Jakarta (ANTARA) - Pemberlakuan syarat kunjungan ke Bali dan pelarangan perayaan malam tahun baru membuat pelaku di sektor pariwisata terdampak. Mulai dari terjadinya gelombang penggantian jadwal (reschedule) hingga pembatalan (cancellation).
Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Penjual Tiket Penerbangan Indonesia (ASTINDO) Anton Sumarli mengatakan, terdapat efek domino bagi para pelaku di sektor pariwisata, mulai dari agen perjalanan (travel agent), restoran, hingga pemandu wisata (tour guide).
"Satu hari sejak keputusan tersebut, sudah terjadi gelombang pembatalan (perjalanan ke Bali). Efeknya besar sekali, seperti domino. Bukan cuma ke travel agent, tapi juga ke restoran, hotel, transportasi, hingga tour guide," kata Anton kepada ANTARA, Rabu.
"Teman-teman yang mulanya senang karena ada pekerjaan lagi, mau tidak mau harus menghadapi cancellation seperti ini. Tak sedikit juga yang rugi karena ada cost yang sudah dideposit dan sebagainya, dan tidak bisa balik," imbuhnya.
Baca juga: Bali wajibkan uji usap untuk turis gunakan transportasi udara saat libur Nataru
Meski demikian, Anton mengatakan pihaknya mendukung keputusan pemerintah mengenai syarat dan larangan yang dibuat untuk menekan penularan COVID-19. Hanya saja, ia berharap pemerintah bisa memberi tahu kebijakan ini jauh lebih awal.
"Hanya saja kok informasinya baru sekarang, tidak di awal. Sekarang sudah tanggal 15-16, dalam arti kita sudah prepare untuk tahun baru. Bukan cuma tamu, tapi travel agent juga ada persiapan untuk paket wisata dan sebagainya," kata Anton.
Saat ini, pihaknya telah menerima gelombang yang menanyakan soal tes usap ke Bali, mengingat Pulau Dewata merupakan salah satu destinasi wisata dengan permintaan tertinggi di Indonesia.
Namun, pertanyaan itu juga dibarengi dengan pertimbangan konsumen mengenai biaya perjalanan yang bisa dibilang menjadi dua kali lipat lebih besar.
Pemerintah sendiri mewajibkan wisatawan yang naik pesawat ke Bali wajib melakukan tes Polymerase Chain Reaction (PCR) pada H-2 atau 48 jam sebelum keberangkatan.
"Biaya tes PCR atau tes swab (usap) memang dihargai sekira Rp900 ribu. Namun, hasilnya akan keluar dalam waktu maksimal tiga hari. Sementara, persyaratan meminta 48 jam, paling tidak untuk yang instan, kita harus menambah biaya sekira Rp300 ribu, totalnya Rp1,2 juta, hampir sama dengan tiket pesawatnya, sehingga double price," jelas Anton.
Harapan untuk pemerintah
Lebih lanjut, Anton mewakili asosiasinya berharap kepada pemerintah untuk lebih matang dalam membuat program dan keputusan, dan bisa diinformasikan dari jauh hari sehingga baik para pelaku dan konsumen memiliki waktu untuk menentukan rencana mereka.
"Sikap kami untuk pemerintah adalah kami mendukung segala kebijakan pemerintah, apalagi dengan kondisi pandemi, kita mendorong agar kasusnya turun dan normal kembali. Hanya saja, kebijakan itu harus terprogram dengan baik dan jangan mendadak," kata Anton.
Sependapat dengan Anton, DPP Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA) Budijanto Ardiansjah berharap pemerintah bisa lebih tegas dan konsisten dalam pengambilan keputusan, terutama untuk akses mobilitas di sektor pariwisata.
"Penetapan aturan yang konsisten. Pemerintah sudah punya tolok ukur seperti apa, dan harus dilakukan lebih baik, jangan ada revisi dan pengulangan lagi secara mendadak agar pelaku dan konsumen tidak kebingungan," kata Budijanto.
"Harusnya tertata lebih baik, seperti misalnya ada masa pelarangan, wisatawan masuk bertahap, dan lainnya. Harus ada satu kepastian dari pemerintah supaya semua pihak bisa mengambil strategi dan langkah selanjutnya untuk pemulihan ekonominya seperti apa," ujarnya menambahkan.
Baca juga: PHRI Denpasar minta petugas tidak "nakal" di pintu masuk Bali
Budijanto melanjutkan, ia dan para pelaku di sektor pariwisata tentu akan mendukung kebijakan pemerintah yang diarahkan untuk mengurangi kerumunan guna menekan angka penularan COVID-19.
"Saya melihat larangan untuk malam tahun baru berlaku di semua daerah termasuk Bali yang dikenal cukup longgar, dan akhirnya bikin aturan untuk larangan ini," kata Budijanto.
"Hanya saja, jangan sampai karena tidak adanya acara juga membuat masyarakat menumpuk di jalanan karena tidak ada acara. Ada rasa kecewa juga di antara para konsumen yang udah berharap beraktivitas di malam tahun baru," imbuhnya.
Ia melanjutkan, "Saya yakin niatnya (pemerintah) baik untuk mencegah kerumunan banyak dan tidak menyebabkan klaster baru."
Syarat kunjungi Pulau Bali jelang akhir tahun
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan pada Selasa (15/12) menuturkan persyaratan yang harus dipenuhi wisatawan untuk dapat mengunjungi Pulau Bali saat libur akhir tahun.
Pelancong yang naik pesawat ke Bali wajib melakukan tes Polymerase Chain Reaction (PCR) pada H-2 sebelum keberangkatan. Wisatawan juga wajib mengisi e-HAC Indonesia sebelum keberangkatan.
Wisatawan yang melakukan perjalanan darat dan laut ke Bali wajib melakukan tes rapid antigen H-2 sebelum keberangkatan. Terpisah, Gubernur Bali Wayan Koster menjelaskan masa berlaku hasil uji swab PCR dan rapid tes antigen itu selama 14 hari.
Luhut juga meminta protokol kesehatan di Bali diperketat. Terutama di tempat peristirahatan (rest area), hotel, dan tempat wisata.
Gubernur Bali Wayan Koster juga melarang penyelenggaraan pesta perayaan tahun baru dan sejenisnya di dalam dan atau di luar ruangan, menggunakan petasan, kembang api, dan sejenisnya serta mabuk minuman keras.
Aturan itu juga mewajibkan setiap orang, pelaku usaha, pengelola, penyelenggara atau penanggung jawab tempat dan fasilitas umum wajib melaksanakan protokol kesehatan selama melaksanakan aktivitas libur Hari Raya Natal dan Tahun Baru 2021.
Koster meminta para pihak terkait agar mengkoordinasikan, mengkomunikasikan, dan mensosialisasikan aturan baru itu.
Dampak sederet syarat kunjungan Natal-Tahun Baru ke Bali bagi pariwisata
Rabu, 16 Desember 2020 16:06 WIB