Denpasar (ANTARA) - "Presiden Joko Widodo menjanjikan 'dana abadi' untuk pengembangan seni dan kebudayaan yang selama ini memiliki kontribusi besar terhadap pendapatan negara meski posisinya masih 'dianaktirikan' sehingga sulit berkembang," kata pematung asal Bali yang tinggal di Bandung Nyoman Nuarta.
Cerita tentang pertemuannya dengan Presiden Joko Widodo itu kembali diungkap sang maestro patung asal Tabanan, Pulau Dewata, itu saat menerima kunjungan tim media massa dan Humas Pemprov Bali ke Museum NuArte (NuArt Sculpture Park) di Bandung, Jawa Barat, 25 April 2019.
Kepada puluhan pimpinan media yang dipimpin Asisten II (Administrasi dan Umum) Setdaprov Bali I Wayan Suarjana yang didampingi Kabiro Humas Setdaprov Bali A.A. Ngurah Oka Sutha Diana itu, pematung Nyoman Nuarta pun menjelaskan tema yang sama juga dibahas Gubernur Bali Wayan Koster saat melakukan negosiasi kepada Presiden terkait pentingnya anggaran seni dan kebudayaan.
"Kalau saat ini, sawit masih memiliki kontribusi terbesar dalam pertumbuhan ekonomi, tidak lama lagi akan digeser sektor pariwisata dengan dominasi peran ada pada seni dan kebudayaan," katanya, mengutip Presiden saat menerima puluhan seniman dan budayawan di Istana Negara.
Bahkan, kata dia, Presiden sudah menyebut angka dana abadi yang disiapkan pemerintah sebesar Rp5 triliun untuk sektor pariwisata dengan Rp800 miliar di antaranya untuk seni dan kebudayaan. Presiden Jokowi juga menjanjikan akan menambah dana abadi itu dalam setiap tahun hingga mencapai angka Rp40 triliun.
"Presiden juga meminta dana abadi itu tidak dikelola birokrasi, tetapi lembaga khusus yang melibatkan seniman dan budayawan agar semuanya tidak birokratis. Presiden sendiri akan segera merealisasikan dana abadi itu setelah dilantik," katanya.
Baginya, janji Presiden itu sangat wajar karena 60 persen dari pendapatan negara senilai Rp220 triliun berasal dari pariwisata . "Sebanyak 40 persen dari 60 persen itu merupakan kontribusi dari Bali. Maka itu, kalau Bali selama ini hanya mendapatkan Rp400 miliar, itu terlalu kecil," katanya.
Baca juga: "NuArte Park" promosikan "Nu-Art" untuk Bali (video)
Menurut penggagas Patung Garuda Wisnu Kencana setinggi 121 meter itu, dana abadi itu sangat penting untuk mengembangkan seni dan budaya dari hulu ke hilir sehingga kontribusinya juga akan makin meningkat.
"Kalau pengembangan budaya lokal atau seni pertunjukan itu masih seperti selama ini dengan mengandalkan cara swadaya, akan sulit bergairah karena kemampuan masyarakat juga ada batasnya," katanya.
Perupa Nyoman Nuarta itu menambahkan bahwa dana abadi itu sangat strategis pada era globalisasi pariwisata karena seni budaya adalah identitas bangsa dan akan menjadi keunggulan bangsa di tengah pergaulan bangsa-bangsa di dunia.
"Seni budaya saat ini juga jangan dipahami secara sempit karena seperti seni patung, misalnya, dapat dipadukan dengan dimensi lain, yakni hotel atau arsitektur dan teknologi atau sains. Jadi, seni budaya ke depan tidak bisa berdiri sendiri, seperti hotel 'berwajah' Garuda," katanya.
Pariwisata Budaya
Tanpa harus menunggu 'dana abadi' itu, Gubernur Bali Wayan Koster langsung mengambil peran strategis. Bagi Wayan Koster, Bali adalah Island of Gods (Pulau Dewata). Oleh karena itu, sektor pariwisata yang menarik orang datang ke Bali sejak dahulu adalah budaya, peradaban, seni, adat, dan kearifan lokalnya, bukan sektor lain.
"Unsur niskala (spiritual) itulah yang membedakan Bali dengan daerah lain. Itu yang harus dijaga agar kita survive," kata Koster dalam acara Walk the Talk with Governor of Bali Sinergy and Harmony Under Nangun Sat Kerthi Loka Bali di Kuta, Kabupaten Badung, Bali, Kamis (14-6-2019) malam.
Baca juga: Koster: Enam Pergub wujudkan "Nangun Sat Kerthi Loka Bali"
Untuk penguatan potensi seni dan budaya di Bali titu, Gubernur Bali Wayan Koster mengemukakan arah pelaksanaan pembangunan Bali terfokus pada tiga aspek utama, yaitu alam, krama (masyarakat), dan kebudayaan Bali berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal Sad Kerth.
