Denpasar (ANTARA) - Apa pariwisata sudah dibuka?! Begitulah pertanyaan sejumlah teman dari pelosok Nusantara tentang pariwisata Bali di tengah pandemi COVID-19 yang "mengguncang" pulau itu sejak Maret 2020 hingga batas waktu yang misteri.
Pertanyaan sejumlah teman itu agaknya menandakan mereka sudah jenuh dengan istilah "Work from Home" (Bekerja dari Rumah) dan "Working from Office" (Bekerja dari Kantor) yang selama ini mereka jalani menyertai pandemi COVID-19.
Ya, kebijakan "Normal Baru" sesungguhnya bukanlah pilihan (pilihan normal), karena masyarakat pada umumnya memahami "Normal Baru" sebagai kesempatan beraktivitas secara bebas setelah karantina (WFH) selama hampir tiga bulan, padahal Normal Baru itu bersifat "bebas bersyarat" bagi mereka yang mendesak untuk keluar mencari nafkah dan tetap dengan protokol kesehatan yang ketat.
Namun, pemahaman "bebas" itulah yang dominan di tengah masyarakat, karena itu Gubernur Bali I Wayan Koster mempersiapkan tiga tahapan untuk implementasi protokol kesehatan guna menyambut Normal Baru, karena jika Bali dan pariwisata yang ada tidak dibuka secara hati-hati akan justru mendorong peningkatan pasien positif COVID-19 yang akan "menghancurkan" pariwisata.
Tiga tahapan untuk implementasi protokol kesehatan yang dipersiapkan menyambut Normal Baru itu dimulai dengan tahap pertama pada 9 Juli 2020, sedangkan sektor pariwisata diperkirakan baru digerakkan pada tahap ketiga, atau bahkan sesudahnya dengan protokol kesehatan yang tegas dan ketat untuk kebaikan pariwisata juga.
"Kami berencana kalau situasinya kondusif itu pada 9 Juli, kami akan mulai membuka untuk pergerakan di Bali dalam beberapa sektor, kecuali pendidikan dan pariwisata," ujarnya saat bertemu Menparekraf Wishnutama di Restoran Bebek Tepi Sawah, Ubud, Gianyar, 18 Juni 2020.
Tahap kedua akan dilakukan pada Agustus 2020 dengan catatan apabila pergerakan tahap pertama kondusif dan berhasil, akan dilanjutkan ke tahap kedua untuk wisatawan domestik.
Setelah tahap kedua berhasil berlanjut ke tahap ketiga dengan mulai membuka destinasi bagi wisatawan mancanegara pada September 2020. "Tetapi ini hanya persiapan dan ancang-ancang, bukan jadwal pelaksanaan. Jadi atau tidak tergantung pada perkembangan situasi dan dinamika COVID-19, khususnya perkembangan transmisi lokal di Bali," ujarnya.
Koster menjelaskan hal tersebut sudah sesuai arahan Presiden dan Menparekraf bahwa "reopening" Bali harus dilakukan dengan hati-hati dan tidak tergesa-gesa. "Jangan sampai terjadi pandemi gelombang kedua di Bali, bila kita terburu-buru. Karena itu akan berisiko dan sangat berat bagi kami," katanya.
Dalam pertemuan itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama Kusubandio mengapresiasi kesiapan Pemerintah Provinsi Bali dalam menarik kepercayaan publik di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.
"Sektor pariwisata merupakan bisnis yang mengedepankan kepercayaan sehingga hanya ketika wisatawan percaya saja mereka akan datang, berkunjung dengan aman dan nyaman ke Bali," katanya dalam pertemuan di Restoran Bebek Tepi Sawah, Ubud, Gianyar itu.
Wishnutama menilai Pemprov Bali yang telah siap mengimplementasikan protokol kesehatan di wilayahnya. Namun, ia juga menekankan protokol kesehatan harus dipersiapkan jauh hari agar dapat membangun kepercayaan publik untuk kembali berwisata di Pulau Dewata.
Didampingi Gubernur Bali Wayan Koster, Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, Kapolda Bali Irjen Pol Dr Petrus Reinhard Golose, Dirut ITDC Abdulbar M Mansoer, dan Managing Director The Nusa Dua I Gusti Ngurah Ardita, Wishnutama menegaskan bahwa pariwisata adalah sektor yang sangat bergantung dengan kepercayaan wisatawan terhadap rasa aman dan nyaman.
Oleh karena itu, Menparekraf meninjau kesiapan pariwisata di Pulau Dewata ini dalam rangka menerima turis lokal, domestik, dan internasional, d iantaranya meninjau kesiapan kawasan wisata Nusa Dua dan beberapa rumah sakit. Ia juga meninjau lokasi wisata Tirta Empul di Tampak Siring, kawasan Kintamani, Bangli, dan Garuda Wisnu Kencana (GWK) di Jimbaran.
