Jakarta (ANTARA) - Persoalan data pangan kerap menjadi salah satu polemik di Indonesia karena adanya perbedaan dari data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian.
Urgensi membenahi data pangan ini menjadi salah satu fokus bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin dalam satu tahun terakhir. Betapa tidak, data pangan ini menjadi dasar dan referensi bagi pengambilan kebijakan untuk ketahanan pangan nasional.
Dari data pangan ini, Pemerintah dapat mengambil kebijakan untuk impor atau tidaknya komoditas, salah satu yang mendasar adalah bahan pokok masyarakat Indonesia, yakni beras.
Imbas dari perbedaan data ini terjadi pada 2018. Ketika itu, Kementerian Perdagangan memutuskan untuk impor beras karena harga komoditas pangan tersebut yang terus melambung.
Padahal di sisi lain, Kementerian Pertanian sebelumnya menyebutkan bahwa berdasarkan data pangan yang mencakup luas panen sawah, saat itu stok beras masih cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sebesar 2 juta sampai 2,5 juta ton per bulan.
Keputusan pemerintah yang akhirnya mengimpor beras pun dinilai terlambat karena sudah memasuki musim panen raya, yang mengakibatkan tertekannya harga gabah di tingkat petani.
Menteri Pertanian sebelumnya Andi Amran Sulaiman pun mengakui bahwa 92 persen sampel untuk mengolah data lahan sawah yang diambil dari citra satelit melalui skema Kerangka Sampel Area (KSA) tidak akurat.
Di saat-saat terakhir kala melakukan serah terima jabatan dengan penerusnya, Amran Sulaiman meminta Syahrul Yasin Limpo yang kini menjabat Menteri Pertanian, untuk memperbaiki data lahan baku sawah yang menyangkut pada kebijakan distribusi pupuk bersubsidi.
Ketidakakuratan data tersebut berpotensi mengurangi kuota subsidi pupuk hingga 600.000 ton. Dampaknya, produksi komoditas pangan menurun karena petani tidak mendapat jatah pupuk subsidi.
Menteri Syahrul Yasin Limpo pun menjanjikan dalam 100 hari pertamanya menjabat sebagai komandan pertanian, akan membenahi data pangan terlebih dahulu guna memastikan pemetaan pertanian lebih jelas.Verifikasi ulang
Dalam upayanya menyeragamkan data luas baku sawah, Syahrul menyambangi dua pimpinan lembaga yang terlibat dalam struktur data pangan, yakni Kepala BPS Suhariyanto dan Menteri Agraria Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil.
Saat itu, berdasarkan data yang diambil dari citra satelit melalui skema Kerangka Sampel Area (KSA), luas lahan baku sawah Indonesia turun menjadi 7,1 juta hektare, dari 7,75 juta hektare pada 2013.
Kementan bersama sejumlah lembaga lainnya yakni BPS, ATR/BPN, BPPT, LAPAN dan BIG akhirnya bekerja sama melakukan verifikasi ulang terhadap data yang dikeluarkan melalui Ketetapan Menteri ATR/Kepala BPN-RI No 339/2018 tanggal 8 Oktober 2018 tersebut.
Pada Februari 2020 lalu, data luas lahan baku sawah diumumkan oleh Menteri Pertanian bersama Kepala ATR/BPN, Kepala BPS, dan Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Dari hasil verifikasi dan validasi terbaru, luas lahan baku sawah nasional tercatat menjadi 7,46 juta hektare atau bertambah 358.000 hektare, dari ketetapan sebelumnya tahun 2018.
Luas lahan baku sawah terbaru yang sudah diverifikasi, divalidasi dan telah disinkorinisasikan ini telah disepakati oleh seluruh kementerian/lembaga terkait pada 9 Desember 2019.
Kementerian ATR/BPN pun telah mengonfirmasi data tersebut dengan mengeluarkan Keputusan Menteri/Kepala BPN No.686/SK-PG.03.03/XII/2019 pada tanggal 17 Desember 2019.
Dalam data luas baku sawah terbaru, provinsi dengan luas lahan sawah terbesar, terdapat di Jawa Timur dengan luas 1,21 juta ha; Jawa Tengah 1,04 juta ha; Jawa Barat seluas 928.218 ha; Sulawesi Selatan seluas 654.818 ha dan Sumatra Selatan 470.602 ha.
Sejumlah provinsi yang mengalami penambahan luas baku sawah, yakni Jawa Timur, Lampung, Sulawesi Selatan, Yogyakarta dan Bangka Belitung.
Sementara itu, wilayah yang mengalami penurunan luas lahan baku sawah yang signifikan adalah Kalimantan Selatan, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Aceh, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, Jawa Tengah, Jambi, Sumatra Barat dan Riau.
Penambahan luas sawah ini dinilai kontradiktif dengan kenyataan bahwa pembangunan dalam negeri yang terus berjalan, baik untuk perumahan maupun kawasan bisnis.
Namun demikian, Menteri ATR Sofyan Djalil menegaskan adanya penambahan luas baku sawah ini karena terdapat lahan sawah di sejumlah daerah yang sebelumnya tidak tertangkap oleh citra satelit sebagai lahan sawah karena terdapat genangan.
Ada pun lahan sawah dalam penghitungan luas sawah ini didefinisikan sebagai areal tanah pertanian yang digenangi air secara periodik dan atau terus menerus. Lahan sawah ditanami padi, dan atau diselangi tanaman lain, seperti tebu, tembakau dan tanaman musim lainnya.
"Sawah yang belum terpetakan sebelumnya, jauh lebih besar daripada sawah yang mengalami alih fungsi," kata Sofyan
Data luas baku sawah ini pun akhirnya berdampak pada penambahan alokasi pupuk bersubsidi tahun 2020. Sebelumnya, alokasi pupuk bersubsidi tahun ini turun menjadi 7,94 juta ton dengan nilai Rp26,6 triliun. Jika dibandingkan tahun 2019, alokasi pupuk subsidi mencapai 9,55 juta ton dengan anggaran Rp29 triliun.
Pengurangan alokasi tersebut berdasarkan validasi data lahan baku sawah dari Kementerian ATR versi tahun 2018.
Dengan luas lahan baku sawah terbaru, Kementerian Pertanian pun mengajukan penambahan alokasi pupuk subsidi tahun 2020 sebesar 1 juta ton atau senilai Rp3,1 triliun.
Adanya penambahan alokasi pupuk bersubsidi ini diharapkan mampu menunjang produktivitas petani untuk menambah cadangan produksi beras nasional pada musim tanam Oktober 2020-Maret 2021.
Keseragaman data pangan ini juga menjadi pondasi bagi Pemerintah untuk tidak lagi gegabah dalam menentukan besaran produksi beras, apalagi di tengah pandemi COVID-19 dan bayang-bayang ancaman krisis pangan seperti yang diperingatkan FAO.