"Tiga aspek itu dibangun melalui lima bidang prioritas pembangunan Bali, yakni pangan, sandang dan papan; kesehatan dan pendidikan; jaminan sosial, dan ketenagakerjaan; adat, agama, tradisi, seni, dan budaya; dan pariwisata," ucapnya.
Untuk keseriusan pembangunan kelima bidang prioritas itu, pihaknya merancang sejumlah legislasi yang ditetapkan dalam peraturan daerah dan peraturan gubernur. "Taksu (aura) Bali kini menurun, begitu pula kearifan lokal, alam dan manusianya. Kalau dibiarkan, Bali tidak akan menarik bagi wisatawan. Untuk itu harus ditata total, dikelola dengan serius," ucapnya.
Oleh karena itu, selain mendukung pertumbuhannya, pariwisata juga harus tetap berbasiskan budaya serta dalam suatu tata kelola yang baik. Pihaknya akan mengambil peran dalam tata kelola itu melalui komitmen untuk membuat kebijakan-kebijakan untuk kemajuan pariwisata sekaligus regulasi tegas bagi mereka yang melanggar.
Sejak dirinya dilantik pada 5 September 2018 hingga saat ini, dia telah menerbitkan enam peraturan gubernur sebagai implementasi visi "Nangun Sat Kerthi Loka Bali". Keenam pergub itu dijelaskan secara perinci dalam Pidato Pengantar Gubernur Bali tentang Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Kepala Daerah Provinsi Bali Tahun 2018 di Denpasar (19-3-2019).
Dalam sidang yang dihadiri 31 Anggota DPRD Provinsi Bali, Wakil Gubernur Bali, Sekretaris Daerah Provinsi Bali dan Kepala OPD di lingkungan Pemprov Bali itu, Gubernur Koster pun memerinci. Pertama, Peraturan Gubernur Nomor 79 Tahun 2018 tentang Penggunaan Busana Adat Bali. Kedua, Peraturan Gubernur Nomor 80 Tahun 2018 tentang Perlindungan dan Penggunaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali serta Penyelenggaraan Bulan Bahasa Bali.
Ketiga, Peraturan Gubernur Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Satu Kali Pakai. Keempat, Peraturan Gubernur Nomor 99 Tahun 2018 tentang Pemasaran dan Pemanfaatan Produk Pertanian, Perikanan dan Industri Lokal Bali. Kelima, Peraturan Gubernur Nomor 104 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan Nasional - Krama Bali Sejahtera (JKN-KBS). Keenam Pergub Nomor 2 Tahun 2019 tentang Integrasi Sistem dan Data Pajak Hotel dan Pajak Restoran Kabupaten/kota secara elektronik di Provinsi Bali.
"Nantinya, juga ada Peraturan Gubernur tentang Perlindungan Hasil Karya Budaya Bali, dan sebagainya. Ke depan, pergub-pergub yang ada akan digenjot implementasinya sehingga benar-benar memberi manfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan kelestarian alam dan budaya Bali. Dalam pelaksanaannya, telah dialokasikan sejumlah anggaran sesuai dengan besaran pendapatan daerah yang ditetapkan dalam APBD," katanya.
Menurut dia, pergub untuk penguatan budaya itu mendapat respons positif dan dukungan dari masyarakat Bali dan luar Bali. Misalnya, kebijakan penggunaan identitas adat dan budaya Bali yang telah menumbuhkan rasa cinta dan bangga dengan jatidiri sebagai warga Bali. Kebijakan penggunaan busana adat Bali pun telah memberi dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi kerakyatan, terutama pengrajin busana adat Bali.
Baca juga: BI: Pergub Produk Pertanian Lokal dorong ekonomi Bali
"Demikian pula halnya dengan pergub pemanfaatan dan pemasaran produk pertanian lokal yang merupakan salah satu upaya membangkitkan sektor pertanian dan mempertemukan pertanian dengan sektor pariwisata, sehingga ekonomi Bali yang tercatat mengalami pertumbuhan, yaitu mencapai 6,35 persen, lebih tinggi dari pertumbuhan nasional yang sebesar 5,17 persen," katanya.
Oleh karena itu, Pergub Bali Nomor 99 Tahun 2018 membutuhkan dukungan pihak hotel, restoran, katering, dan swalayan dalam memanfaatkan produk pertanian dan perikanan minimal 30 persen dan industri minimal 20 persen. "Swalayan wajib memasarkan untuk produk pertanian minimal 60 persen dan produk perikanan dan industri minimal 30 persen," katanya.
Selain itu, Pemerintah Provinsi Bali terus mengkaji pemberlakuan pungutan kontribusi bagi wisatawan yang berkunjung ke Pulau Dewata sebagai bentuk partisipasi turut menjaga alam dan budaya daerah setempat, namun wisatawan pun dipastikan mendapatkan manfaat yang sepadan dengan kepuasan total dalam berwisata, mulai dari akomodasi, makanan, hingga asuransi.