"Pedoman protokol kesehatan harus dipatuhi dengan ketat agar masa normal baru ini membawa kebaikan bagi semua. Untuk itu, pemerintah daerah yang ingin membuka aktivitas sektor parekraf harus mempersiapkan secara detail, tidak terburu-buru, serta memastikan protokol kesehatan sudah siap diimplementasikan," kata Menparekraf yang datang ke Bali dengan membawa bantuan sembako untuk dibagikan kepada masyarakat pada 26 Juni 2020.
"Working from Bali"
Di tengah kondisi pandemi COVID-19 yang tidak menentu, Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati mengatakan "working from Bali" potensial dikembangkan di Pulau Dewata sebagai salah satu bentuk tujuan wisata baru.
"Pandemi COVID-19 ini adalah momentum yang tepat, pandemi ini menghasilkan kebiasaan-kebiasaan baru, bekerja tidak melulu dari kantor. Bekerja dengan lebih sehat, lebih fresh, tanpa perlu pusing sewa kantor atau berdesakan di lift," kata Wagub yang akrab dipanggil Cok Ace itu saat membuka Webinar series #5 dengan tajuk "Road Map to Bali Next Normal Imagine Working From Bali, Why Not" di Denpasar, 27 Juni 2020.
Dalam webinar yang diikuti peserta dari berbagai "stakeholder" pariwisata dari berbagai negara itu, ia menjelaskan 'working from Bali' atau bekerja dari Bali itu mengingatkan cerita seorang warga negara Prancis yang dalam jangka waktu setahun bisa dua kali berkunjung ke Bali dalam rentang waktu tinggal yang cukup lama.
"Ternyata dia memang sengaja bekerja dari Bali, tinggal di Bali untuk mengurus perusahaannya dengan modal laptop kecil, dan teras vila sederhana di Ubud," ucap Cok Ace.
Dari cerita itu, dia berpandangan "working from Bali" bisa dilakukan. Peluang ini bisa dikembangkan sebagai tujuan wisata baru di Bali, yakni dengan mengembangkan "working space" yang memadai bagi para turis seperti ini.
Menurut Cok Ace, Bali punya modal besar untuk hal tersebut. Pertama, udaranya relatif bersih dengan cuaca yang stabil sepanjang tahun. Lalu, pemandangan memukau, pasir putih, langit biru, merupakan perwujudan "bersih" yang sesungguhnya.
"Bali juga punya sisi kesehatan yang baik, di mana suasananya lebih fresh sehingga pikiran bisa jauh dari stres. Pikiran lebih mudah dikendalikan dan tentunya lebih bermanfaat dalam bekerja secara lebih produktif. Bali juga relatif lebih terjangkau dari segi biaya hidup, dibandingkan negara lain," ujarnya.
Yang tidak kalah penting, lanjut Cok Ace, Bali memiliki vibrasi tersendiri, suatu "healing power" yang diperoleh dari beragam upacara yang dilaksanakan hampir setiap hari. Memberikan ketenangan bagi siapapun.
Dalam aspek keamanan dan kenyamanan, masyarakat Bali sangat terkenal dengan keramahan, hospitality-nya. Orang Bali sangat menerima perbedaan, asalkan tidak menimbulkan ketersinggungan maka akan sangat mudah orang luar untuk nyaman di Bali.
Dari sisi infrastruktur, Bali sedang giat membangun dan menyempurnakan segala akses transportasi baik darat, laut dan udara. Pembangunan juga kini menyasar kawasan Bali utara dan Bali barat, dengan jalan tol serta penyempurnaan bandara dan Pelabuhan. Pelabuhan Benoa misalnya, disiapkan untuk menampung kapal cruise berukuran besar dengan fasilitas memadai.
"Potensi luar biasa ini, sangat berpeluang untuk dikembangkan, dengan menyasar para pekerja yang kini lazim disebut 'digital nomad'. Namun, tentu saja, masih ada beberapa hal lain yang patut disempurnakan seperti akses internet yang lebih cepat dan stabil," ujar pria yang juga Ketua PHRI Bali itu.
Menurutnya beruntung sebagian besar wilayah Bali bukan merupakan "blind spot" sehingga memudahkan akses internet. Bali juga punya program "Bali Smart Island? sehingga di masa mendatang, tidak akan ada lagi kawasan di Bali yang tidak tersentuh akses internet.
Hal itu diakui Dubes Indonesia Untuk China dan Mongolia, Djauhari Oratmangun. "Bali punya modal besar untuk program 'Working from Bali', bahkan sebenarnya sudah sejak lama, banyak wisatawan yang datang untuk bekerja sekaligus berwisata ke Bali. Di China, sudah banyak perusahaan yang melihat Bali sebagai salah satu lokasi untuk 'working space', mulai dari perusahaan IT raksasa hingga e-commerce yang memang sudah memberikan keleluasaan bagi karyawannya untuk bekerja, dari manapun," kata Oratmangun.
Ke depan, perlu internet yang stabil dan cepat serta promosi yang signifikan di negara-negara dengan perusahaan raksasa. "Internet yang stabil dan cepat tentu menjadi modal dasar untuk itu. Tapi, jangan lupakan pula promosi lewat sosial media yang kini punya dampak sangat besar, untuk para pekerja kreatif, desainer, dan mereka yang tidak memerlukan kantor formal," ujarnya.