Denpasar (ANTARA) - Anggota DPD RI Made Mangku Pastika berpandangan riset yang dilaksanakan perguruan tinggi maupun pemerintah haruslah berdasarkan kebutuhan pasar, sehingga benar-benar berguna dan memberikan manfaat untuk publik.
"Jika tidak berdasarkan pasar, maka riset hanya menjadi sesuatu yang ditumpuk atau di-stok saja," kata Pastika dalam kegiatan penyerapan aspirasi secara virtual bertajuk "Peran Badan Riset Daerah dalam Menunjang Kebijakan Publik Berbasis Data", di Denpasar, Rabu.
Pihaknya juga sependapat bahwa riset itu juga berdasarkan idealisme dari penelitinya karena tanpa idealisme maka akan kehilangan pijakan.
"Namun, realitanya riset itu memerlukan uang dan tidak bisa tidak memakai uang. Uang dari pemerintah memang bisa, tetapi itu tentu tidak banyak. Di samping itu, untuk melakukan riset juga dibutuhkan SDM yang profesional, yang ini tentu ilmu yang dimiliki ada harganya," ucapnya pada acara yang dipandu I Nyoman Wiratmaja itu.
Oleh karena itu, ujar Pastika, peneliti tidak saja berpikir idealisme untuk jangka panjang, tetapi juga harus berpikir praktik jangka pendeknya, yakni melaksanakan riset juga berdasarkan pasar sehingga bisa mendapat pembiayaan dari pihak swasta.
Mantan Gubernur Bali dua periode itu mengatakan dibutuhkan kolaborasi dan sinergi antara pemerintah, perguruan tinggi dan swasta dalam melaksanakan riset sehingga hasil penelitian tersebut menjadi lebih berguna.
"Apalagi pemerintah dalam mengambil kebijakan itu tentu harus berdasarkan data. Kita memiliki SDM yang melimpah di perguruan tinggi, termasuk banyak yang profesional di lingkungan industri dan LSM," ucap anggota Komite 2 DPD RI itu.
Baca juga: Menristek: digital dan kolaborasi penting saat pandemi
Sementara itu, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Udayana Prof Dr Ir I Gede Rai Maya Temaja mengatakan memang riset tidak cukup bermuara pada jurnal, tetapi harus ada produk inovasi dan produk yang terhilirisasi.
Prof Rai mengungkapkan seringkali dana penelitian yang diperoleh kampus itu kecil, tetapi pertanggungjawabannya yang besar.
"Sehingga seringkali peneliti lebih takut kehilangan nota-nota, dibandingkan kehilangan data penelitian. Contohnya saja ketika untuk penelitian harus berhadapan dengan dagang sapi dan dagang babi, tentu mereka tidak memiliki NPWP," ujarnya.
Pihaknya berharap melalui DPD RI dapat mendiskusikan dengan Kementerian Keuangan terkait pertanggungjawaban keuangan yang sedemikian ketat itu.
Dia menambahkan, untuk Tahun 2020 ini karena dalam situasi pandemi, ada pergeseran tema dan dana riset di Universitas Udayana menjadi yang terkait dengan COVID-19, sebagai upaya untuk menjawab permasalahan di masyarakat dan sekaligus sesuai dengan keinginan industri, seperti misalnya penelitian untuk bibit vaksin, handsanitizer, hingga vitamin untuk peningkatan imun tubuh.
"Calon produk inovasi untuk 2020 ini, ada 13 prototype inovasi dan 32 produk inovasi," ucapnya pada kegiatan yang juga menghadirkan Sekretaris Badan Riset dan Inovasi Provinsi Bali I Nyoman Ngurah Subagia itu.
Pihaknya selama ini juga sudah menjalin kerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Daerah Provinsi Bali. Prof Rai berharap agar kerja sama yang terjalin bisa lebih dieratkan.
Sementara itu, Putu Sudiarta dari PT Bamboomedia Cipta Persada mengatakan masyarakat Bali sejauh ini masih kekurangan literasi untuk memanfaatkan data yang ada.
Sudiarta sangat mengharapkan Bali bisa menjadi provinsi pertama yang menghasilkan "big data", yang dihasilkan secara masif, sehingga menjadi input dalam melakukan kebijakan publik.
"Sinergi antara pemerintah, akademisi dan swasta itu sangat penting, sehingga juga ada efisiensi dari sisi anggaran pemerintah untuk melakukan riset. Apalagi selama ini juga seringkali ada mismatch, yakni pemerintah membuat aplikasi, lalu diluncurkan, kemudian selesai dan tidak ada keberlanjutan," ucap Sudiarta.
Pastika: Riset harus berdasarkan kebutuhan agar bermanfaat
Rabu, 21 Oktober 2020 18:23 WIB