Dana, Regulasi, Manusia
Tidak hanya ditopang regulasi dalam bentuk pergub saja, tetapi penguatan seni budaya itu juga didukung oleh peraturan daerah (perda), seperti pemberlakuan Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat yang ditandai dengan penandatanganan prasasti di Wantilan Pura Samuan Tiga, Desa Bedulu, Kabupaten Gianyar, Selasa (4-6-2019).
Dalam momentum bersejarah terkait Desa Adat itu, Gubernur Bali Wayan Koster menjelaskan bahwa Perda Desa Adat secara garis besar mengatur secara fundamental dan komprehensif mengenai berbagai aspek berkenaan dengan desa adat di Bali untuk menguatkan kedudukan, kewenangan,dan peran desa adat.
"Ini merupakan implementasi nyata dari visi 'Nangun Sat Kerthi Loka Bali' melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana menuju Baru Era Baru," ujarnya di hadapan bupati/wali kota se-Bali, sulinggih dan pemangku, PHDI, Majelis Utama, Madya dan Alit Desa Pakraman, bandesa adat, kepala desa/perbekel, lurah, serta tokoh-tokoh dan perwakilan masyarakat.
Koster mencontohkan melalui perda ini desa adat mempunyai otonomi yang berwenang mengatur dan mengurus daerahnya sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan kepentingan umum, tentu lembaga, majelis dan tiap perangkatnya harus punya pemahaman yang menyeluruh akan kewenangannya.
Secara substansi, Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali ini tidak mengacu pada UU 6/2014 tentang Desa, tetapi mengacu pada UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 236 Ayat (4), yang menyatakan bahwa Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, pengertian Desa Adat dalam Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali ini secara khusus, berbeda dengan pengertian Desa Adat dalam UU 6/2014 tentang Desa. "Mengacu pada UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah maka Desa Adat dalam Perda ini memiliki wilayah, hak asal usul, hak-hak tradisional, susunan asli, serta otonomi asli untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, jadi kedudukan hukum Desa Adat itu jelas dan tegas," katanya.
Baca juga: Gubernur Bali resmikan pemberlakuan Perda Desa Adat
Dengan demikian, "Bali Era Baru" adalah desain pembangunan Pulau Dewata dalam satu bingkai dengan arah, tujuan, dan visi yang sama. Era yang ditandai dengan tatanan kehidupan baru, yakni Bali yang kawista, Bali kang yata-titi tentram kerta raharja, gemah ripah lohjinawi. "Mari kita kedepankan spirit kebersamaan dan gotong royong, kita bangun optimisme bahwa kita akan mampu wujudkan apa yang menjadi visi dan cita-cita kita bersama," katanya.
Namun, pariwisata berbasiskan budaya tidak cukup hanya ditopang dengan dana abadi dan regulasi(pergub/perda), karena faktor manusia yang kreatif justru lebih menentukan. Hal itu dikemukakan oleh sastrawan/penyair Bali, Made Adnyana Ole, dalam sebuah kolom opini (baliexpress/29 Juni 2019).
Baca juga: UNWTO tetapkan Ubud jadi wisata kuliner/gastronomi global
"Tanpa nama gerakan yang macam-macam, tanpa program aneh-aneh, bahkan tanpa pergub dan perda tentang kuliner lokal, ternyata sejak dahulu selalu ada orang Bali punya kreativitas tinggi untuk menciptakan menu lokal ciptaan baru tanpa takut mengadopsi gaya-gaya bumbu kuliner dari luar, seperti Siobak Singaraja, Bakso Krama Bali (bakso babi), Satai Cak Man (Kecak Nyoman)," tulisnya.
Menurut pengelola Mahima Institute Indonesia yang bergerak di bidang pendidikan seni dan budaya itu, selalu ada orang Bali yang memiliki daya saing terhadap gempuran pedagang-pedagang dari luar, tanpa banyak bicara, tanpa menyinggung pedagang lain, misalnya dengan ujaran-ujaran berbau SARA.
"Bahkan, kuliner lokal yang dirintis sebagian orang Bali itu akhirnya diikuti banyak pedagang lain. Dan, kita jarang tahu itu, karena mereka bergerak mandiri, tanpa didorong program-program besar, misalnya program besar tentang pemuliaan produk lokal Bali. Yang penting 'rasanya' (kreasi)," kata penulis buku kumpulan puisi tunggal Dongeng dari Utara (2014) dan buku kumpulan cerpen tunggal Padi Dumadi (2007) itu.
Jadi, pariwisata berbasis budaya bangsa merupakan potensi yang sangat layak untuk dikembangkan karena menjadi identitas dan kekhasan Nusantara. Untuk itu, pengembangannya perlu dikeroyok dengan dukungan dana abadi, penguatan regulasi, dan yang tak kalah penting adalah pembangunan manusia berkarakter kreatif.