Denpasar (ANTARA) - Ketua Bidang Ekonomi, Keuangan & Perbankan, BPD Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Bali, I Made Yoga Adiputra mengatakan bahwa implementasi Kartu Pra Kerja sebagai upaya menghadapi dampak ekonomi akibat COVID-19, dinilai bukan stimulus yang tepat untuk karyawan yang di rumahkan atau korban PHK.
“Kartu pra kerja ini bukan stimulus yang tepat untuk karyawan yang di rumahkan atau yang di PHK, karena stimulus ini hanya sebatas memberikan pelatihan gratis kepada mereka untuk mempelajari skill baru agar dapat mencari peluang usaha atau bekerja di sektor lain, dan di rasa kurang efektif implementasinya,” kata Yoga saat dikonfirmasi di Denpasar, Senin.
Ia menjelaskan ada beberapa masalah yang muncul terkait hal ini, salah satunya karyawan yang di rumahkan atau PHK kebanyakan dari golongan menengah kebawah yang tidak semuanya familiar dengan cara pelatihan melalui platform digital.
Kata Yoga, masalah lainnya yang muncul yaitu karyawan yang di rumahkan atau PHK membutuhkan waktu sampai benar-benar terlatih dan dapat mempraktikannya, sedangkan tabungan mereka untuk bertahan hidup mungkin hanya cukup dalam hitungan bulanan atau bahkan mingguan.
Ia mengatakan walaupun karyawan yang di rumahkan atau PHK tersebut dapat mempelajari skill baru yang relatif cepat, namun akan tetap kesusahan dalam membuka usaha baru atau melamar pada sektor usaha yang masih aktif saat ini apabila perekonomian makro di Indonesia belum membaik.
“Terkait dengan pemberian biaya pelatihan Rp3,5 juta bagi peserta yang lolos dirasa juga tidak efektif. Untuk bisa mengikuti pelatihan secara online dengan platform digital yang bekerjasama dengan pemerintah, peserta harus lolos seleksi terlebih dan melunasi biaya pelatihan atau kursus yang dipilih. Sedangkan disisi lain, banyak pelatihan serupa namun gratis yang tersedia melalui internet,”jelasnya.
Ia menambahkan bahwa sebaiknya Kartu Pra Kerja ini dapat diakses secara gratis tanpa perlu pemerintah mengeluarkan biaya, dan materinya juga sudah banyak tersedia di google.
“Jika pemerintah ingin meringankan beban pengusaha, seharusnya pemerintah menggandeng asosiasi-asosiasi pengusaha yang mempunyai infrastruktur di lapangan dan mempunyai data konkret tentang PHK, pengangguran dan tenaga kerja yang dibutuhkan,”jelasnya.
Menurutnya, ketika program kartu prakerja dilanjutkan dengan pola yang sekarang hanya akan terlihat penghamburan uang sebesar Rp5,6 triliun untuk pelatihan tanpa alat ukur efektivitas yang jelas, karena dengan menggandeng platform digital justru akan menyulitkan pemerintah sendiri dalam evaluasi. Hal itu dikarenakan pemerintah tidak mempunyai alat ukur presisi, berjalan baik atau tidak program ini di lapangan.
Di sisi lain, pihaknya meminta pemerintah agar anggaran puluhan triliun untuk Kartu Pra Kerja dapat dialihkan untuk penanganan COVID-19, terutama bagi masyarakat yang mengisolasi diri dan warga yang pendapatannya terdampak ekonomi akibat virus tersebut.
"Apakah tidak sebaiknya program ini dialokasikan saja menjadi program bantuan sosial yang dapat dimanfaatkan untuk jutaan keluarga miskin seperti pemberian sembako dan banyak hal lainnya, yang dilakukan secara kolaboratif dengan pelaku usaha sehingga iklim bisnis dan usaha tetap terjaga, selanjutnya target sasarannya bisa lebih luas,"ucap Yoga.