama untuk memperkokoh fondasi Pancasila di kalangan siswa dan santri. "Untuk memperluas pengetahuan dan meningkatkan keterampilan agar siswa dan santri mempunyai karakter ke-Indonesia-an yang kuat," katanya.
Harus tegas
Anggota Komisi IX DPR Arzeti Bilbina meminta Kementerian Komunikasi dan Informasi terus memberikan tindakan tegas terhadap penyebar-penyebar hoaks.
Dalam rilisnya di Jakarta, Selasa, Arzeti Bilbina mengatakan bahwai sekarang ini banyak situs abal-abal yang ironisnya berita atau foto yang disebar media abal-abal di media sosial bisa viral meski isinya tidak berdasar. "Sudah semestinya pemerintah punya sistem yang kuat, jangan dipermudah para pelaku untuk menyebarkan hoaks. Dengan sistem tersebut, Kominfo harusnya bisa melacak dan mematikan gadget para pelaku penyebar hoaks," katanya.
Arzeti yakin bukan perkara sulit melakukan itu. Ia mencontohkan di Tiongkok, masyarakatnya bahkan tidak diberi ruang atau keleluasaan menggunakan media sosial, apalagi untuk kepentingan menyebarkan hoaks. "Pemerintah harus mulai keras dan tegas untuk memerangi hoaks tersebut," katanya lagi.
Baca juga: Hoaks, BIN menyusup ke pesantren untuk habisi Rizieq Shihab
Seminggu terakhir atau setelah pilkada, 9 Desember, informasi bohong bertebaran di media sosial. Organisasi pemerintah, Presiden Joko Widodo dan keluarga termasuk menjadi sasaran penyebar hoaks. Misalnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) disebut menyertifikasi halal kondom. MUI tegas membantah informasi tersebut. Foto dan video yang diklaim sebagai penembakan polisi kepada anggota Front Pembela Islam (FPI) juga bertebaran.
Arzeti Bilbina juga menekankan pentingnya masyarakat menyaring informasi di media sosial. sebab medsos banyak dimanfaatkan pihak yang tak bertanggung jawab untuk menyebarkan berita palsu atau hoaks. "Sebaiknya disaring dahulu, cek kebenaran berita tersebut," kata Arzeti.
Menurut dia, keberadaan media sosial yang menjadi akses bagi penyebar hoaks dan radikalisme, akhir-akhir ini sudah sangat mengkhawatirkan. Mereka sengaja membuat berita bohong untuk propanganda yang tujuannya menciptakan suasana tidak kondusif, bahkan bisa mengancam disintegrasi bangsa.